Awal tahun 2023 Indonesia masih dibayangi oleh banyak catatan kelam yang cukup menyesakkan. Seolah tak pernah pudar, setelah lebih dari dua dekade orde reformasi bergulir, catatan kelam penegakan hukum di negara kita masih jauh dari harapan.
Salah satu agenda penting yang harus dituntaskan sejak reformasi dicanangkan adalah soal penegakan hukum yang dinilai masih sangat lemah. Karena tak kunjung tegak, teramat banyak ungkapan satire yang jamak kita dengar dan disematkan pada kinerja para penegak hukum di negara kita. Hukum masih tebang pilih, tajam ke bawah tumpul ke atas, aroma rekayasa dan kriminalisasi, masih terus  terjadi dan diperparah dengan sederet data keterlibatan para penegak hukum dalam berbagai kasus berat yang menyedot perhatian publik.
Bahkan Profesor Mahfud MD dalam sebuah kesempatan pernah berujar bahwa industrialisasi hukum sudah sangat mengakar dan membudaya. Perilaku amoral sudah menjadi toksin yang sangat sulit dicarikan obat penawar. Toksisitas jajaran penegak hukum sudah sampai pada tahap memperihatinkan dan sulit dipulihkan.
Kabar ditangkapnya dua hakim agung di Mahkamah Agung (MA) pada medio Desember seolah melengkapi anggapan tentang runtuhnya marwah penegakan hukum di Indonesia. Lembaga tertinggi di bidang hukum yang menjadi benteng terakhir untuk menegakkan keadilan ternyata diisi oleh hakim yang terbukti korup setelah  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan Hakim Agung Gazalba Saleh sebagai tersangka dugaan suap pengurusan perkara pidana Koperasi Simpan Pinjam Intidana di MA.
Menjadi lebih  memprihatinkan, karena selain Gazalba, KPK juga telah menetapkan Prasetio Nugroho, Redhy Novarisza, serta Nurmanto Akmal dan Desy Yustria yang merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di MA, sebagai tersangka penerima suap. Mereka disangka melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. (Kompas, 08/12/2022)
Berita tentang penangkapan hakim agung terjadi setelah sebagian besar perhatian masyarakat terbetot oleh kasus hukum terbesar di Indonesia yakni pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat  oleh seorang jenderal polisi bintang dua yang menjadi atasannya.
Kasus ini menjadi luar biasa karena sebelum terungkap fakta yang sebenarnya, didahului dengan upaya rekayasa sehingga menyeret hampir seratus polisi yang dinyatakan melanggar kode etik karena tindakan tidak profesional dan pidana obstruction of justice (menghalangi proses hukum). Sampai hari ini kasus ini masih bergulir di pengadilan dan masih menjadi pertanyaan besar apakah ujungnya akan memberikan keadilan bagi keluarga korban mengingat upaya perlawanan juga sangat kuat.
Dalam sebuah webminar nasional yang dilaksanakan pada 29 Desember 2022 oleh Institut Teknologi dan Bisnis Yadika Pasuruan, Â bertajuk "Refleksi Hukum Tahun 2022, Apa dan Bagaimana?" saya cukup terhenyak dengan paparan guru besar tata negara, Profesor Denny Indrayana S.H,.LLM,.Ph.D. Hadir sebagai salah satu nara sumber Prof. Denny membawakan materi yang cukup menarik perhatian yakni "Hukum dalam "Skenario Sambo" di Cengkram Oligarki, Mafia dan Duitokrasi".
Mencermati detil paparan Prof Denny terus terang saya menjadi Speecless, karena menurut pandangannya soal penegakan hukum tengah menghadapi kompleksitas permasalahan yang hampir mustahil bisa diperbaiki dalam waktu cepat.
Dalam sudut pandang Prof. Denny, hukum saat ini tengah berada dalam cengkraman oligarki yang nota bene adalah penguasa bermodal kapital mega besar, yang mampu mempengaruhi kebijakan publik, khususnya politik, ekonomi, dan hukum. Beliau juga membaca bahwa sumberdaya alam tengah dalam kuasa oligarki dan mafia hukum.