Mohon tunggu...
Munawir Alhemo
Munawir Alhemo Mohon Tunggu... Lainnya - Pencinta Kopi dan Literasi

Mahasiswa Pasca Sarjana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Refleksi Kritis Implementasi Nilai Kemanusiaan dalam Pancasila

8 April 2021   13:17 Diperbarui: 8 April 2021   17:56 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pancasila dan Tantangan Globalisasi 

          Dalam sejarah perjuangan pancasila dari awal dibentuknya, pancasila membuktikan diri sebagai cara pandang dan metode ampuh bagi seluruh bangsa Indonesia untuk membendung trend negatif perusak asas berkehidupan bangsa. Tantangan yang dahulu dihadapi oleh Pancasila sebagai dasar negara, jenis dan bentuknya sekarang dipastikan akan semakin kompleks dikarenakan efek globalisasi. Sebagai suatu entitas yang terkait dalam budaya dan peradaban manusia, pendidikan di berbagai belahan dunia mengalami perubahan sangat mendasar dalam era globalisasi. Ada banyak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa dinikmati umat manusia. Namun sebaliknya,kemajuan tersebut juga beriringan dengan kesengsaraan banyak manusia.
   Dengan perkembangan Informasi yang begitu cepat, tantangan yang diterima oleh ideologi pada saat ini juga menjadi sangat luas dan beragam. Sebagai contoh, beragam kasus dan pelanggaran HAM di Indonesia seperti terorisme, rasisme, mainstream, diskriminasi dan tindakan-tindakan kriminal yang terkadang menjadi alasan pemicu konflik horizontal antar umat beragama serta ekonomi yang mulai berpindah dari sistim kekeluargaan menjadi wujud tidak terimplentasinya dengan baik nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana diamatkan oleh pancasila.

Tantangan Kemanusiaan


          Tantangan    kemanusiaan  baru  (humanity)  yang  pertama  berkenaan dengan  filsafat  yang  kedua  adalah  ilmu  dan  teoretisasi, dalam  hal  ini  teori sosial  dan  politik,  terutama  konsep  teoretis  berbasis  epistemologi alternatif.  Tantangan    kemanusiaan  baru  yang  ketiga  berkenaan  dengan  kesadaraan moral. Untuk memperbaiki keadaan galau tata gaul indonesia, perlu adanya  aksi  dan manifesto atas dasar moralitas baru, semisal Manifesto Einstein Russel.

Tantangan  untuk  menculnya  humanitas  baru  di  atas  adalah  untuk  mengatasi berbagai  gejala kebangkrutan keadaban (civility) manusia modern masa  kini.  Humanitas  baru  menolak   nilai   otonomi   manusia   berlebihan;   bukan   pula   sekedar   nilai rasionalitas  dan  intelektualisme seperti  dikehendaki  oleh  Julien  Benda, yang  mengritik  dunia  seni  Eropa  awal  abad  ke-20. Humanitas  baru  di  sini juga  bukan  yang  disodorkan  oleh  paham  atau  filsafat yang  "meminggirkan" ide  esensial  dan  keyakinan  primordial  agama  yang  asasi:  dari  Humanisme masa  lampau,  1933,  (Humanist  Manifesto  I) bukan  pula  dicukupkan dengan Humanisme masa kini untuk menyongsong abad ke-21 dari Hunanist Manifesto  I.  

Meski  banyak  hal  disepakati  juga  oleh  "humanis  religius" yang  juga  ikut  menandatangani  manifesto  ini,  namun problem  statement kemanusiaannya  belum  mencakup  kesadaran  tentang  kerusakan  lingkungan akibat  pendekatan  salah  dalam  politik  pembangunan. Kedua,    para  ideolog humanis   ketika   mengidentifikasi   problem   krisis   kemanusiaan   sepertinya  "gelap  mata"  untuk  tidak  memberi  kritik  bahwa  aktor-aktor  penghancur peradaban  adalah  termasuk  praktek  buruk  koporatisme global  dan  ideologi Pasar (Zamhari & Sazali, 2017: 6474).

Menurut Yudi Latif dalam bukunya yang berjudul "Wawasan Pancasila" bahwa meningkatnya kecenderungan eksklusi sosial itu secara eksternal mencerminkan dekadansi nilai-nilai keadilan  dan keadaban dalam relasi kemanusiaan universal era globalisasi dan secara internal mencerminkan lemahnya pemahaman, penghayatan, dan pengalaman masalah hak-hak asasi manusia (HAM). Kemunduran nalar etis karena demokrasi padat modal menjadikan hampir semua hal dikonversikan kedalam nilai uang.

Dimana tatkla uang menjadi tuan, sedang sebaran uang tidak merata, kelompok-kelompok yang merasa tersudut secara ekonomi dan politik cenderung mengembangkan mekanisme defensif dengan mengonsolidasikan kekuatan-kekuatan tribus fundamentalisme, etnosentrisme, dan premanisme. Semakin meluasnya sentimen-sentimen tribus inilah yang kemudian dimanfaatkan para aspiran kekuasaan untuk meledakannya dalam kobaran populisme (Yudi Latif, 2018: 200).

Negara dan Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)

      Sebagai negara hukum, perlindungan terhadap HAM, menuntut kesamaan setiap manusia di depan hukum, tiada kesamaan akan menyebabkan satu pihak merasa lebih tinggi dari pihak lainnya. Situasi demikian merupakan bentuk awal dari anarki yang menyebabkan terlanggarnya HAM. HAM pada hakikatnya adalah hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusia dan berhak dinikmati semata-mata karena ia adalah manusia. Hal itu telah diatur dalam The Universal Declaration of Human Rights, selanjutnya disingkat dengan UDHR.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun