Muhammad, nama itu terlalu susah untuk dilupakan di negeri yang mayoritas muslim ini. Bukan karena nama itu disematkan kepada mendiang penguasa orde baru Haji "Muhammad" Suharto, bukan pula karena nama itu banyak ditemukan di papan-papan nama para pejabat dan politisi negeri ini, atau bukan pula karena nama itu kerap kita temukan dalam sel-sel penjara. Tetapi karena nama itu menyejarah sejak 1430 tahun yang lalu di jazirah Arabia sana, tersematkan dalam wujud seorang Nabi dan Rasul terakhir yang diutus untuk seluruh umat manusia.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa Muhammad dari sisi bahasa menunjukkan arti terpuji, baik dari sisi fisik maupun perilaku sehari-hari. Sejarah Nabi begitu mengagumkan, seluruh dunia mengambil mata air kecemerlangan dari dirinya yang dinilai dari berbagi disiplin ilmu dan berbagai macam tolok ukur oleh para ahli. Thomas Crlyle melihat dengan tolok ukur kepahlawanan, Marcus Dods dengan tolok ukur keberanian moral, Nazmi Luke dengan tolok ukur metode pembuktian ajaran, Will Durant dengan hasil karya dan Michael H Hart dengan pengaruh yang ditinggalkannya.
Lihatlah nuansa kepemimpinan beliau ketika seorang Yahudi miskin dan buta yang setiap pagi disuapi Nabi di sudut pasar kota Madinah dengan penuh kelembutan dan kasih sayang meski di tengah suapannya terlontar "nasihat" dari si yahudi kepada Nabi "hey, kamu mesti berhati-hati terhadap orang yang bernama Muhammad yang telah mengaku sebagai Nabi dan Rasul, ia adalah pembohong besar". Dan Nabi terakhir itu tetap tidak mengubah kebiasaannya hingga beliau wafat.
Bagaimanakah realita hari ini, kita melihat banyaknya pemimpin tidak mampu menjadikan hidup yang menurut motivator spiritual Mario Teguh "hidupku untuk memenangkanmu". Ada prinsip yang secara tidak langsung mentradisi dalam diri para birokrat dan politisi sebagai bentuk kepemimpinan yang buruk adalah bahwa membangun sikap tega terhadap siapapun yang tidak sejalan dengan mereka. Sehingga ketika berada dalam tangga-tangga kekuasaan-dalam level manapun-senantiasa berusaha menjegal, menipu, memanipulasi dan praktek kotor lainnya. Padahal namanya mungkin adalah nama yang diambil dari nama-nama para Nabi dan Rasul.
Nama adalah sebuah doa, ketika seorang ayah menambahkan nama anaknya dengan kata "Muhammad" dirangkaian namanya, sesungguhnya ada sebuah harapan besar yang disimpannya di masa depan bahwa kelak sang anak akan menjadi seseorang yang mengikuti sifat dan karakter beliau. Namun tidak jarang ditemukan banyaknya nama-nama yang bermakna mengarah kepada kebaikan yang sangat kontras dengan perilaku pemilik nama tersebut. Kita bisa melihat di sekeliling kita, atau bahkan memulai memahami kembali makna-makna dibalik nama yang diberikan oleh orang tua kita, adakah ia telah memiliki pengaruh yang dalam terhadap keseharian kita. Tidak usah meletakkan kesalahan masa lalu sebagai kambing hitam ketidakberdayaan kita melihat nama kita sendiri. Mari menyalakan lilin tinimbang memaki kegelapan. Ataukah memang kita tidak bersemangat untuk melakukan perubahan diri dari pemaknaan terhadap nama kita masing-masing karena menganggap bahwa nama tidak memiliki korelasi terhadap perilaku keseharian kita dan mungkin terlalu sepele untuk kita jadikan arah perilaku kita, seperti ucapan Shakespeare "what's name?".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H