Jangan biarkan terjadi esensi ayat-ayat suci  dimutilasi  dan diisolasi oleh kamera-kamera bergengsi.
Kamera macam panglima yang punya kuasa, dituruti, dan lensanya dibiarkan leluasa mengambil (baca: memotret) apa dan siapa saja dengan engle bebas tanpa batas demi menyuguhkan situasi yang dinalainya berkualitas. Kamera juga menderamatisir fenomina yang bahkan kadang melebihi kejadian sebenarnya. Sejauh ini tidak ada protes yang walaupun tiba-tiba kemera menyorot muka dan tingkah laku individu. Akhirnya, individu terpaksa harus berakting di depan kamera.
Ambil contoh reality show Katakan Putus yang dikepalai oleh seorang pesulap, dalam acara tersebut kamera tidak hanya menyorot paras pemuda-pemudi sebagai bintang tamu yang -dialur cerita, biasanya- sedang menjalin cinta-kasih tetapi juga mem-public privacy yang seharusnya disimpan. Meskipun sebenarnya, -saya mungkin juga anda- tidak sampai hati menamai mereka 'bintang tamu' karena sebagaimana hukum alam yang menempatkan bintang diposisi atas dan tamu merupakan sosok yang harus dihormati.
Tetapi yang terjadi di reality show ini, bintang tamu (baca: aktor) dipaksa tunduk, takluk, dan patuh di bawah sorotan kamera, seakan kehilangan rasa malu mereka kadang buka-bukaan saling beber aib. Konsekuwensinya, mereka ditertawakan, dipermalukan, dihujat, dan tak jarang dihina oleh orang-orang yang mengitari acara tersebut. Mungkin dalam benak mereka kamera macam  barang mewah yang jauh lebih berharga dari harkat dan martabatnya sendiri.
Tidak berlebihan bila ada gium, 'Rasa malu mereka sudah digadaikan'. Didukung dengan pandangan Michael Tracey dari Universitas Colorado, sebagaimana dikutip Ignatius Haryanto, menyebutkan program reality show itu jadi terkenal karena programnya bodoh dan mebodohi penonton. Anehnya, oleh beberapa pemirsa reality show macam tersebut masih saja diminati dan diimani.
Dan yang paling ironi, seorang da'i perempuan yang pengetahuan keagamaannya dinilai tinggi serta dianggap mempuni masih saja tertipu, tergoda dan turut beperan dalam reality show ini, ikut mengomentari perseteruan, menghakimi percekcokan, dan 'memodarkan' pertikaian antar aktor yang statusnya tidak jelas. Ia semburkan dalil-dalil suci di acara fiktif. Pada saat inilah, terjadi mutilasi terhadap ayat-ayat suci.
Tidak perlu membuat petisi untuk menolak dan melarang tontonan seperti reality show ini, tetapi pemirsa harus lebih cerdas dalam memilih tontonan, lebih cerdik membaca film, dan pemirsa harus mampu melek media untuk mengimani suatu tayangan yang selanjutnya dijadikan panutan atau dalam bahasa Idy Subandy dalam buku Komunikasi & Komudifikasi, menjadikan media sebagai guru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H