Tiap kali lebaran tiba, geliat kesibukan selalu terjadi dimana-mana. Pusat-pusat perbelanjaan --semacam mall, di semua kota, hampir penuh diserbu massa. Tak terkecuali, pasar tradisional meluber hingga ke jalan-jalan utama. Mereka ingin menyambut datangnya hari itu, sebagai hari yang istimewa. Kembali dalam nuansa bathin yang fitri.
Di beberapa pusat arus lalu-lintas; darat, udara dan laut, juga terjadi hal yang sama. Kepadatan penumpang meningkat drastis. Jalan-jalan dibanjiri aneka jenis kendaraan. Kemacetan adalah hal yang pasti. Tapi, uniknya, mereka bisa baku-maklum adanya --seketika itu juga. Seolah masing-masing pihak sudah meneken 'kontrak' tidak saling mendahului.
Dan, untuk sementara, para penegak hukum lalu-lintas pun seperti sedang memberlakukan masa jeda. Mereka beri uluran 'dispensasi' terhadap pelanggaran-pelanggaran kecil. Faktor kenyamanan dan keselamatan di jalan, menjadi prioritas utama.
Itulah gambaran umum arus mudik lebaran. Arus 'migrasi' massal --dari pusat kota ke daerah, melintasi pulau-pulau, merupakan siklus tahunan kita. Di dalamnya, seolah ada energi yang menggerakkannya. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan takaran logika.
Mudik lebaran, bukanlah sekedar bagian dari ritual keagamaan semata. Ia memiliki fungsi sosial-kemasyarakatan yang tinggi. Ikatan-ikatan kekeluargaan kembali tumbuh bersemi. Menyambungkan mata rantainya, menembus batasan-batasan yang tak terhingga.
Juga, semangat kekeluargaan dan kebersamaan mereka itu --diakui, ikut mewarnai corak ikatan kebangsaan kita selama ini. Semangat 'persatuan' yang dikobarkan para pendiri bangsa kita, sebenarnya bersumber dari akar tradisi semacam itu. Ia sudah lama bersemayam di bumi nusantara ini. Dan, kini ia sudah menjadi 'icon budaya' di kalangan umat Islam itu sendiri.
Dengan kata lain, mudik lebaran merupakan kegiatan 'budaya' yang disemangati oleh nilai-nilai agama. Keduanya, telah membangun 'ruang kolaborasi' --yang saling menguatkan. Dari situ, terjadi sebuah dialektika yang membentuk karakter khusus bagi masyarakatnya. Apakah itu Islam nusantara? Apapun itu namanya, yang pasti ia telah lama ada --sebelum nama itu lahir.
Dalam hal ini, kehadiran negara juga menjadi penting. Negara hadir bukan sebagai 'kata pemutus' hubungan dialektik keduanya. Peran negara tak perlu tampil dalam bentuk wajahnya yang hegemonik lagi. Kehadiran negara, adalah memberikan jaminan dialektika keduanya tumbuh dengan baik. Yakni, memberikan jaminan ketertiban dan rasa aman bagi warga negaranya.
Artinya, mudik lebaran itu sendiri ternyata memiliki unsur-unsur penting di dalamnya. Yaitu, antara unsur agama, budaya dan peran negara. Begitu juga, jika ketiga unsur itu ditarik dalam spektrum yang lebih luas lagi --dalam kontek kebangsaan kita, misalnya, alangkah indahnya 'arus mudik kebangsaan' kita nanti. Minimal, kita bisa mengurangi efek terjadinya 'kecelakaan bangsa' selama proses itu berlangsung.
Hal lain --yang tak kalah menarik, selama kegiatan budaya itu berlangsung, adalah terjadinya pergerakan ekonomi masyarakat yang dahsyat. Kita tak bisa bayangkan, betapa besar peredaran nilai rupiah ketika itu. Ekonomi rakyat bangkit, tak peduli berapa nilai tukar dollar terhadapnya.
Oleh karenanya, sudah seharusnyalah pemerintah menyusun strategi kebudayaan bangsa kita --sebagai upaya menggerakkan basis ekonomi masyarakat kita secara mandiri. Ternyata, unsur budaya juga punya peran lebih penting dalam menggerakkan ekonomi masyarakat kita. Saya berharap, 'lebaranku' kali ini menjadi bagian 'lebaran anda' juga. Â