#Seri Membangun Ketahanan Energi Nasional
(http://d.ibtimes.co.uk/en/full/1416989/crude-oil-wti-prices-6-months-2-jan-2015.png)
Fenomena menarik tentang harga minyak dunia yang turus menurun membuat semakin yakin bahwa harga minyak dunia bukan sesuatu yang ditentukan secara murni oleh mekanisme pasar. Dan terlalu naif bilamana mengatakan memang benar ada suatu pasar dengan persaingan sempurna. Nuansa geopolitik begitu kental dan jangan pernah berpikir semua hanya tentang supply – demand. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa segala sesuatu itu berkaitan dan harga minyak bumi yang terus turun pasti berdampak pada Indonesia.
Dampak secara global menunjukan pengaruh instan pada beberapa proyek migas dunia, terutama pada proyek migas non konvensional dan membutuhkan teknologi lebih canggih seperti ultra deep water, oil shale.
Sumber: AIE World energy outlook 2013 & Total
Itulah sebabnya dengan menggabungkan analisis geopolitic dan realitas biaya produksi ini ada yang mengatakan bahwa fenomena ini adalah upaya dari negara Arab untuk menghentikan kekuatan oil shale yang diproduksi mereka. Karena mereka tidak menunjukan indikasi menurunkan tingkat produksi minyaknya walaupun harga terus turun di bawah 50$/barel.
Melihat kondisi harga minyak yang terjun bebas ini, Indonesia mulai memberikan respon. Kondisi kontras sebelumnya terlihat di tahun 2014 dengan banyak sekali narasi bahwa kita mengalami defisit neraca Anggaran dan itu semua dikarenakan oleh import BBM yang besar. Maka dorongan untuk melakukan penghematan, konversi ke bahan bakar lain atau analisis perlunya segera mencabut subsidi BBM untuk memberi ruang gerak pertumbuhan ekonomi dibahas dengan ramai. Sehingga dilakukan kenaikan BBM di bulan November 2014 dari Rp 6.500,- menjadi Rp. 8.500,- per liter. Dan dengan fenomena ‘terjun bebas’ harga minyak, pemerintah memberikan respon dengan bentuk menurunkan harga BBM menjadi Rp 7.600,- dan dievaluasi secara berkala tiap 2 minggu dengan memperhatikan perkembangan pasar.
Dengan kondisi ini euphoria yang terbentuk adalah menurunkan seluruh harga terutama yang terkait dengan harga minyak. Permintaan penurunan juga terjadi pada harga gas bumi domestik. Industri domestik saat ini terhimpit oleh banyak tekanan. Tekanan persaingan global dan kawasan yang sudah dimulai seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN menjadi momok dan menuntut industri untuk memutar otak menghadapi persaingan. Tekanan dari naiknya upah minimum regional, terdepresiasinya nilai rupiah terhadap dollar dan rencana kenaikan tarif tenaga listrik semakin memperberat kondisi. Oleh sebab itu industri yang menggunakan gas meminta untuk adanya penurunan harga gas domestik.
Dalam euphoria turunnya harga minyak ini, memang semangat yang terbentuk adalah segera mengambil langkah menurunkan harga energi lain dan yang sekarang terlihat malah mendorong adanya penentuan harga yang terindeksasi dengan harga minyak bumi. Misalkan saja beberapa rekan industri berpendapat bahwa menentukan harga listrik dengan terindeksasi dengan harga minyak dunia dan variable lain seperti nilai tukar adalah hal yang tepat dan menguntungkan. Kemudian pemerintah menentukan harga BBM sesuai dengan dinamika pasar (mekanisme pasar) melalui evaluasi 2 mingguan dianggap langkah yang tepat. Tapi apakah benar demikian?
Mekanisme Pasar dan Volatilitas Harga
Dengan menetapkan harga BBM dan gas bumi sesuai dengan perkembangan pasar, dalam hal ini misalkan dinamika harga minyak dunia perlu kita cermati dengan seksama. Dan dalam menentukan kebijakannya tidak boleh hanya mempertimbangkan kesempatan ‘gain’ yang terjadi saat ini. Pertimbangan harus dilakukan secara stratejik. Pertimbangan stratejik berarti memperhatikan tujuan jangka panjang negeri, dampak terhadap keputusan alokasi sumber daya yang besar dan penciptaan keunggulan daya saing negeri di masa depan. Terlalu abstrak? Kita coba uraikan.
Saat harga gas di pasar spot begitu tinggi setahun yang lalu sampai dengan 17 $/MMBTU dan di Indonesia harga domestik senilai sekitaran 9$/MMBTU, pasar gas Amerika mampu menjual dengan harga hanya di sekitaran 3- 4 $/MMBTU dan tidak ada subsidi disana. Semua melihat ini adalah bentuk keberhasilan dari mekanisme pasar. Beberapa menyatakan ini bentuk manfaat yang diperoleh bilamana dilakukan liberalisasi. Namun ada fakta lain yang luput dari analisis.
Amerika adalah salah satu negara yang begitu keras mengendalikan (bila tidak mau disebut sebenarnya melarang) kegiatan ekspor gas. Pada saat terjadi produksi gas yang begitu besar di Amerika di beberapa tahun terakhir, terutama dari booming produksi shale gas, banyak yang sudah berpikir untuk melakukan ekspor gas karena tergiur dengan harga pasar internasional yang begitu tinggi. Namun untuk ekspor tidak dapat dengan mudah dilakukan di sana. Ada mekanisme export license, dan persetujuan ekspor gas hanya diberikan oleh pemerintah federal. Kriterianya pun cukup ketat seperti hanya boleh dilakukan ke negara yang memiliki FTA dengan Amerika. Pada periode tersebut banyak sekali yang mengajukan ijin ekspor dan total jumlah gas dari seluruh daftar tunggu permintaan ijin tersebut di tahun 2013 mencapai lebih dari 50% total produksi gas Amerika (Moris, 2013).
Menariknya terdapat banyak sekali analisis yang menyatakan menolak ekspor gas dan meminta untuk dilakukan pembatasan, antara lain yang disampaikan dalam Sierra Club Recommendation dan Synapse (2013).Dalam sierra recommendation menyatakan bahwa ekspor dapat menyebabkan kenaikan harga gas domestik dalam amerika, kompensasi pekerja dan pendapatan dari investasi akan menurun, kekayaan pemilik sumber daya akan melesat (sesuai hukum disana, kekayaan alam dibawah suatu tanah adalah milik pemilik tanah) dan rusaknya lingkungan karena proses fracking yang besar-besaran. Sedangkan menurut analisis Synapse (2013), ekspor akan menyebabkan GDP Amerka turun, bila pendapatan ekspor LNG lebih besar dari 100% pertumbuhan GDP maka yang terjadi perekonomian domestik menyusut, peningkatan ekspor akan menurunkan perekonomian domestik, hilangnya pekerjaan dan bahaya perekonomian secara luas.
Pertanyaannya mengapa demikian? Lapangan pekerjaan hilang??
Ternyata bila dianalisis, pasar gas Amerika sebenarnya tidak terkoneksi dengan pasar gas internasional. Atau dengan bahasa lain, pasar gas Amerika terisolasi. Adanya impor LNG ke Amerika tidak menunjukan terkoneksi, karena harga LNG yang diimpor ditentukan oleh pasar gas Amerika. Dan kondisi hari ini produksi mereka mencukupi sebenarnya untuk kebutuhan mereka sendiri. Dengan kondisi ini maka dinamika harga gas disana benar-benar ditentukan oleh mekanisme supply dan demand di sana saja.
Strategi yang diterapkan dengan kondisi Amerika adalah mendukung pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan energi yang kompetitif (murah). Hal ini terbukti dengan harga gas yang murah ini banyak investasi di Amerika dengan membangun pabrik kimia dan ekspor produk kimia Amerika meningkat (Moris, 2013) dan bila kondisi ini berlanjut akan menciptakan lapangan pekerjaan 2,2 – 3,6 juta pada tahun 2020 (Citigroup Economist).
Bila dilakukan ekspor gas besar-besar, maka yang terjadi adalah mulai terkoneksinya pasar gas di Amerika serikat dengan pasar gas internasional. Sehingga variabel penentu harga gas menjadi lebih luas dan berskala dunia. Artinya ada banyak sekali variable yang tidak dapat dikendalikan oleh amerika. Disparitas antara harga domestik dan ekspor yang menggiur akan mendorong harga pasar gas domestik amerika untuk naik dan menjadi mahal. Bila demikian maka bukankah harga gas menjadi tidak lebih atraktif lagi untuk investasi industri petrokimia yang sekarang ini menggeliat maju dengan harga yang kompetitif. Ini akan menciptakan banyak pabrik yang tutup, investasi yang gagal dan hilangnya lapangan pekerjaan.
Namun hal lain yang dikhawatirkan adalah VOLATILITAS HARGA. Harga menjadi sangat mudah berubah dengan ketidakpastian karena besar dan banyaknya variabel yang menentukan harga. Pasar gas terkoneksi membuat volatilitas ditentukan oleh geopolitik negara produsen, dinamika negera konsumen terbesar, kebijakan energi dunia dan lain sebagainya. Volatitilitas menciptakan ketidakpastian investasi karena harga dapat sangat murah disuatu waktu dan menjadi sangat mahal dalam sesaat. Volatilitas ini pun menciptakan tumbuhnya spekulan yang akan menimbun diwaktu murah dan berharap akan untung besar (gain) diwaktu lain. Volatilitas ini pun membuat tidak semua orang mampu bertahan saat harga benar – benar naik tinggi sehingga beberapa atau banyak pihak harus menutup usahanya. Sehingga dalam lingkungan seperti ini (mekanisme pasar) hanya yang kuat yang akan bertahan. Kondisi dengan bentuk Survival of the Fittest, hanya yang kuat yang bertahan.
Indonesia, Harga BBM, Gas dan Konstitusi
Dengan realitas tersebut, Indonesia perlu berhati-hati dalam menentukan kebijakan harga BBM dan Gas. Kehati-hatian ini tidak hanya datang dari analisis industri yang mungkin terjadi seperti kasus Amerika, tapi juga kehati-hatian untuk tidak mengambil keputusan yang tidak sesuai dengan kondisi spesifik Indonesia. Kondisi spesifik Indonesia adalah kondisi real industri, perekonomian dalam negeri dan yang terutama adalah Koridor Konstitusi mengenai pengelolaan minyak dan gas yang termasuk bagian dari aset dalam Pasal 33 UUD 1945.
Kehati-hatian pertama adalah bila kita lihat tuntutan penurunan harga saat ini sepertinya memang benar merupakan euphoria situasi potensi ‘gain’ saja. Bila kita lihat perkembangan harga minyak dan gas Indonesia maka akan didapatkan kondisi sebagai berikut:
Sumber: PGN dalam paparannya.
Kondisi harga gas di Indonesia saat ini ditentukan oleh negara. Harga beli di hulu ditetapkan oleh Menteri atas rekomendasi dari SKK Migas, kemudian penentuan harga di hilir dilakukan dengan mekanisme cost of services (IGU) yang berarti ditambahkan biaya layanan seperti biaya pengangkutan gas (toll fee) untuk pipa transmisi yang ditetapkan oleh BPH Migas dan biaya penyediaan gas di distibusi yang dilaporkan dan dievaluasi oleh Ditjen Migas. Sehingga bila terjadi kenaikan harga gas domestik indonesia (warna biru) semua disebabkan oleh kenaikan harga gas di hulu yang ditetapkan oleh pemerintah.
Kondisi saat ini di Januari 2015, harga minyak turun dan meminta gas untuk diturunkan juga dan meminta untuk ditetapkan indeksasi dengan harga minyak dunia. Dan dalam kasus BBM diminta untuk dilakukan perubahan 2 mingguan sesuai dengan dinamika pasar. Bila kita perhatikan, dengan harga gas yang ditentukan oleh pemerintah dan tidak mengikuti dinamika pasar, maka kita menghadapi banyak hal.
Bila kita lihat di titik A, saat harga minyak begitu tinggi, harga gas domestik tetap di tingkat harga yang rendah sehingga kita memiliki nilai kompetitif dari gas bumi begitu tinggi. Industri dan pengguna gas domestik merasakan banyak manfaat dari kondisi ini. Dan dalam waktu yang lain di titik B, harga minyak turun sehingga tidak terlalu jauh dari harga gas. Kita merasakan turunnya kompetitif dari gas. Kondisi perubahan dari kondisi ‘Gain’ dan ‘lost’ ini terjadi dan menuntut kita untuk dapat meresponnya dengan tepat. Namun satu hal yang pasti yang terlihat begitu melihat grafik tersebut adalah bahwa harga minyak begitu volatile atau mudah sekali berubah dan harga gas yang ditetapkan oleh pemerintah cenderung stabil.Begitu volatile harga minyak sempat naik dari 50$/ barel sampai menyentuh 140$/barel dan kemudian jatuh sampai di bawah 40$/barel. Dalam kondisi kenaikan yang besar lebih dari 100% tersebut tidak semua industri mampu bertahan. Kepastian harga gas menciptakan kenyamanan berinvestasi dan memberikan kesempatan pada semua orang untuk dapat mengakses energi tersebut.
Kehati-hatian untuk merespon kondisi ini jangan sampai kita kehilangan hal lain yang lebih besar. Beberapa negara menerapkan konsep-konsep yang berbeda untuk menghadapi volatilitas ini. Dengan adanya potensi gain dan lost tersebut, Thailand menerapkan konsep Oil Stabilization Fund (1978) yang digunakan untuk menyimpan atau menyisihkan Windfall Profit yang diterima para trader. Dan uang ini digunakan untuk menstabilkan harga minyak domestik saat terjadi fluktuasi dan digunakan untuk membantuk konversi ke gas atau gasohol. Sedangkan di Ghana mereka menerapkan skema Gas Rent Fund yang digunakan untuk menyisihkan ‘gain’ harga gas domestik dari perbedaan harga beli dihulu dengan harga di hilir berdasarkan Netback Pricing yang lebih tinggi. Uang ini kemudian digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan meningkatkan kehandalannya.
Kita perlu merespon kondisi ini dengan cara stratejik. Menghubungkan dengan mekanisme pasar tidak selalu baik dan permasalahan utamanya adalah bertentangan dengan konstitusi.
Dalam konstitusi yang menetapkan Penguasaan Negara untuk pengelolaan minyak dan gas, hasil judicial review atas UU Migas No. 22 Tahun 2001 dan diakomodasi dalam PP No. 30 Tahun 2009 dinyatakan bahwa harga BBM dan gas diatur/ditetapkan oleh pemerintah. Bila kita cermati, dalam mekanisme pasar seperti dijelaskan sebelumnya, konsep yang berlaku adalah Survival of the Fittest. Bung Hatta menyampaikan penjelasan tentang konsep Penguasaan Negara dengan menyatakan bahwa dengan penguasaan negara ini sehingga yang memiliki kapital tidak menindas yang miskin. Indonesia memilih untuk menggunakan konsep Penguasaan Negara untuk menciptakan sebesar-besar kemakmuran rakyat, adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Setiap kita memiliki hak untuk mengakses dan menerima manfaat dari sumber daya alam Indonesia yang dimiliki rakyat. Maka tidak boleh hanya ada kumpulan orang yang menikmati dan yang lain dirugikan. Negara mengambil peran untuk menjaga hak setiap rakyat dengan melakukan konsep Penguasaan Negara.
Analisis secara industri menunjukan volatilitas harga adalah suatu masalah tersendiri dan konstitusi kita sudah menetapkan cara untuk melakukannya. Kita harus berhati-hati dalam merespon kondisi ini.
Kita perlu mengevaluasi dan sepertinya sudah saatnya Indonesia memiliki Oil and Gas Fund untuk kepentingan ketahanan energi dan generasi masa depan kita. Dan saatnya kita kembali pada konstitusi dalam pengelolaan Minyak dan gas bumi Indonesia. Saatnya kita menjadi diri kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H