Sebagai orang yang merantau, tentu di awal pasti melewati proses gegar budaya. Dari mulai logat bicara sampai hal yang penting seperti makanan. Saya mahasiswa perantauan dari Jawa Timur, ketika menjejakkan kaki di Yogyakarta tentu mengalami hal tersebut.
Logat tentu tidak menjadi masalah, tidak terlalu jauh perbedaan juga cepat adaptasi. Namun, pasti sangat menyiksa ketika menemui perbedaan di makanan. Tentu sedikit sulit adaptasi bagi sebagian orang. Perbedaan itu dirasakan mulai dari rasa sampai cara penyajian.
Salah satunya adalah bakso, makanan yang seolah tidak memiliki identitas. Krisis identitas itulah yang mewarnai kemisteriusan hidangan ini. Seolah, penjual bakso mempunyai laku spiritual sendiri dalam menafsirkan "bakso" itu sendiri. Secara bahasa bakso sendiri itu adalah makanan yang dibentuk dari campuran daging dan tepung lalu direbus. Namun, dalam pengertian sebagian masyarakat ketika mendengar kata "bakso" adalah bakso itu sendiri disajikan dengan tahu, pangsit dan sayur lalu disiram kaldu sapi.
Bakso itulah yang bisa saya masukkan dalam kategori gegar budaya di Yogyakarta. Karena, menemukan beberapa perbedaan dalam beberapa hal.
Pertama adalah dari kuah bakso sendiri, kuah bakso di Jawa Timur dari penampakan lebih berminyak. Dari segi rasa tentu lebih gurih. Konon, kuah tersebut terbuat dari kaldu tulang sapi bagian kepala dan sedikit lemak sapi. Di Jogja, kuah bakso yang saya temui kebanyakan terlalu encer dan kurang berminyak.
Kedua, saus yang disediakan. Di Jawa Timur sudah lazim memakai saus yang merah menantang. Entah, benar atau tidak rumor yang berkembang bahwa saus tersebut dibuat dari buah yang busuk. Namun, memberi warna dan rasa yang menggugah selera. Sedangkan di Jogja, saus berwarna jingga dan ada sedikit rasa pedas. Tentu, warna tersebut akan mudah tercampur dengan warna kecap.
Ketiga, para penjual bakso di Jawa Timur adalah pedagang yang berkeliling. Kadang, dari siang sampai malam terdapat lima sampai sepuluh penjual bakso yang lewat depan rumah saya. Di Jogja kita lebih banyak mendapati penjual bakso yang sudah memiliki warung. Meskipun, saya juga pernah menemukan penjual bakso yang berkeliling. Namun, sangat jarang sekali. Begitulah, pendalaman saya sebagai mahasiswa yang kuliner di Jogja. Eh kuliah. Sehingga, bakso-pun saya masukkan sebagai salah satu gegar budaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H