Internasional Conference On Islam, Science, Language, Law, Education, Economics, and Humanity atau disingkat dengan IC-ISLEH telah selesai diselengarakan oleh Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang pada Selasa-Rabu (15-16 Oktober 2024) di Kampus 2 UIN Malang yang beralamat di Jalan Raya Dadaprejo Kecamatan Junrejo Kota Batu Jawa Timur. Banyak peserta dari berbagai daerah di Indonesia termasuk beberapa peserta dari luar negeri yang mengikuti konferensi internasional tersebut. Begitu juga dengan penulis beserta tim yang juga merupakan bagian dari peserta konferensi internasional ini, dimana penulis beserta tim mengambil rumpun pembahasan language atau bahasa.
Setelah mempelajari berbagai macam teori tentang pendidikan, penulis beserta tim mempunyai ketertarikan terhadap salah satu teori tersebut, yakni behaviorisme. Tentu para akademisi dan praktisi pendidikan tidak asing dengan teori ini, teori yang mencoba memandang siswa melalui konsep stimulus dan respon serta menggunakan perlakuan yang kemudian disebut trial dan error. Teori ini kemudian dikembangkan banyak tokoh yang salah satunya adalah Edward Lee Thorndike dengan teori Connetionism nya. Jikalau teori behaviorisme membahas tentang proses stimulus dan respon, maka teori Connectionism mencoba mendalami penguatan stimulus dan respon tersebut melalui tiga aspek hokum, aspek hokum latihan, aspek hokum akibat, dan aspek hokum persiapan. Pada IC-ISLEH ini, penulis beserta tim mencoba mengaitkan teori Connectionism dengan pembelajaran bahasa Arab. Lalu, apa yang menarik dari teori behaviorisme connectionism tersebut? Apa hubungannya dengan fenomena diskriminasi pendidikan yang kerap terjadi?
Kacamata behaviorisme: Lingkungan lebih berpengaruh daripada bakat alami manusiaÂ
Ada sebuah syiir bahasa Arab yang mengatakan "tentang seseorang jangan Tanya siapa (dia), tapi tanyalah siapa temannya, maka setiap teman akan mengikuti orang yang dia temani". Syiir ini mengungkap bagaimana cara untuk mengetahui karakter asli dari seseorang. Bagaimana cara mengungkap karakter seseorang menurut syiir ini? Jawabannya sangat sederhana sekali, yaitu dengan mencari tahu dengan siapa dia berteman. Syiir ini mengatakan, jikalau seseorang berteman dengan orang-orang baik, maka dapat diketahui bahwasanya orang tersebut adalah orang baik, begitu pula sebaiknya. Syiir ini sangat sesuai dengan ungkapan "Jika kita berteman dengan penjual minyak, maka kita juga akan ketularan wanginya". Syiir dan ungkapan ini dengan jelas mengungkapkan pentingnya memilih teman, dimana teman tersebut akan menentukan baik buruknya seseorang. Lalu apa hubungannya dengan teori Behaviorisme Connectionisme pada IC ISLEH ini?
Seperti yang diungkapkan sebelumnya, bahwa teori Behaviorisme Connectionisme berfokus kepada penguatan stimulus dan respon melalui perlakuan trial dan error. Pada teori ini, pemberian stimulus dan respon dilakukan melalui lingkungan sebagai tempat interaksi manusia. Teori ini juga tidak mengenal bakat alami manusia, sehingga penerapan perlakuan trial dan error tersebut berlaku untuk semua orang, tanpa harus memandang perbedaan bakat dan kemampuan belajar setiap orang. Bahkan, pada awal mula munculnya teori behaviorisme connectonisme, teori ini diujicobakan kepada hewan, yakni tikus dan kucing, dimana tikus dan kucing ini dilatih untuk menemukan makanan pada sebuah labirin. Meskipun mempunyai banyak pro dan kontra terkait hal ini, dimana banyak tokoh lain yang kontra dengan teori Behaviorisme Connectionism karena seolah menyamakan manusia dengan hewan, namun teori ini tetap terkenal dan dipakai dalam proses pembelajaran.
Melalui teori behaviorisme connectionisme, pembentukan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak sangat diperlukan. Lingkungan yang memberikan stimulus belajar yang baik bagi siswa, akan memancing respon yang baik dari siswa. Termasuk dalam ha ini adalah pembelajaran bahasa Arab. Lingkungan yang memberikan stimulus agar siswa selalu menggunakan kosa kata bahasa Arab, tentu akan menimbulkan respon yang bagus dari siswa yakni mereka mau dan akhirnya mampu menggunakan kosa kata bahasa Arab dalam kehidupan keseharian mereka. Ditambah lagi dengan tiga hokum penguatan yang dimiliki teori connectionisme yakni hokum sebab akibat, hokum latihan, dan hokum kesiapan, maka hubungan antara stimulus dan respon akan semakin menguat. Pembentukan lingkungan yang mengarah kepada penguatan stimulus dan respon ini, sama sekali tidak memandang, latar belakang kemampuan siswa, sehingga siswa dengan berbagai latar belakang kemampuan dasar bahasa arab memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dengan terus diberikan stimulus dan respon.
Pada akhirnya, teori ini menunjukan bahwa lingkungan yang baik, meliputi guru yang baik dan teman yang semangat, akan menstimulasi siswa untuk selalu belajar dan berkembang.
Mata air kesetaraan, di tengah gurun diskriminasi pendidikan
Cukup banyak fenomena diskriminasi pendidikan yang terjadi di seluruh dunia, tak terkecuali di bumi pertiwi, Indonesia. Bahkan sejak zaman penjajahan, dimana politik balas budi dilakukan oleh Belanda kepada rakyat Indonesia, diskriminasi tetap terjadi dimana pada zaman itu yang berhak mendapatkan pendidikan adalah mereka yang berasal dari golongan Priyayi atau bangsawan. Tidak ada kesempatan bagi orang biasa untuk menuntut ilmu pada zaman itu, sehingga kebodohan masih banyak terjadi meskipun sudah berkurang. Setelah Indonesia merdeka, kesempaatan untuk meraih pendidikan pun memang sudah merata, seluruh masyarakat dari berbagai elemen dan golongan mempunyai hak yang sama dalam menempuh pendidikan. Hal ini adalah upaya pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945. Namun, apakah diskriminasi pendidikan sudah berakhir? Jawabannya tentu belum.
Bahkan setelah seluruh masyarakat Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk meraih pendidikan, diskriminasi tetap sangat mungkin terjadi. Diskriminasi kali ini bukan lagi tentang hanya golongan bangsawan yang berhak mendapatkan pendidikan, tapi diskriminasi yang terjadi mungkin bisa dikatakan lebih mengerikan, yaitu diskriminasi pada kemampuan siswa. Kenapa kemampuan siswa? Karena konsep siswa yang bodoh dan siswa yang pintar sudah mendarah daging pada masyarakat Indonesia, bahkan tidak terkecuali para pendidik bangsa ini. Mungkin tulisan ini terkesan terlalu naif, karena seolah-olah menuduh beberapa oknum guru melakukan diskriminasi tersebut, di tengah gaji guru yang belum seberapa dengan tanggungjawab mereka. Namun, tulisan ini hanya mencoba mengenalkan lebih dalam tentang konsep teori Behaviorisme Connectionsime yang mungkin dapat dijadikan rujukan dalam mengurangi diskriminasi kemampuan peserta didik.
Teori Behaviorisme Conenctionsme yang berfokus kepada pendekatan pembentukan lingkungan yang efektif untuk melakukan stimulus dan respon, dapat menjadi mata air yang melegakan dahaga diskriminasi kemampuan peserta didik. Melalui teori ini, diharapkan konsep tidak ada anak yang bodoh dapat terus menancap dan benar-benar dipegang oleh masyarakat khususnya para pendidik generasi bangsa. Konsep tidak ada anak yang bodoh selain berarti setiap anak mempunyai keunggulan pada bidang yang berbeda, juga berarti bahwa setiap anak pasti dapat berkembang jikalau mendapatkan lingkungan dan perlakukan yang pas dan sesuai dalam proses belajar. Melalui teori ini, dipahami bahwa tidak ada anak yang tidak bisa diajari, yang ada adalah anak yang belum menemukan cara tepat untuk diajari, tidak ada anak yang tidak bisa diajari, yang ada adalah anak yang kurang lama belajar dan diajari. Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!