sosial yang semakin menganga di ibu kota.
Di sudut Jakarta Pusat, di antara kemegahan apartemen-apartemen mewah yang menjulang tinggi, terdapat sebuah pemandangan yang kontras dan mencolok: sebuah rumah reyot yang tampak bertahan di tengah arus modernisasi yang deras. Kisah rumah reyot milik sang kakek, yang berjuang mempertahankan tanah warisan keluarganya, mencerminkan potret ketimpangan
Fenomena ini bukan sekadar pemandangan aneh atau unik di tengah gemerlapnya kota, tetapi juga cerminan dari realitas sosial yang kompleks. Di satu sisi, apartemen-apartemen mewah itu berdiri sebagai simbol kemajuan ekonomi dan pembangunan. Di sisi lain, rumah reyot yang nyempil di antaranya mengingatkan kita akan kenyataan bahwa tidak semua orang merasakan manfaat dari pembangunan tersebut.
Ketimpangan sosial di Jakarta, seperti di banyak kota besar lainnya, adalah isu yang rumit dan multidimensional. Di satu sisi, ada mereka yang mampu membeli apartemen mewah dengan fasilitas lengkap dan gaya hidup modern. Mereka menikmati keuntungan dari perkembangan ekonomi yang pesat, akses mudah ke berbagai layanan, dan standar hidup yang tinggi. Di sisi lain, ada mereka yang terpinggirkan, yang tetap bertahan di rumah-rumah sederhana dan reyot, berjuang untuk tetap hidup di tengah tekanan urbanisasi yang semakin kuat.
Kisah sang kakek ini menggambarkan bagaimana tekanan dari pihak pengembang dan tuntutan ekonomi sering kali membuat warga yang tinggal di kawasan tersebut harus memilih antara mempertahankan rumah mereka atau menjualnya untuk mendapatkan uang dalam jumlah besar. Namun, bagi sang kakek, rumah reyot itu bukan sekadar tempat tinggal. Rumah itu adalah simbol sejarah, kenangan, dan identitas keluarga yang tak ternilai harganya.
Keberadaan rumah reyot di tengah apartemen-apartemen mewah juga menyoroti ketimpangan akses terhadap sumber daya. Para penghuni apartemen menikmati fasilitas modern seperti kolam renang, pusat kebugaran, dan keamanan 24 jam. Sementara itu, sang kakek dan mungkin banyak warga lain di sekitarnya harus bergulat dengan kondisi hidup yang jauh dari layak, seperti akses air bersih yang terbatas, sanitasi yang buruk, dan infrastruktur yang minim.
Isu ketimpangan ini tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga sosial dan budaya. Perbedaan yang mencolok antara kehidupan di apartemen mewah dan rumah reyot menciptakan jurang pemisah yang dalam antara berbagai kelompok masyarakat. Ini bisa memicu rasa ketidakadilan, ketidakpuasan, dan bahkan konflik sosial di masa depan jika tidak ditangani dengan baik.
Lebih jauh, rumah reyot yang bertahan di tengah arus modernisasi juga membawa pesan penting tentang pelestarian budaya dan sejarah lokal. Setiap bangunan tua dan setiap komunitas yang bertahan memiliki cerita dan nilai yang bisa menjadi bagian penting dari identitas kota. Penghancuran rumah-rumah reyot untuk pembangunan apartemen baru bisa berarti hilangnya jejak sejarah dan budaya yang tak ternilai.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa pembangunan dan modernisasi juga membawa manfaat besar bagi kota dan warganya. Tantangannya adalah bagaimana kita bisa menemukan keseimbangan antara pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif dengan pelestarian nilai-nilai sosial dan budaya yang ada. Pemerintah dan pengembang harus bekerja sama untuk memastikan bahwa setiap warga, termasuk mereka yang tinggal di rumah reyot, mendapatkan manfaat dari pembangunan tanpa harus mengorbankan identitas dan hak-hak mereka.
Fenomena rumah reyot di tengah apartemen mewah juga mencerminkan dinamika urbanisasi yang terjadi di banyak kota besar di dunia. Jakarta hanyalah salah satu contoh dari banyak kota yang menghadapi tantangan serupa. Oleh karena itu, solusi untuk isu ini harus melibatkan pendekatan yang komprehensif, termasuk kebijakan perumahan yang adil, perlindungan hak-hak warga, dan pelestarian warisan budaya.
Kisah sang kakek dan rumah reyotnya mengajak kita untuk merenung tentang arti sebenarnya dari pembangunan. Apakah pembangunan hanya diukur dari gedung-gedung tinggi dan infrastruktur modern? Ataukah pembangunan sejati adalah ketika setiap warga kota, tanpa kecuali, merasakan manfaat dan kesejahteraan yang adil dan merata?
Akhirnya, kisah ini juga mengingatkan kita akan pentingnya solidaritas sosial. Kita perlu melihat lebih dalam dan memahami realitas yang dihadapi oleh tetangga-tetangga kita yang mungkin tidak seberuntung kita. Dengan begitu, kita bisa membangun kota yang tidak hanya maju secara fisik, tetapi juga kuat dalam ikatan sosial dan budaya. Rumah reyot di tengah apartemen mewah mengajarkan kita untuk tidak melupakan nilai-nilai kemanusiaan di tengah arus modernisasi yang kian deras.
Artikel ini ditujukan untuk mengajak mahasiswa Universitas Airlangga dan seluruh pembaca untuk lebih peka terhadap ketimpangan sosial yang terjadi di sekitar kita. Dengan meningkatkan kesadaran dan melakukan aksi nyata, kita semua dapat berperan aktif dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif, serta memastikan bahwa pembangunan kota tidak mengorbankan nilai-nilai sosial dan budaya yang penting.
Sebagai salah seorang mahasiswa Universitas Airlangga, artikel ini ditulis sebagai bagian dari upaya untuk menggugah kesadaran masyarakat mengenai ketimpangan sosial yang terjadi di sekitar kita. Melalui artikel ini, diharapkan pembaca dapat lebih memahami dan peka terhadap isu-isu sosial yang sering kali terabaikan di balik gemerlapnya pembangunan kota. Semoga kita semua bisa berperan aktif dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif.