Mohon tunggu...
Muna Madrah
Muna Madrah Mohon Tunggu... -

socio reviewer who like traveling.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Generasi "Game"

15 September 2013   20:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:51 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa kecelakaan di Tol Jagorawi yang melibatkan AQJ belum juga reda dari pemberitaan media. Kebetulan sekaliAQJ merupakan putra dari seorang artis papan atas Indonesia, sehingga tentu saja gerak-geriknya selalu dapat menjadi sumber pemberitaan.  Kasus ini telah menuai banyak pendapat, opini. Coba saja kita list berapa tulisan  kompasianer yang mengupas kasusu ini. Ditambah satu lagi tulisan saya, semoga semakin menambah pembelajaranyang dapat diambil dari peristiwa tersebut.

Inilah realitas, generasi anak-anak saya yang (mungkin) lebih banyak diasuh oleh media virtual. Permainan video game berkembang pesat dengan user terbesar adalah anak-anak dan remaja. Kini tidak harus menjadi orang kaya untuk dapat menikmati permainan ini. Besarnya minat anak dan remaja justru membuka peluang usaha persewaan PS. Lihat saja di kampung-kampung, di gang-gang perumahan menjamur warnet game online dan persewaan PS. Tempat-tempat seperti ini selalu dipenuhi oleh anak-anak usia sekolah, yang menurut paengamatan saya anak laki-laki lebih banyak mendominasi tempat-tempat tersebut.

Tidak hanya itu, perkembangan teknologi juga memungkinkan aplikasi-aplikasi dengan mudah diunduh dan dalam sekejap berada dalam genggaman. Kehidupan anak dikepung oleh visualisasi fantasi yang seolah nyata. Sebuah raksasa industi fantasi yang siap menerkam generasi anak-anak kita. Tidak puas dengan satu serial game, selalu ada versi terbaru yang akan menantang adrenalin anak-anak dan remaja.

Teknologi komputerisasi telahmenciptakan realitas virtual atau pengalaman ruang berbeda dalam permainan. Dengan penambahan internet (dalam permainan online) user akan dibawa kedalam ruang berbeda dimana kontrol atau kendali komunikasi terletak pada pemakai (user) bukan pada pencipta atau medium komunikasi. Sifatnya yang senantiasa on line tentu saja membawa pada sifat interaktif dimana memungkinkan semua pihak dapat berhubungan dan berinteraksi setiap saat, yang memungkinkan partisipasi pemakai begitu tinggi dan kompleks.

Teknologi virtual ini telah memberi anak-anakpengalaman luar biasa yang belum tentu mereka dapatkandidunia nyata. Anak-anakdiajak untuk mengembara dalam realitas tanpa batas, tidak hanya melihat gambar visual, lebih jauh lagi merasakan pengalaman yang sangat kompleks, dan hebatnya semua dapat kita lakukan tanpa beranjak dari tempat duduk mereka.

Dalam bahasa Jean Baudrillard (seorang sosiolog asal Perancis yang teori-teorinya selalu dikaitkan dengan post-modernisme dan post strukturalisme) inilah zaman yang disebut dengan“zaman simulasi” di mana keasliandan dunia kultural menjadi cepat lenyap. Keberadaan simulasi yang tersebar luas adalah alasan umum bagi pengikisan perbedaan antara yang nyata dan yang imajiner, yang benar dan yang palsu.Kita telah banyak di manipulasi oleh image semu yang nyata. Inilah yang disebut oleh Jean Baudrillard sebagai hyper-reality untuk menjelaskan rekayasa makna dalam media.

Hyper-reality bukan berarti matinya realitas. Dalam dalam dunia game, hyper-reality dapat dipahami sebagai sesuatu yang menjadi“dilebih-lebihkan” sehingga membuat batas-batas antara yang nyata dan yang semu menjadi kabur (blurred) . “Ruang semu” yang dimaksud Baudrillard ini sebagai antitesis dari representasiatau dekonstruksi dari representasi itu sendiri hal ini karena modelkebudayaan dewasa ini mengikuti model produksi yang disebutnya sebagai “simulasi” tadi. Dalam wacana simulasi manusia mendiami ruang realitas dimana perbedaan antara yang “nyata” dan “fantasi” menjadi sangat tipis. Dan generasi anak-anak kita terperangkap dalam dunia semu.

Mengutip kata-kata pakYasraf Amir Pilliang dalam Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampai Batas-Batas Kebudayaan (2004) Pada akhirnya era globalisasi dan abad virtual dewasa ini telah menjadikankonsep sosial seperti integrasi, kesatuan, persatuan, nasionalisme dan solidaritas menjadi semakin kehilangan realitas sosialnya dan akhirnya menjadi mitos, dan menggiring masyarakat global kearah akhir sosial.

Nilai-nilai sosial yang lebih banyak menuntut norma, toleransi dsb mulai luntur dan tidak populer.Ataukah video game lalu menjadi tempat “pengungsian” bagi anak-anak dari rumitnya kehidupan di dunia nyata? Keasyikkan “nge- game” telah mengurangi begitu banyak waktu untuk berinteraksi dengan orang lain dalam arti yang sebenarnya.

Saya mencobamerekonstruksiimajinasi didalam ruang kemudi mitsubishi lancer yang dikemudikan AQJ dini hari yang naas itu. Visualisasi real dari permainan World Rally Champhionship (WRC) sebagaimana dalam PS, dan jalanan yang lengang, mobil sport yang handal dan memang ada nyata (bukan hanya sekedar fitur), kemudi yang dikemudikan juga nyata, bukan melalui stik sebagaimana dalam game. Adrenalin yang meningkat memacu degup jantung. Bedanya dalam gametabrakan atau keluar jalur berkali-kali tidak akan menimbulkan dampak fisik ataupun kematian, justru menantang user untuk selalu menjadi pemenang, sayangnya dalam dunia nyata tidaklah demikian. Wallahu Alam bishawab.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun