Mohon tunggu...
Munawir Jumaidi Syadsali
Munawir Jumaidi Syadsali Mohon Tunggu... Administrasi - ASN di Dinas Tanaman Pangan, Hortikulturan dan Peternakan

Tertarik dengan Spiritualitas dan Pengembangan Diri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wajah dari Cinta

2 Mei 2024   08:52 Diperbarui: 2 Mei 2024   09:12 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah lama saya memperhatikan Kakek yang tinggal sendiri di Ujung Desa, Kakek Tamparang namanya. Banyak yang bilang beliau dulunya adalah keturunan bangsawan, tapi tak banyak yang tahu mengenai dirinya karena beliau sendiripun bukan orang yang suka bercerita. Beliau sangat dicintai dikampung ini, sudah lama beliau jadi tukang angkut sampah sukarela yang kadang hanya dibayar hasil kebun, beras, cemilan, atau apapun itu. Itupun jika penduduk kampung ada rejeki. Tidak dibayarpun beliau akan selalu mengangkut sampah yang ada di depan rumah penduduk tanpa membeda bedakan. Malah sangat sering beliau yang berbagi kepada Penduduk kampung yang sedang kekurangan.

Bukan hanya sampah, selokan didepan rumah di kampung selalu bersih karena perhatiannya, belum lagi jika ada hajatan atau pesta di kampung beliau selalu jadi orang pertama yang datang membantu. Kebiasaannya yang sangat menarik perhatianku adalah jika melewati kebun yang pemiliknya sedang bekerja sangat sering beliau singgah membantu kadang sampai selesai, kadang hanya sebentar dan kemudian melanjutkan perjalanan. Banyak sudah Pohon buah buahan yang ditanam dan dirawatnya di pinggir jalan atau di lahan yang tak digunakan sehingga kampung kami selalu bisa menikmati musim buah, mulai dari Pohon Mangga, Rambutan, Pohon Langsat, Alpukat, Pohon nangka, Pepaya dan beberapa pohon lainnya, dan siapapun boleh menikmati buahnya. Bibirnya tak pernah lepas dari senyum, memandang wajahnya membuat diri akan merasa damai dan tenang. Beliau sangat berwibawa, tapi bukan oleh perasaan segan dan takut... Beliau berwibawa karena kami mencintainya, tak banyak bicaranya, Tapi buah tangannya memenuhi setiap sudut dan penjuru kampung kami.

Suatu kali saya punya kesempatan duduk berdua dengan beliau ketika baru saja membantuku menyiangi rumput. Sambil minum kopi yang ditemani ubi goreng yang kubawa dari rumah, sayapun berniat menanyakan pertanyaan yang selama ini telah lama membuatku penasaran.

"Mohon maaf Kek, Sudah lama saya penasaran tapi kakek jangan tersinggung ya, saya hanya ingin bertanya sebenarnya agama kakek ini apa? Saya tidak pernah melihat kakek beribadah... sekali lagi Mohon maaf ini kek." Kataku sambil menunduk hormat padanya.

Kakek Tamparang hanya tersenyum "Nggak apa apa, kedua orangtuaku Muslim"kata beliau.

"Tapi, saya tidak pernah melihat kakek ke masjid, bahkan untuk jumatan" cecarku tak sadar.

Kakek Tamparang tersenyum kemudian menunduk, saya menjadi tak enak hati telah lancang menanyakan itu.

"Mohon maaf Kek, saya tidak bermaksud menyinggung hati kakek, sekali lagi mohon maaf Kek entah kenapa saya bicara selancang itu" kataku memohon.

Kakek Tamparang kemudian memandangku dengan pandangan matanya yang selalu teduh dan damai, diusapnya punggungku "Nak, setiap orang memiliki Pengalaman yang berbeda dalam mejalani kehidupan. Dulunya saya berasal dari keluarga bangsawan sehingga banyak mengenyam pendidikan baik sekolahan maupun pondok pesantren. Tapi kehidupan mengajarkan kepadaku bahwa Tuhan tidak butuh Ibadah dan Persembahan apapun dari kita, saya melihat Tuhan adalah Kehidupan itu sendiri... Sehingga apapun yang bisa kulakukan, manfaat apapun yang bisa kuberikan akan kupersembahkan dengan sepenuh hati. Dan melihat rasa terima kasih dari mata siapapun saudaraku dikampung ini yang berkenan untuk aku bantu saya seperti melihat Tuhan tersenyum padaku. Melihat tatapan cinta dan kasih sayang dari mata saudaraku di kampung ini pada diri yang sudah tua ini, saya seperti merasakan Pelukan Penuh Cinta dari Tuhan. Saya melihat wajah Tuhan dikampung ini dan karena itulah saya sangat mencintai kampung ini dan semua saudaraku yang ada dikampung ini " Ucap si kakek pelan dengan air mata yang seperti meremang dengan senyum yang tulus menatap dalam ke mataku.

Tatapan teduhnya yang tajam seakan menembus jauh ke kedalaman diriku bahkan seperti mencapai bagian terdalam diriku yang bahkan tak pernah tersadari olehku.... Kedalamanku berguncang, Saya seperti merasakan bahwa kedamaian dan ketenangan yang terasa di desa kami itu karena kehadiran beliau... Karena Cinta dan Kasih Sayang yang beliau Pancarkan yang telah memasuki relung hati setiap penduduk di desa. Beliau mungkin tak menunjukkan ibadahnya kepada Tuhan dirumah ibadah... Tapi Setiap jengkal tanah di Kampung ini akan bersaksi bahwa setiap ucapan dan perbuatan beliau di kampung kami ini adalah bentuk Ibadahnya kepada Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun