Mohon tunggu...
Munawar Ali
Munawar Ali Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya hanya seorang dokter jaga puskesmas di sebuah kecamatan yang bernama Kembang Tanjong. Kecamatan ini berjarak sekitar 130 km dari ibukota Provinsi Aceh, Banda Aceh.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kenangan

15 September 2010   10:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:14 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Ada orang yang dibesarkan dengan amarah dan kebencian, ada orang yang dibesarkan dalam cinta dan pengertian. pada akhirnya kita jualah yang harus memilih, untuk menjadi seorang pendendam atau orang yang penuh maaf..”(Bapak-ku)

Dulunya ada seorang wanita yang telah memiliki seorang kekasih yang sangat ia cintai, mereka berencana untuk meningkatkan hubungan mereka menjadi lebih jauh lagi, perkawinan. Namun batu yang sangat besar menghambat jalan mereka untuk menuju kesana. Keluarga bersikukuh tidak akan menikahkan wanita itu dengan lelaki yang dia kasihi. Bahkan si ibu wanita itu mengancam, jika ia tetap bertekad menikahi lelaki yang dia kasihi maka jangan pernah merasa bahwa ia masih memiliki orang tua, ibu dan Bapaknya-pun tidak akan menganggap lagi wanita itu sebagai anak mereka.

Dalam keputusasaan, wanita itupun menemui kekasihnya –mungkin inilah pertemuan mereka untuk yang terkahir kali. Wanita itu mulai menagis dan meneteskan banyak air mata dihadapan kekasih hatinya. Ia menceritakan apa yang baru saja terjadi di rumah saat ia memaparkan keinginannya berumah tangga dengan kekasihnya tersebut, bukannya senyum sumringah yang ia dapatkan, tapi malah ancaman yang menyuruhnya hengkang dari rumah yang ia temui.

Sepasang kekasih itupun mulai saling bertangis-tangisan, sampai akhirnya si lelakipun angkat bicara, “aku tetap akan menikahimu, meskipun dunia mengecamnya. Karna aku sangat menyanyangimu”, begitu ujarnya.

“Bang.. kalau kita tetap menikah, seumur hidup aku tak bisa menemui orang tuaku lagi”, balas si wanita.

Lelaki itu menjawab lagi, “lalu, hubungan kita yang sudah bertahun-tahun ini, apa akan lekang begitu saja dengan kau meninggalkan ku seorang diri?”

“Sepertinya keputusanku sudah bulat, bang.. aku tak bisa lari denganmu dan meninggalkan orangtuaku, ada banyak hal dalam hidup yang tak bisa kita raih, sebut saja keinginan untuk menikah denganmu. Tapi lari bersamamu kuanggap bukanlah takdirku, takdirku hanya mengabdi pada orang tuaku, meskipun itu dengan cara mengorbankan rasa cintaku yang teramat sangat kepada dirimu”.

Setelah keheningan yang menyiksa, lelaki itupun berkata dengan lirih sembari menitikkan air matanya, “jika itu sudah menjadi keputusanmu, aku akan menghormatinya. Bukan karena aku rela melepasmu dan kemudian melihat kau bersanding dengan lelaki lain, tapi lebih karena aku sangat-sangat menyanyangimu karenanya aku akan menghormati apapun pilihanmu. Dan sayangku.. ingat-ingatlah sumpahku ini, jikapun takdir membawa kita kejalan yang lain dan aku selama-lamanya tak bisa mengawinimu maka kelak akan tetap kucari seorang wanita yang sangat mirip denganmu untuk terus mengingatkanku padamu yang sangat kusayangi.”

Pecahlah tangisan dari wanita itu dan mereka berduapun larut dalam kesedihan yang mendalam.

Tak berselang bulan menikahlah wanita itu dengan seorang lelaki pilihan orang tuanya, lelaki yang baru ditemuinya beberapa hari sebelum pesta perkawinan dilangsungkan. Orang tuanya sangat berbahagia, tapi tak seorangpun yang tahu dengan pasti apa yang sebenarnya dirasakan oleh wanita tersebut..

***

Dua puluh tahun-pun berlalu sudah, wanita itu kini telah memiliki tiga orang putra dan seorang putri, buah dari perkawinannya dengan lelaki yang dijodohkan oleh orang tuanya.

Mereka ber-enam hidup dalam kesederhanaan, suaminya hanya seorang guru MIN yang sehari-hari mengajar dan menjahit pakaian diwaktu luang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sedang ia sendiri hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang membantu suaminya berjualan di sebuah kedai kecil di depan rumah mereka.

Pagi itu sangat cerah saat suaminya pulang kerumah dan mengabarkan kepadanya, bahwa dia telah mendapat tugas untuk seminar selama dua minggu ke Jakarta, dan dengan penuh semangat ia mengajak istri dan anak perempuannya yang masih berusia 10 tahun untuk menuju kesana bersama-sama dengannya, benar-benar sebuah mimpi yang belum pernah dicapai oleh orang kecil seperti mereka.

Dalam kegirangan yang teramat sangat, si wanita itupun mulai menyusun rencana-rencana hebatnya nanti selama berada di Jakarta. Berkunjung ke rumah abang kandungnya yang kebetulan telah tinggal di ibukota, mengunjungi Monas, mengajaknya anak perempuanya ke Taman Mini, mengajaknya bermain di Dufan, dan berkeliling kota Jakarta untuk melihat gedung-gedung tinggi pencakar langit. Dengan bersemangat, ia pun mulai menceritakan daftar-daftar kegiatannya tersebut ke sang suami. Suaminya dengan seksama mendengar apa yang diutarakan oleh istrinya. Setelah istrinya mengungkapkan semua keinginannya itu, suaminya-pun menyela “istriku, sepertinya ada hal yang sangat penting yang tertinggal dari daftar-daftarmu itu.”

“Apalagi yang tertinggal, bang? sepertinya semua sudah kusebutkan tadi”.

“Apakah kau tidak ingin mengunjungi kekasihmu dulu? Bukankah dia telah lama bekerja di ibu kota? Apakah kamu begitu saja akan memutuskan tali silaturrahmi dengan orang yang kamu cintai itu?”.

Seperti langit telah runtuh menimpa ubun-ubun wanita itu, dia yang telah lupa akan keberadaan orang yang pernah mengisi hatinya itu malah diingatkan lagi keberadaannya oleh seorang lelaki yang sekarang telah menjadi suaminya.

Dengan mata yang berkaca si wanita itu bertanya pada suaminya, “Apakah abang mau saya menemuinya disana?”

“Kenapa tidak? Aku akan menemanimu untuk berkunjung ke rumahnya, kita bersama-sama akan menyambung tali silaturrahmi dengan ia yang pernah kamu sayangi..”

Butuh kebesaran hati yang sangat besar dari seorang lelaki untuk bisa mengucapkan kata yang seperti itu. Dan hari itu, sang wanita begitu bersyukur pada Tuhan, bahwa ia bisa menjadi wanita yang paling beruntung di dunia yang mana ia bisa mendapatkan lelaki hebat itu untuk menjadi suaminya. Meskipun ia tak bisa hidup kaya raya seperti orang lain, ia ternyata bisa memiliki suami yang kaya hati tak seperti suami yang lain. Hari itu juga dibersyukur pada Tuhan bahwa dulunya ibunya telah memaksanya menikahi lelaki ini. Meledaklah tangisnya sembari memeluk suaminya.

***

Wanita itu adalah ibuku, dan suaminya itu adalah bapak hebatku. Bertahun sudah aku mendengar cerita pilu tentang kisah percintaan yang di alami oleh ibuku dan kekasihnya itu. Sempat dulunya berpikir bahwa ibuku adalah seorang Siti Nurbaya yang cintanya direbut oleh bapakku yang adalah reingkarnasi dari Datuk Maringgih. Sempat pula terpikir olehku bahwa yang layak menjadi suami ibuku adalah seorang Samsul Bahri yang kini telah menjadi salah seorang pengusaha sukses di jakarta -yang memiliki istri yang nyaris serupa dengan ibuku. Tapi jika waktu itu ibu tak mengawini bapak, mungkin aku tak bisa terlahir didunia, aku mungkin masih berada dialam antah berantah, tak bisa menikmati hidup, tak bisa punya seorang anak yang tampan, ataupun tak memiliki istri yang cantik jelita seperti sekarang ini. Tanpa bapak mengawini ibuku mungkin aku bukanlah apa-apa.

Sebelumnya ada banyak cerita yang beredar di kampung, bahwa bapakku adalah orang yang paling bertanggung jawab memisahkan cinta ibuku dan kekasihnya. Tapi kemudian bapak bisa membuktikan kepada orang sekampung, bahwa ia tak senista yang dipikirkan oleh mereka. Ia juga bisa membahagiakan ibuku, ia bukan orang yang kaya memang, malah ia telah yatim pada saat ia masih kecil, yang kemudian harus menanam dan menjual cabai sendiri untuk menyekolahkan dirinya serta ketiga adik perempuannya. Tapi ia benar-benar mencintai ibu dengan tulus. Bapak juga percaya, bahwa cinta tak dibangun dengan materi atau kekayaan, tapi cinta bisa ditata dengan pengertian dan ketulusan. Jika ia mencintai ibu dengan tulus pasti ibu akan mencintainya pula dengan penuh pengertian suatu hari nanti, meskipun entah kapan..

Bapak juga tidak dengan serta merta sibuk menjawab dan memberi justifikasi pada orang sekampung atas tindakannya mengawini ibu dengan sepihak. Ia malah menjawab dengan diam sembari terus membantu siapa saja orang dikampung itu yang butuh pertolongannya, tanpa mengenal waktu dan juga tempat. Orang sekampung-pun akhirnya perduli dan menyayanginya.

Bapakku bukan orang yang punya rumah yang besar, tapi ia punya hati yang luas. Semua orang dari kampung ibuku yang kebetulan sedang mengadu nasib di Banda Aceh diajak digubuknya yang tak mentereng –gubuk yang kemudian hari digusur oleh Pemda karena perluasan Balai Kota. Semua orang di kampung itu diberinya tumpangan dan juga makan. Aku sendiri lupa, entah berapa banyak sudah orang di kampung yang sudah menginap di rumah kami itu.

Sempat pula terlintas dalam pikiranku, apa ibu mencintai bapak dengan setulus hati setelah semua kejadian yang terjadi dalam hidupnya itu? Pertanyaan itupun pada akhirnya terjawab pada saat aku belum genap berumur dua belas tahun.

***

Malam itu bapak tiba-tiba sesak dan langsung dilarikan ke rumah sakit, dokter menjatuhkan vonis bahwa bapak menderita penyakit jantung koroner, dan umur bapak diperkirakan tak sampai seminggu lagi, mendengar itu ibu jatuh pingsan. Begitu ia sadar, tak pernah ia tak menangis sembari menjaga bapak. Lafadz Al-Quran terus mengalir dari mulutnya, dan mata merahnya tak pernah lepas dari wajah bapak yang terbaring lemah di ICCU. Tangan ibupun terus mengusap rambut bapak yang mulai memutih.

Satu malam yang dingin, perawat menyodorkan sehelai resep yang dituliskan oleh dokter. Kata perawat obat itu harus dibeli segera, karena mereka harus menyuntikkannya ke bapak. Sedangkan jam waktu itu menunjukkan pukul 2 pagi. Tak ada becak, apalagi angkutan umum yang lalu lalang di depan rumah sakit, sedang apotik itu sendiri berjarak dua kilometer dari tempat bapak terbaring lemah. Kemudian ibupun berlari untuk membeli obat yang bapak butuhkan sembari terus menguat-nguatkan dirinya agar tak jatuh pingsan dipagi yang sangat dingin itu.

Tak berhenti aku menangis jika mendengar apa yang sudah dilakukan oleh ibu untuk bisa terus menyambung nyawa bapak pada saat itu. Tak pernah pula aku melihat seorang wanita yang dengan telaten membersihkan badan suaminya yang sedang tak bisa bergerak sama sekali itu.

Akhirnya keajaibanpun terjadi, berkat doa dari ibu belum genap seminggu bapakpun tersadar dan berangsur-angsur membaik. Tak henti-hentinya ibu bersyukur untuk nikmat Tuhan yang terjadi pada keluarga kami di hari itu.

***

Tahun 1998, tepat pada masa orientasi mahasiswa-ku, aku mendapat musibah yang sangat besar. Ibu pingsan di ruang praktik salah satu dokter di Banda Aceh, “ibu mesti dirawat di rumah sakit” begitu ucap dokter itu kemudian. Ibupun kemudian dirawat, dan kemudian beliau didiagnosa menderita Lupus Eritromatosus Sistemik, pada saat itu dokter memperkirakan umur ibu hanya lima tahun lagi. Dalam kesedihan yang mendalam, bapak terus mengurusi ibu, beliau mengantikan posisi ibu mencuci pakaian, berbelanja dan mengerjakan pekerjaan rumah yang lain. Kami sekeluargapun melewati hari sembari terus menghitung tahun dimana ibu masih bisa bersama kami.

Tapi ternyata takdir berbicara lain, Tuhan malah memanjangkan umur ibu dan memendekkan umur bapak. Bapak meninggalkan kami ditahun yang ke-enam setelah ibu divonis mengidap Lupus Eritromatosus Sistemik. Bapak meninggal karena penyakit lever yang di deritanya, dokter mengatakan bahwa Bapak meninggalkan kami karena mengalami kelelahan yang teramat sangat.

Sekali lagi aku melihat betapa ibu ternyata sangat menyayangi Bapak. Matanya selalu memerah jika merindukan Bapak. Seringkali ia tidur sembari memimpikan Bapak dan kemudian menceritakan pada kami keesokan harinya. Jika kami sedang mengalami kesulitan dalam keluarga, ibupun selalu bercerita tentang Bapak dan mengadai-andai apa yang akan Bapak lakukan jika berada di posisi ini.

Semangat hidup ibu benar-benar berangsur hilang pada saat Bapak tiada. Tak sampai dua tahun setelah Bapak tiada ibupun menyusulnya, ia menyerah pada penyakitnya, dan ia tak bisa melewatinya tanpa Bapak yang sangat ia sayangi. Kamipun kemudian memakamkan ibu tepat disamping pusara Bapak, hal yang pernah diamanatkan olehnya sewaktu beliau masih hidup.

***

Ada banyak hal yang diajarkan dari kisah hidup ibu dan Bapakku. Bahwa kita tidak bisa melewati hidup kita seorang diri saja adalah benar. Kita selalu butuh keluarga dan orang yang kita sayangi untuk terus menguatkan kita dalam menjalani masa-masa sulit dalam kehidupan yang kita alami. Kita juga butuh keluarga dan orang yang kita sayangi untuk teman tersenyum dan tertawa bersama saat hal-hal hebat dan kebahagian tercipta.

Bapak juga mengajarkanku utuk jadi seorang pemaaf. Meskipun semua orang mencemooh kita, meskipun semua orang mengerdilkan kita, teruslah berbuat baik. Kelak orang akan sadar apa yang sebenarnya terjadi dan akan pula berempati pada kita. Pun mereka masih terus menistakan kita untuk kebaikan yang kita tawarkan, biarlah Tuhan yang membalasnya. Kita tak patut untuk menghakimi mereka sebelum hari perhitungan tiba.

Akhirnya Bapak mengajariku untuk terus menghormati kenangan akan masa lalu yang ada pada diri kita dan diri orang lain, baik itu kenangan indah atau kenangan buruk sekalipun. Kenangan adalah sesuatu yang akan membuat kita semakin dewasa dikemudian hari. Kenangan indah akan membuat orang yang telah tiada bisa tetap hidup disekitar kita, sedangkan kenangan yang buruk akan mengajarkan kita jauh lebih banyak lagi dari itu, kenangan buruk membuat kita belajar menjadi seorang yang pemaaf, mendidik kita untuk memiliki hati yang luas, dan menempa kita untuk bisa menghormati masa lalu orang lain atau pasangan kita sendiri.

Terimakasih Bapak..

Terimakasih Ibu..

Aku benar-benar merindukan kalian berdua. Dari kalian berdua aku akan belajar mencintai keluargaku dengan ketulusan dan pengertian. Dan benar seperti kata Bapak, kenangan akan kalian yang sangat kusayangi, membuat kalian akan terus hidup di sekitarku dan keluargaku..

Sigli, 15 September 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun