#Seri Menuju Ketahanan Energi Nasional
Ketahanan energi nasional terkesan seperti barang mewah yang tidak terbeli di Indonesia saat ini. Realita pengelolaan energi di Indonesia sepertinya menyusun titik rabun dan menciptakan myopia untuk melihat bahwa tujuan menuju ketahanan energi nasional itu sudah semakin dekat. Bagaimana hikayat produksi minyak Indonesia yang gagal mengejar larinya konsumsi BBM dalam negeri. Produksi hanya di sekitaran 800 ribu barel per hari namun konsumsi BBM dengan dorongan tenaga harga sepeda motor yang murah dan LCGC membuatnya melambung di sekitaran 1,4 juta barel per hari. Defisit membuat kita harus impor BBM dan Minyak mentah. Belum lagi sedihnya ketergantungan pengilangan di singapura yang terus diungkap namun dengan langkah pembangunan kilang minyak yang terhambat dan jalan ditempat. Belum lagi cerita tentang gas bumi yang diekspor dengan harga yang tak lagi terlihat menguntungkan dan kegagalan untuk bisa memanfaatkan seluruh gas yang diproduksi di dalam negeri karena infrastruktur gas yang mandek. Mandek karena infrastruktur gas adalah kegiatan usaha pengangkutan dan ada alternatif lain untuk berusaha yaitu sebagai trader yang dapat berniaga tanpa harus membangun infrastruktur. Begitu terbatasnya infrastruktur gas di Indonesia sehingga dibandingkan dengan Italia yang luasan negaranya jauh sekali di bawah kita tapi sudah memiliki lebih dari 10 kali panjang pipa gas.
Apa yang terjadi saat ini tidak pernah hasil dari yang kita lakukan saatini saja. Tapi dapat berupa hasil akumulasi dari apa yang sudah kita lakukan sejak masa lalu. Kita adalah negara minyak, dahulu. Dahulu pada era tahun 1970-an, 1980-an dan 1990-an kita adalah negara minyak dengan angka produksi minyak menari-nari lincah di angka 1,6 – 1,5 juta barel per hari. Pada tahun 1977 kita pernah mencapai puncak produksi lebih dari 1,6 juta barel per hari dengan konsumsi yang masih rendah di sekitaran 300-an ribu barel per hari. Sebagai negara minyak tersebut kita mengekspor minyak dan berlimpah pendapatan dari kekayaan tersebut. Perhatian kita begitu terfokus pada minyak dan gas bumi saat itu pun hanya dilirik sebelah mata sebagai produk sampingan yang harus berakhir di flare stack, dibakar. Dan bilamana ditemukan sumur hanya berupa sumur gas, maka pikiran yang terlintas adalah bagaimana cara menjual dan mengekspornya. Sehingga infrastruktur gas yang lebih matang dahulu adalah infrastruktur gas ekspor. Sesama energi fosil tapi penghargaan yang berbeda, lebih – lebih pada energi baru terbarukan.
Dalam keberlimpahan itu, kita dahulu memiliki cerita berulang yang diberikan dan membentuk paradigma bahwa kita adalah negara yang kaya sumber daya alam. Begitu kayanya bahkan lebih kaya dari negara lain di dunia, setidaknya ketika kita sekolah dasar nuansa ini yang terasa. Namun kenyataan kita berbeda, sebenarnya. Dan kenyataan adalah realitas yang kita pilih. Dengan paradigma itu, kita besar dan membentuk pola konsumsi dan pola kebijakan yang ada. Dengan kesadaran adanya keberlimpahan tersebut, bahkan kelebihan dari minyak yang kita ekspor mampu untuk melakukan subsidi atas pemakaian BBM di dalam negeri dan juga untuk listrik. Dan kondisi ini pun membentuk generasi – generasi yang hidup dalam naungan subsidi energi. Paradigma, melahirkan perilaku, melahirkan budaya, menciptakan tantangan besar saat semua sumber daya sudah habis dan menuntut paradigma baru, perilaku baru dan budaya baru.
Paradigma bahwa kita adalah negara yang kaya akan sumber daya alam perlu diubah. Kenyataan kondisi migas kita dengan rasio cadangan dan produksi minyak hanya menyisakan waktu 11,1 tahun lagi dan untuk gas hanya tersisa 41,1 tahun lagi (BP World Energy Review, 2013). Dan itu bisa berubah menjadi lebih pendek bilamana pola produksi menurun terus dan konsumsi kita terus meningkat seperti sekarang ini. Paradigma baru yang harus kita miliki harus berkorelasi dengan kenyataan yang kita hadapi. Paradigma bahwa kita memiliki kekayaan alam yang terbatas maka manfaatkan dengan cerdas!
Paradigma berikutnya adalah paradigma yang membuat kita hanya berpikir tentang jalan pintas. Bahwa minyak dan gas bumi atau kekayaan alam lainnya adalah uang, maka jual saja. Paradigma hanya untuk memanfaatkan sumber daya alam sebagai komoditas bukan sebagai bahan baku untuk pembangunan perekonomian dalam negeri. Dan perilaku ini bukan saja di Indonesia tapi di banyak negara dengan keberlimpahan sumber daya alam di dunia. Namun fakta menunjukan bahwa negara yang mengandalkan dan fokus hanya pada penjualan sumber daya alam berupa bahan mentah tapi bukan pada barang jadi dan kekayaan intelektual akan menjadi negara yang terpuruk. Istilah yang terkenal untuk kondisi ini adalah Resources Curse. Sehingga terlihat ada beberapa negara yang menjadi pengekspor gas atau LNG yang besar di dunia seperti negara di Afrika yang masih berjuang mengatasi masalah sosial, kemiskinan dan lainnya.
Secercah harapan di Indonesia mulai muncul dengan adanya pelarangan ekspor barang mentah untuk hasil tambang, sehingga smelter-smelter harus dibangun di dalam negeri. Semoga ini dapat dikawal konsistensi penerapannya. Indonesia, membutuhkan perubahan paradigma kedua yaitu paradigma pemanfaatan sumber daya alam sebagai komoditas. Dan ini harus distop, kita harus membangun paradigma pemanfaatan sumber daya alam di dalam negeri sebagai modal pembangunan yang berkelanjutan. Paradigma ini sudah dicanangkan dalam regulasi namun dalam implementasi regulasi dan peraturan derivat masih memiliki realita yang berbeda.
Saat kita membahas tentang ketahanan energi, yang menarik adalah konsep ini tidak menjejakan kakinya hanya pada satu horison waktu, saat ini. Tapi ketahanan energi harus berbicara dan menjawab tantangan di horison waktu masa depan. Ketahanan energi yang berbicara tentang ketersediaan (Availability), kemampuan beli (Affordability), akses (Accessibility) dan lainnya berada dalam konteks keberlanjutan untuk setiap titik waktu. Maka tak heran bila Amerika menyisakan cadangan yang besar di Alaska untuk masa depan, Cina dengan cadangan batu bara yang besar namun melakukan impor besar-besaran termasuk dari Indonesia dan menyisakan cadangannya untuk masa depan, atau banyak yang mengelola hasil pendapatan pengusahaan migasnya sebagai ‘payung’ untuk kondisi ‘hujan’ di masa depan saat sumber energinya menipis melalui petroleum fund. Dan bagi yang tidak memiliki sumber daya alam, maka strategi ekonomi yang digunakan untuk menunjang strategi energinya. Misalkan Singapura yang menjalankan cetak biru menuju Energy Hub di Asia Pasifik dengan membangun kilang minyak yang besar melebihi kapasitasnya dan melayani banyak negara termasuk Indonesia. Mereka juga membangun Land base LNG Terminal dengan kapasitas awal 6 Mtpa yang dua kali lebih besar dari yang kita miliki dan beroperasi saat ini. Untuk negara sekecil itu namun memiliki infrastruktur energi sebesar itu, untuk apa?
Pertanyaan penting bagi kita adalah apakah kita sudah mempersiapkan pondasi untuk penciptaan ketahanan energi bagi anak cucu kita di masa depan? Alih-alih untuk masa depan, masa kini pun kita masih berjuang. Tapi dengan kesadaran ini membuat tugas kita lebih besar, bahwa solusi energi kita harus memenuhi tantangan ketahanan energi di saat ini dan meletakan dasar untuk solusi di masa depan. Ketahanan energi selalu tentang keberlanjutan.
Hal pertama dan utama untuk memulai seluruh perjalanan menciptakan ketahanan energi Indonesia adalah perubahan paradigma dan mulai menggunakan paradigma baru terebut. Yaitu paradigma:
“Indonesia adalah negara dengan sumber daya alam yang terbatas, maka manfaatkan dengan cerdas”
“Sumber daya alam Indonesia adalah aset strategis yang harus dimanfaatkan untuk membangun perekonomian dalam negeri melalui optimasi pemanfaatan dalam negeri. Sumber daya alam kita bukan komoditas”
Karena terkadang bukan yang paling kuat, paling kaya dan paling berkuasa tapi hanya membutuhkan yang paling cerdas dan bijaksana untuk bisa bertahan dan berjaya. Memulai pemanfaatan energi dengan cerdas dan bijaksana sekarang!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI