Konflik agraria di Pulau Rempang telah memunculkan pertanyaan kritis tentang bagaimana pembangunan infrastruktur yang dijanjikan dapat mengancam hak-hak masyarakat adat. Proyek Rempang Eco-City, yang berpotensi menggusur lebih dari 7.000 penduduk, tidak hanya menimbulkan masalah hukum, tetapi juga menyoroti isu keadilan sosial di tengah upaya pemerintah untuk mendorong investasi besar-besaran.
Walaupun Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 memberikan pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat adat, implementasinya sering kali tidak sesuai harapan. Masyarakat adat di Rempang, yang tinggal di wilayah tersebut secara turun-temurun, sering kali tidak memiliki sertifikat tanah formal. Hal ini membuat mereka rentan terhadap penggusuran tanpa proses hukum yang adil. Dalam konteks ini, PT Makmur Elok Graha (MEG) sebagai pengembang didukung oleh pemerintah untuk melanjutkan proyek tanpa mempertimbangkan hak-hak masyarakat yang sudah ada.
Ketimpangan akses keadilan antara masyarakat adat dan perusahaan besar menjadi sangat mencolok. Perusahaan-perusahaan besar sering kali memiliki sumber daya dan pengaruh politik yang lebih kuat untuk melindungi kepentingan mereka, sementara masyarakat adat menghadapi banyak kendala dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Dalam hal ini, hukum berfungsi lebih sebagai alat kontrol sosial yang mendukung kepentingan kelompok dominan, bukannya sebagai instrumen untuk melindungi hak-hak masyarakat yang terpinggirkan.
Negara seharusnya bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, terutama dalam konteks proyek pembangunan besar. Namun, keputusan pemerintah untuk memberikan izin kepada MEG mencerminkan kurangnya perhatian terhadap hak-hak masyarakat yang ada. Meskipun ada dialog yang diupayakan, banyak masyarakat merasa bahwa mereka tidak dilibatkan dalam proses yang mempengaruhi kehidupan mereka. Hal ini mengakibatkan ketidakpuasan dan kehilangan kepercayaan kepada pemerintah.
Kasus Pulau Rempang menunjukkan perlunya reformasi dalam sistem hukum agraria di Indonesia yang lebih adil dan inklusif. Negara harus memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat dihormati dan dilindungi dalam setiap proyek pembangunan. Tanpa pendekatan yang lebih manusiawi dan pertimbangan terhadap hak-hak masyarakat, pembangunan yang dilakukan akan terus berpotensi menimbulkan konflik dan ketidakadilan yang merugikan pihak yang paling rentan. Ke depan, penting bagi pemerintah untuk mengedepankan keadilan sosial dan hak asasi manusia dalam setiap kebijakan yang diambil.
Muna Ulya, S.HÂ
Dr Uttary Maharany Barus SH MHum
Dr Afilla SH MHum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H