“Jang dinamakan ‘bahasa Indonesia’ jaitoe bahasa melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari ‘Melajoe Riaoe’, akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia;…”
Perkataan di atas diucapkan oleh Bapak Pendidikan Indonesia sekitar 73 tahun yang lalu. Ucapan yang menggemah ketika Indonesia mulai tumbuh menjadi sebuah bangsa, menjadi sebuah negara, dan menjadi sebuah bahasa. Ucapan yang berani terlontarkan walau dalam kepungan dan ancaman sang penjajah Belanda. Ki Hajar Dewantara nama beliau. Ia dengan begitu tegasnya menyampaikan perkataan tersebut di ruang Kongres bahasa Indonesia I, di Solo, pada tahun 1939.
Kongres bahasa Indonesia tersebut sebenarnya merupakan kelanjutan dari aksi para pemuda dan pemudi dalam Kongres Pemuda yang terlaksana pada tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta. Sebuah konggres yang tak kalah pula gaungnya. Konggres yang menghasilkan sumpah pemuda yaitu ikrar mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia; mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia; dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia dari dahulu hingga detik ini digunakan sebagai lingua franca di seluruh tanah Indonesia. Bahasa yang digunakan untuk menyatukan rakyat Indonesia yang menetap di tanah sabang hingga rakyat Indonesia yang bercocok tanam di tanah Merauke. Hal inilah yang diperjuangkan oleh pemuda dan pemudi Indonesia sejak dahulu yang menginginkan bahasa Indonesia menjadi bahasa negara dan bahasa nasional. Hal ini pula yang diinginkan oleh Ki Hajar dewantara dan para pahlawan pendidikan lainnya yang menginginkan bahasa Indonesia menjadi bahasa utama yang digunakan oleh seluruh rakyat di Indonesia. Tentu hal ini ditujukan agar tak ada sekat-sekat dalam perbedaan bahasa dan untuk menyatukan semua ide serta cita dalam satu rasa dan satu bahasa.
Walaupun demikian, ada, bahkan banyak di antara kita—sang penutur bahasa Indonesia—kurang mensyukuri nikmat bahasa yang diberikan oleh Tuhan ini. Terkadang kita berbahasa tanpa memerhatikan kaidah bahasa dengan alasan bahwa perkara tersebut untuk kalangan ahli bahasa. Terkadang pula kita berbahasa tanpa memerhatikan ejaan yang benar dengan bantahan bahwa bahasa itu intinya komunikatif dan saling mengerti satu sama lain. Bukan hanya itu, terkadang pula tanpa disadari orang-orang berbahasa Indonesia dengan mencampurkannya dengan kosa kata asing agar dapat memperlihatkan tingkatkan keintelektualannya. Begitu pula sebagian rakyat Indonesia di berbagai daerah terkadang berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia yang dicampur dengan kosa kata daerahnya masing-masing. Semua itu seakan menunjukkan bahwa kita kurang mensyukuri nikmat bahasa Indonesia yang telah dianugrahkan oleh Tuhan utuk kita, rakyat Indonesia.
Penulis masih ingat sebuah adigium yang terkenal dari mantan presiden kita yaitu Presiden Gus Dur dengan bunyi “Gitu aja kok repot!”. Sebuah adigium yang terkenal hingga hampir digunakan oleh segala lapisan masyarakat Indonesia, baik tua maupun muda. Bahkan, adigium tersebut digunakan dalam beberapa iklan yang pernah ditayangkan di televisi misalnya iklan So Klin, iklan Supra Revlon, iklan jamu Nyonya Meneer, iklan umpan burung Gold Coin, dan iklan deterjen Daia. Tentu tujuan penggunaan adigium itu agar iklan-iklan tersebut cepat popular di kalangan masyarakat, sehingga produk tersebut akan laris manis di pasar. Dari segi bisnis langkah yang ditempuh oleh biro-biro iklan tersebut sangat jitu. Namun, dari segi pembinaan bahasa, cara tersebut sangatlah tidak menguntungkan. Sebenarnya, adigium tersebut tidaklah sepantasnya diucapkan oleh sang presiden. Adigium-adigium seperti itulah yang merusak pembinaan dan pengembangan bahasa nasional tercinta. Karena seorang presiden selayaknya menjadi anutan bagi rakyatnya untuk berbicara dengan bahasa yang benar.
Arkian, tentu pernah kita dapatkan atau kita dengarkan pula sebuah tulisan atau sebuah tuturan bahasa Indonesia yang di dalamnya tecampur dengan kosa kata asing. Contohnya, Dilla Taylor, Project Proposal, Planning, dan sebagainya. Memang, kalimat-kalimat yang biasanya disisipi kosa kata asing akan terdengar lebih canggih. Namun sayang, seakan-akan penulis atau pun pembicara kurang menghargai bahasanya sendiri. Ia merasa bangga menggunakan kosa kata asing daripada menggunakan kosa kata bahasa Indonesia yang sebenarnya dapat digunakan dalam kalimat yang ia ucapkan. Bukan hanya itu, mungkin saja kosa kata-kosa kata asing tersebut hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang memiliki pendidikan yang memadai tetapi belum tentu dapat dipahami oleh orang-orang yang berpendidikan rendah. Bahkan tidak mustahil bagi mereka tidak memahami kosa kata-kosa kata asing tersebut, seakan-akan dunia Allah ini terasa sempit baginya. Sehubungan dengan itu, ada kaidah yang menyatakan bahwa jika kita berbahasa Indonesia, berbahasa Indonesialah dengan baik. Jika kita berbahasa asing, berbahasa asinglah dengan baik. Dengan kata lain, kita tidak mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing dalam suatu pembicaraan.
Masalah lain yang timbul ialah nilai terendah pada ujian nasional terbaru ialah terjadi pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi, padahal siswa-siswinya lahir dan besar di Indonesia. Mengapa bukan mata pelajaran bahasa Inggris, matematika, dan mata pelajaran lainnya yang terendah? Ini adalah sebuah keadaan yang sebenarnya tidak mungkin terjadi. Para pelajarnya lebih fasih menjawab pertanyaan-pertanyaan mata pelajaran lain seperti bahasa Inggris padahal ia bukan bahasa negara atau bahasa nasional. Mungkin ini terjadi karena sikap para pelajarnya menganggap bahwa bahasa Indonesia sudah mereka kuasai dan pahami sehingga tidak perlu didalami. Bahkan, boleh jadi para pelajar menganggap bahwa bahasa Indonesia tidaklah penting dan bukan merupakan pre-tes untuk di pelajari. Berbeda dengan bahasa Inggris yang pamor dan statusnya lebih penting bagi para pelajar untuk mereka dalami dan pelajari.
Lalu, bagaimanakah seharusnya masyarakat Indonesia menyikapi bahasanya? Ada dua hal yang harus diperhatikan agar dapat membumikan bahasa Indonesia di bumi Indonesia sendiri. Pertama yaitu dari sikap penuturnya. Menumbuhkan rasa cinta bahasa Indonesia bagi para penutur sangat perlu dilakukan. Dengan adanya cinta bahasa Indonesia di hati maka hal itu akan tercermin dengan lisan para penuturnya yang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Nah, bagaimanakah menumbuhkan rasa cinta tersebut? Jawabannya adalah tentu saja dengan mengilmuinya. Dengan ilmu, kita dapat memahami cara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dengan ilmu, kita dapat mengetahui manfaat menggunakan bahasa Indonesia. Dan dengan ilmu pula-lah, kita akan mengetahui kerugian ketika tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena tidaklah mungkin kita mencintai sesuatu tanpa mengetahui alasan harus mencintai sesuatu tersebut. Oleh karena itu, menumbuhkan rasa cinta akan bahasa Indonesia adalah hal pertama dan utama yang harus diperhatikan.
Kedua ialah meningkatkan kompetensi pengajar bahasa Indonesia. Para pengajar harus mengetahui cara mengajarkan bahasa Indonesia yang tepat sesuai kebutuhan para pelajarnya. Untuk menumbuhkan kompetensi tersebut, maka para pengajar perlu diberikan pelatihan, diklat, dan sebagainya. Dengan meningkatnya kompetensi pengajar bahasa Indonesia, maka pengajar tersebut dapat mengajar dengan bahasa Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan dan konteks pembelajaran di kelas.
Untuk mengatasi masalah-masalah kebahasaan yang terjadi maka kita seharusnya menerapkan dua komponen tersebut. Para pemakai bahasa Indonesia harus bergerak untuk meningkatkan keterampilan berbahasanya dengan cara belajar bahasa Indonesia dan memperagakannya sesuai dengan kaidah yang berlaku. Jangan sampai bangsa Indonesia kehilangan identitas, alat pemersatu, dan jati dirinya dengan membumihanguskan bahasa Indonesia di negeri Indonesia sendiri. Sehubungan dengan itu, tentu penggunaan bahasa Indonesia harus disesuaikan dengan konteksnya, baik itu konteks tempat maupun konteks waktu. Tentu berbeda cara penggunaan bahasa Indonesia ketika menggunakannya berbelanja di pasar dan pada saat belajar di ruang kelas. Maka pemakai bahasa yang baik ialah pemakai bahasa yang mampu menggunakan bahasanya pada tempatnya.
Yah, begitulah rumitnya sejarah bahasa Indonesia sehingga tetap bertahan hingga sekarang tanpa peduli gerusan zaman dan himpitan globalisasi. Bahasa Indonesia tetap bertahan menjadi alat untuk mengungkapkan diri baik secara lisan maupun tertulis, dari segi rasa, karsa, dan cipta serta pikir, baik secara etis, estetis, maupun secara logis. Bahasa yang diperjuangkan dengan penuh pengorbanan hingga meneteskan darah ini tetap bertahan untuk menyatukan sekian banyak rakyat Indonesia yang menetap di berbagai pelosok pulau di negeri ini. Dan sekali lagi, semua itu akan terus menjadi ada dan nyata ketika para pemakainya konsisten dalam menggunakannya sesuai dengan kaidah yang berlaku dan sesuai konteks penggunaannya.
Mari kita panjangkan cita-cita para pemuda dan pemudi yang rela berkoar meneriakkan sumpahnya pada saat kongres pemuda! Mari kita panjangkan mimpi sang Bapak Pendidikan yang rela berkata lantang untuk membumikan bahasa Indonesia dalam kepungan penjajah pada saat kongres bahasa Indonesia I! Mari bergerak dan memperagakan bahasa Indonesia! Kalau bukan kita, lalu siapa lagi? Kalau bukan sekarang, lalu kapan lagi?
Referansi tambahan:
Arifin, E. Zainal dan Farid hadi. 2009. 1001 Kesalahan Berbahasa. Edisi ketiga, cetakan IV. Jakarta: Akapress.
Badan Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. 2010. Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian bahasa Indonesia. Makassar: Fakultas Bahasa Dan Satra Universitas Negeri Makassar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H