Mungkin suatu kebetulan, atau sudah nasib mempunyai rumah dekat dengan Sekolah Menengah Kejuruan di kampung halaman saya. Sehingga setiap hari yang  saya saksikan ratusan remaja berseragam putih abu yang sedang mencoba menggapai cita-cita.
Ngobrol dan bertukar pengalaman pun sering  saya lakukan. Dari pembicaraan itu ada beberapa hal yang membuat saya prihatin teramat sangat, dan menjadi rasa takut mendalam dikarenakan saya juga punya 2 anak yang akan menjadi remaja tentunya.
Pada satu kesempatan saya lihat ada sekelompok anak remaja tersebut sedang mengobrol disebuah warung, yang kali ini sejumlah anak remaja perempuan. Ketawa cekikikan memang menjadi bagian dari obrolan remaja. Karena aku juga pernah remaja dulu.. heheheh... Saya berusaha menguping pembicaraan mereka. Dan astaga saya kaget! Karena pembicaraan mereka tidak lepas dari Facebook dan pacaran. Dalam benak saya, luar biasa sekali efek Facebook ini buat remaja, sebegitu pentingnya Facebook bagi mereka, sehingga kalau akun FB (Facebook) mereka di hack orang, mereka akan sangat panik dan menderita.
Dan kebetulan juga saya punya usaha jasa printing dokumen dan warnet di rumahku. Jadi setiap hari saya bergaul dengan mereka. Yang lebih memprihatinkan adalah, ketika mereka diberikan tugas oleh gurunya dan harus mencari di internet, yang pertama mereka buka bukan bahan tugasnya tapi akun FB nya. Sehingga saking asik FB an, mereka lupa akan tugasnya, padahal waktu dan uang di warnet terus berjalan. Sungguh memprihatinkan ketika mereka bilang, "Ah... yang penting ngumpulin tugas!, lagian ngga akan dibaca ini sama gurunya", dan kalau mereka sudah terlalu asik FB an, mereka menyerah, langsung ambil jalan pintas untuk meminta dibuatkan tugasnya ke operator warnet ku. Padahal, semua tugas artikel, makalah, atau apapun ada dan lengkap di internet. Tinggal search saja. Dan parahnya mereka tidak punya rasa MALU dengan semua itu. Muncul pertanyaan di benakk saya, apakah semua remaja sekarang seperti ini? Apakah ini efek dari kemajuan zaman? Atau memang Guru dan Ortu mereka tidak pernah mengajarkan?
Memang kemudahan akses informasi, komunikasi, dan kebebasan berekspresi semakin maju. Namun sepertinya ini menjadi bumerang hebat untuk generasi muda yang belum siap menerima gelombang unlimited information ini. Remaja sekarang begitu mudahnya difasilitasi kendaraan mulai hanya sekedar motor bekas butut, sampai motor dengan harga seharga mobil. Dan mereka begitu bangganya kalau pulang sekolah membonceng perempuan. Selain itu juga fasilitas telepon genggam dari yang merk cina, sampai merk buah hitam dan tablet menjadi modal utama dalam pergaulan. Sayangnya, semua fasilitas tersebut banyak yang justru menjadi bahan untuk mendekatkan mereka pada kesenangan saja, motor dijadikan sarana balapan dan kendaraan untuk membolos, telepon genggam dijadikan sarana untuk menyimpan video porno, akses fb, dan yang paling parah, dijadikan perekam adegan mesum mereka dengan pacarnya.
Memang kejadian tersebut tidak  dilakukan oleh semua remaja, namun sudah menjadi trend, dan wabah di kalangan remaja. Sekali lagi siapa yang salah? Remajanya kah? Orangtuanya kah? atau justru ini bagian dari kebobrokan sistem pendidikan negara kita? Dan apakah ini jadi perhatian kita semua termasuk pemerintah? Apa jadinya negara ini kalau generasi mudanya sudah tidak punya jati diri ke Indonesiannya? Mereka lebih mencintai budaya luar, entah Hollywood lah, Bollywood lah, atau K pop.
Dan yang perlu kita perhatikan juga, berapa banyak remaja kita yang tahu dengan Jaipongan, Wayang Golek, atau kesenian asli daerah mereka? Mereka bilang "ga gaul", "kamseupay", "udik". Kalau ini dibiarkan, saya yakin 10-20 tahun lagi, Indonesia akan mengalami kepunahan budaya. Jadi jangan hanya batik saja yang diperhatikan. Tapi kesenian dan budaya asli lainnya juga harus dilestarikan. Dan seharusnya pemerintah lebih aware akan hal ini.
Namun yang pasti, pendidikan agama dari awal usia remaja, dan keharmonisan di dalam keluarga menjadi salah satu faktor utama dalam membentengi pergaulan remaja di negara kita. Jangan menyalahkan kemajuan teknologi, namun mari kita tanya sejauh mana kita siap menghadapi kemajuan teknologi dan kebebasan berekspresi. Hanya kita lah para orang tua yang harus lebih tegas dan disiplin terhadap anak-anak kita, jangan mengandalkan sekolah meskipun sekolah mahal dan ternama.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H