Suatu kali ada perempuan dengan dua orang anak bercerita jika ia sedang menjalin hubungan dengan seorang pria yang tinggal jauh di seberang pulau, yang mengaku berstatus duda dengan satu orang anak. Si pria berstatus duda cerai. Sedangkan perempuan tadi juga menyandang kondisi yang sama. Sudah bercerai dengan suaminya. Perkenalan sudah terjalin selama 2 tahun.Â
Melalui media sosial facebook, kata perempuan tadi. Saya sudah cukup dekat dengan dia, kami sering komunikasi lewat telepon dan video call. Tapi akhir-akhir ini saya ragu, dia bener-bener orang baik atau bukan. Mengingat jarak kami juga sangat jauh. Saya di kota Metro, sedangkan dia di tepi pulau paling ujung. Meskipun selama menjalin hubungan jarak jauh saya kerap membelikan sesuatu untuk dia dan anak semata wayangnya, tapi saya ikhlas.Â
Bukan maksud apa-apa, saya terlanjur sayang sama anaknya. Saya harus menerima kenyataan, jika dia (pria tadi) tidak menaruh harapan dengan membawa hubungan ini ke jenjang yang lebih serius (pernikahan). Dia sepertinya memang tidak sedang berpikir kesana. Mungkin kami tidak jodoh.Â
Dari bahasa yang dibawakannya, menampakkan kekecewaan yang teramat dalam pada perempuan tadi.
Mbaknya sudah pernah dibelikan apa gitu sama pria tersebut? Tidak, tidak pernah. Jawabnya.
Oke, cerita sampai di sini dulu ...
Bukan tentang perkenalan melalui media apapun yang hendak saya bahas di sini. Meskipun dalam lubuk hati yang terdalam, saya menyesalkan tindakan perempuan tadi yang saya nilai terlalu gegabah, mengharapkan ketulusan pria dari hanya dengan berkenalan di media sosial. Padahal tidak sedikit permpuan yang ditipu kaum pria yang awalnya cuma berkenalan dan say hello di media bayang-bayang tersebut.
Yang lebih akan saya bahas di sini adalah perihal kesediaan si perempuan yang dengan demikian entengnya sudi mengeluarkan uang (dengan seringnya membelikan sesuatu) untuk si pria ini dan seorang anaknya. Barangkali beberapa perempuan berfikir, karena kami cukup dekat. Dan lagi-lagi karena alasan yang cukup melankolis " cinta".Â
Saya terlanjur cinta. Sehingga uang tidaklah menjadi masalah. Seakan dengan seringnya membelikan sesuatu untuk si pria, kerabat, handai tolan, dsb atau bahkan memberi uang dengan dalih pinjam akan membuat si pria makin sayang dan mendalam jatuh hatinya. Padahal kenyataan di lapangan "meminjam" ini hanya untuk mengganti tembung "minta" saja, karena kebanyakan si pria dari awal tidak berniat untuk membayar utangnya. Ada udang di balik batu.
 Namun benarkah kemurahan perempuan dalam soal uang akan membuat pria benar-benar serius mencintai?
Pada keadaan normal prialah yang memegang andil mengeluarkan uang untuk pujaan hatinya. Misalnya saja: pada waktu sepasang kekasih atau apalah sedang singgah menikmati dua mangkok bakso dengan dua gelas es jeruk di kedai bakso pinggiran. Siapa kira-kira yang pantas membayari dua mangkok bakso beserta dua gelas es jeruk tersebut? Jawaban logis dinilai dari sisi kepantasan, ya, si pria nya. Betul tidak? Kalo sekali-kali si wanitanya yang ngebosi atau ntraktir, oh no problem. Tapi kalau keterusan si wanitanya yang bayarin? Nah, ini yang musti dipertimbangkan dengan akal sehat. Apalagi jika si pria beralasan melulu. Lagi nggak ada uang, belum gajian, dompet ketinggalan, ibunya sakit, atau salah satu anggota keluarga ada yang sakit, dan lain-lain.