Pemikiran filsafat manusia menurut August Comte
Istilah positivism paling tidak mengacu pada dua hal berikut :
Pada teori pengetahuan (epistemologi) dan pada toeri tentang perkembangan sejarah (akal budi) manusia. Sebagai tori tentang perkembangan sejarah manusia, istilah positivisme identik dengan tesis Comte sendiri mengenai tahap-tahap perkembangan akal budi manusia, yang secara linier bergerak dalam urut-urutan yang tidak terputus. Perkembangan itu bermula dari tahap mistis atau teologis ke tahap metafisis, dan berakhir pad tahapan yang paling tinggi, yakni tahap positif.
Terlebih dulu akan dideskripsikan tesis kedua, yakni tentang perkembangan akal budi manusia. Perkembangan akal budi ini, menurut Comte, berlaku buat segenap umat manusia, baik sebagai kelompok (masyarakat, bangsa, negara) maupun sebgai individu. Kemudian, akan dilanjukan dengan deskripsi mengenai ilmu pengetahuan positif, yang menurut Comte mrupakan satu-satunyajenis pengetahuan tertinggi dan paling ungguk yang pernah similiki oleh manusia.
Tahap-Tahap Perkembangan Akal Budi Manusia
1.Tahap teologis
Tahap ini merupakan tahap paling awal dari perkembangan akal manusia. Pada tahap inimanusia berusaha menerangkan segenap fakta/ kejadian dalam kaitannya dengan teka teki ala yang dianggapnya berupa misteri. Segala-galanya, termasuk manusia sendiri, direangkan dalam hubungannya dengan kekuatan-kekuatan sebagai mahkluk luhur dan rasional,yang posisinya di dalam alam berada di atas mahluk-mahkluk lain. Sebaliknya ia menghayati dirinya sebagai bagian dari keseluruhan alam, yang selalu diliputi oleh rahasia yang tak terpecahkan oleh pikirannya yang sederhana
Dalam tahap teologis ini terdapat beberapa bentuk atau cara berfikir. Bentuk yang pertama adalah fetiyisme dan animism. Dalam kedua bentuk berfikir ini, kita bisa menyaksikan bagaimana manusia menghayati alam semesta dalam individualitas dan partikularitasnya. Pohon beringin di depan Keraton Yogyakarta misalnya, tidak dimengrti sebagai bagian dari satu spesies pohon beringin atau pohon pada umumnya, tetapi sebgai sbeuah pohon beringin khas dan sakral. Benda-benda lainpun, seperti halnya manusia, mempunyai jiwa atau rohnya sendiri : keris, batu cincin, rumah kuno, dan lain sebgainya mempunyai roh dan kepribadiannya sendiri-sendiri.
Kemudian terdapat cara berfikkir yang lebih maju yang disebut dengan politeisme. Cara befikir ini lebih maju daripada cara berfikir yang pertama, Karena sudah tampak adanya sejenis klasifikasi atas dasar kesamaan dan kemiripan. Individualitas dan partikularitas benda atau kejadian diganti oleh kelas-kelas benda atau kejadian, dan kemudian diekspresikan dalam bentuk konsep-konsep umum dan abstrak. Bukan lagi tiap-tiap benda, tiap-tiap pohon, tiap-tiap desa yang mempunyai roh , tetapi tiap jenis atau kelas benda, pohon dan desa. Jika dalam cara berfikir animism terdapat keyakinan bahwa sawah dan lading disetiap desa masing0masing dihuni oleh roh-roh leluhur penduduk desa, maka dalam cara berfikir polieisme diyakini bahwa Dewi Srilah yang menghuni dan memelihara semua sawah dan lading disemua desa manapun.
Cara berfikir yang lebih maju lagi adalah monoteisme. Cara berfikir ini tidak lagi mengakui aanya banyak roh (dewa) dari benda-benda dan kejadian-kejadian, tetapi hanya mengakui satu roh saja,yakni Tuhan. Tuhan dipandang sebagai satu-satunya Roh, yang mengatur dan menguasai bumi dan langit. Semua benda dan kejadian, termasuk manusia, bersal dan berakhir dari suatu kekuatan tunggal yang bersifat rohaniah itu (Tuhan).
Cra berifikr ini membawa pengaruh yang besar pada kehidupan social, budaya, dan pemerintahan.
2.Tahap Metafisi
Tahap metafisis pada prinsipnya hanya merupakan suatu bentuk modifikasi artificial saja dari tahap teologis. Baik manusia teologis maupun manusia metafisis sebetulnya sama-sama mengembangkan pengetahuan dalam rangka mencari sebab pertama dan tujuan akhir dari kehidupan.
3.Tahap positif
Pada tahap positif gejala dan kejadia alam tidak lagi dijelaskan secara a priori, melainkan berdasarkan pada observasi, eksperimen dan komparasi yang ketat dan teliti. Gejala dan kejadian alam harus dibersihkan dari muatan tologis dan metafisisnya. Akal tidak diarahkan untuk mencari kekuatan-kekuatan yang bersifat transenden di balik atau, hakikat (esensi) di dalam setiap gejala dan kejadian. Akal pun tidak lagi berorientasi pada pencarian sebab pertama dan tujuan akhir dari kehidupan.
Eksistensi Manusia Sebagai Individu Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855)
Perjalanan hidup Kierkegaard yang pahit dan tragis, pada akhirnya membawanya pada kesadaran akan pentingnya mencari jawaban atas persoalan-persoalan hidup yang lebih konkrit dan factual, yang dialami oleh setiap manusia dalam kehidupan sehari-hari. Seperti kesenangan, kebebasan, kecemasan, penderitaan kebahagiaan, kesepian, harapan dan sebagainya adalah persoalan hidup yang harus dicari jawaban atau maknaya.
Suatu aspek yang melekat pada kebebasab adalah tnggung jawab. Kebebasan dan tanggung jawab merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Tidak bisa dibenarkan seseorang yang mengaku dirinya bebas, tapi tidak mau bertanggung jawab atas kebebasannya itu. Konsekuensi apapun dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang individu adalah tanggung jawab individu itu.
Masalah kebebasan dan tanggung jawab adalah masalah yang fundamental dan krusial. Sumber permasalahan utama eksistensi manusia sesungguhnya terletak pada masalah kebebasan dan tanggung jawab itu. Kebebasan itu tanggung jawab itu yang selalu diinginkan dan bahkan diperjuangkan oleh hamper setiap manusia, ternyata bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Sebaliknya, kebebasan justru sering mendatangkan persolalan , yakni menimbulkan rasa cemas dan gelisah.
Tiga tahap eksistensi manusia
1. Tahap estetis
Tahap estetis adalah tahap dimana orientasi hidup manusia sepenuhnya diarahkan untuk mendapatkan kesenangan. Pada tahap ini manusia dikuasai oleh naluri-naluri seksual (libido), oleh prinsip-prinsip kesenangan yang hedonistic, dan biasanya bertindak menurut suasana hati (mood).
Manusia estetis hidup untuk dirinya sendiri, untuk kesenangan dan kepentingan pribadinya.
2. Tahap etis
Memilih hidup dalam tahap etis berarti mengubah pola hidup yang semula estetis menjadi etis. Ada semacam “ pertobatan “ di sini, dimana individu mulai menerima kebijakan-kebijakan moral dan memilih untuk mengikatkan diri kepadanya.
3. Tahap religious
Hidup dalam Tuhan adalah hidup dalam subjektivitas transenden, tanpa rasionalisasi dan tanpa ikatan pada sesuatu yang bersifat duniawi atau mundane. Individu yang memilih jalan religious tidak bisa lain kecuali berani menerima subjektivitas transendennya itu subjektivitas yang hanya mengikuti jalan Tuhan dan tidak lagi terikat baik pada nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal (eksistensi etis) maupun pada tuntutan pribadi dan massyarakat atau zaman (tahap estetis).
Struktur Kesadaran Manusia dalam Cahaya Fenomenologi Edmund Husserl
Seluruh karya Husserl mencerminkan kerja keras seseorang filsuf besar dalam membangun suatu gagasan yang juga besar. Besarnya gagasan yang dimiliki Husserl tampak dari obsesinya untuk membangun sebuah filsafat sebagai “ilmu” yang sungguh-sungguh sistematis dan ketat (“rigorous”). Filsafat seperti itu merupakan suatu banguna system pengetahuan yang kokoh kuat, sehingga memberi dasar atau landasan bagi pengetahuan yang datang kemudian.
Naturalisme yang yang dikritik Husserl adalah “Naturalisme ” yang berpandangan, bahwa realitas atau dunia sepenuhnya bersifat fisik (natural). Ini berarti bahwa paham ini menolak adanya realitas psikis, atau “ menaturalisasikan” realitas psikis menjadi realitas fisis.
Filsafat sebagai ilmu rigorous itulah yang hendak dibangun oleh Husserl di dalam filsafatnya. Cirri rigorous dari ilmu ini lebih dekat pada ilmu-ilmu deduktif, seperti logika dan matematika, daripada pada ilmu-ilmu alam induktif menurut model positivism Comte.
Eksistensi yang Otentik Menurut Martin Heidegger
Pengaruh Heidegger
Pengaruh Heidegger pada lingkungan akademis, lebih besar dan lebih luas dibandingkan dengan pengaruh Husserl sendiri. Hal itu bisa dipahami, mengingat pemikiran Heidegger bukan hanya bisa diterima di dalam lingkungan filsafat, tetapi juga di dalam lingkungan ilmu-ilmu manusia, khususnya psikologi dan psikiatri. Gejala-gejala manusiawi yang diuangkap oleh Heidegger memang merupakan gejala-gejala fundamental , yang selalu dialami manusia secara universal. Gejala-gejala demikian berdekatan dengan gejala gejala yang hendak dijelaskan oleh psikologi dan psikiatri.
Konflik Eksistensial Manusia menurut Jean Paul Sartre
“...kesadaran adalah pusaran kemungkinan.”(Sartre)
Dalam pembahasan epistemologi filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre sebagaimana akan dipaparkan lebih lanjut, pengertian epistemologi digunakan dalam dua bentuk, yakni epistemologi sebagai, “metode yang digunakan Sartre dalam merumuskan eksistensialisme” serta epistemologi sebagai, “kerangka berpikir dalam eksistensialisme”. Apa yang dimaksudkan dalam pengertian kedua (epistemologi sebagai kerangka berpikir) adalah, berbagai kerangka konseptual (baca: ide-ide kunci) yang andil dalam mengkonstruksi dan menyusun filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre. Dengan kata lain, merupakan berbagai ide pokok atau “instrumen” eksistensialisme dalam upaya menjelaskan, memahami serta “menghadapi” dunia. Dengan demikian, “epistemologi sebagai kerangka berpikir” dalam eksistensialisme Sartre merupakan kelanjutan dari metode awal dalam eksistensialisme yang telah mengalami perombakan dan “pengemasan” sedemikian rupa oleh Jean Paul Sartre. Selayang Pandang Fenomenologi: “Ilmu Tanpa Prasangka”
Fenomenologi merupakan salah satu bentuk epistemologi yang cukup menonjol dalam filsafat, pada ranah disiplin sosiologi pemahaman tersebut terklasifikasikan dalam tataran mikro-Sosiologi melalui beberapa tokohnya semisal Peter Berger dan Alfred Schutz.[4] Istilah “fenomenologi” berasal dari bahasa Yunani, fenomenon yang artinya, “sesuatu yang tampak”, sementara penganut fenomenologi meng-interpretasikan-nya sebagai, “apa yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri”, atau “penampakkan sebagaimana adanya”, yakni “segala sesuatu yang benar-benar jelas di hadapan kita”.
Fenomenologi sebagai Epistemologi Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre Tak dapat dipungkiri bahwa fenomenologi menempati kedudukan urgen bahkan “sentral” dalam filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre. Dalam hal ini, Sartre mengakui betapa besar pengaruh fenomenologi Edmund Husserl dalam pemikiran filsafatnya, “Fenomenologi Husserl dengan gemilang membuka jalan untuk mengadakan studi-studi tentang kesadaran dengan bertolak dari titik nol, tanpa asumsi-asumsi, tanpa hipotesis-hipotesis, dan tanpa teori-teori prafenomenologis”, demikian pungkasnya. Tegas dan jelasnya, fenomenologi merupakan “metode” atau “teknik” dalam filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre. Lebih jauh, Sartre menekan pula beberapa arti penting fenomenologi Husserl; pertama, perlunya menempatkan kesadaran sebagai dasar penyelidikan filsafat dan kedua, pentinganya filsafat untuk kembali pada realitasnya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H