Kasus kematian George Floyd, yang tersebar dalam video dengan cepat menyebar di berbagai sosial media di seluruh dunia dan tentu menyulut amarah publik terutama warga kulit hitam yang tinggal di Amerika. Berawal dari Minnesota, rentetan gelombang protes terhadap dugaan rasialis polisi kulit putih, kemudian meluas hingga ke 40 wilayah di Amerika Serikat bahkan hingga ke Inggris dan Selandia Baru seperti banyak diberitakan.
Pada awal bulan Juni ini, wajah George Floyd kemudian dijadikan sebagai ikon gerakan antirasis di Amerika. Sejumlah orang turun ke jalan menuntut keadilan untuk Floyd. Namun sayangnya, aksi tersebut malah berakhir dengan kerusuhan dan penjarahan. Tercatat dua orang tewas ditembak aparat dan 60 lainnya ditangkap dalam aksi unjuk rasa dan penjarahan di sejumlah area permukiman dan pinggiran Kota Chicago. Sementara, laporan dari latimes.com, mengungkap bahwa pihak berwenang di Los Angeles telah menahan sekitar 2.500 orang sejak Jumat 29 Mei hingga Selasa 2 Juni pagi waktu setempat, setelah unjuk rasa damai yang diwarnai perusakan properti dan kerusuhan yang terjadi.
Gaya Trump Melerai Aksi Demonstrasi Gerakan Antirasis di AmerikaÂ
Gaya Trump melerai aksi demonstrasi gerakan antirasis di Amerika dalam kasus kematian George Floyd dengan tagar #BlackLivesMatter menjadi tranding. Pasalnya, Trump melerai sejumlah aksi massa dengan kekerasan seperti yang telah banyak diberitakan. Di lansir dari berita harian tirto.id, para demonstran dibubarkan dengan tembakan gas air mata dan peluru karet ketika Trump akan pergi ke gereja Episkopal St John yang berlokasi di dekat Gedung Putih. Pembubaran ini juga dikritik uskup setempat dikarenakan gaya Trump yang coba meredakan massa dengan menggunakan narasi-narasi agama dinilai salah dan terlalu berlebihan.
Alih-alih mendinginkan suasana Presiden Amerika Serikat Donald Trump malah mengeluarkan statement yang membuat banyak warga AS tersulut emosi. Banyak pihak yang menyatakan bahwa Trump tidak memberi kebijakan yang baik di tengah situasi mencekam ini, terlebih ia mengancam akan mengerahkan kekuatan militer untuk meredam serangkaian aksi. Meskipun sebelumnya dalam sebuah pernyataan, Donald Trump menyebut dirinya sebagai "President of law and order" di mana menurutnya dirinya adalah presiden yang menjunjung tinggi hukum dan peraturan, seperti dikutip dari laman ABC News.
Ambisi Donald Trump Terhambat pada Pilpres 2020 Akibat Polemik yang Kian Memanas?
Arah gerak kasus rasial yang menewaskan George Floyd pada akhirnya berujung pada suasana panas di medan perang yakni pada pemilihan Presiden Amerika Serikat yang akan diadakan pada November 2020 mendatang. Suasana ring pertarungan antara Trump (73 tahun) dan Biden (77 tahun) kian memanas. Banyak tokoh ternama yang ikut memberikan komentar mengenai cara Trump melerai demonstrasi dengan reputasinya yang akan dipertaruhkan pada Pilpres nanti.Â
Dari dalam negeri misalnya, seperti yang dikutip dari berita harian liputan6.com, Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menilai, situasi di Amerika memiliki ke-khasan dan cukup menarik. Dalam pemilihan presiden AS yang digelar 5 bulan lagi yaitu pada bulan november, Trump sebagai petahana tentu sangat ingin terpilih kembali. Sementara di lain sisi, penantangnya yang berasal dari partai demokrat, Joe Biden juga punya ambisi untuk mengalahkan Trump.
Lawan Trump dari partai demokrat, Joe Biden mengkritik Trump atas tindakannya dalam menangani aksi protes terkait diskriminasi rasial. Biden sebagai rival Trump dituduh ikut memanas-manasi warga dengan perkataannya yakni, "dapat dimaklumi jika warga AS percaya presiden mereka lebih tertarik pada kekuasaan dibandingkan prinsip, lebih tertarik memenuhi hasrat pribadinya ketimbang kebutuhan rakyat yang dipimpinnya." Hal itu lantas membuat Trump juga ikut memanas dengan sejumlah twit yang dilayangkan kepada Biden dalam media sosial twitter miliknya.
Namun, dalam pemberitaan lain nampaknya Trump piawai dalam menggiring opini publik sesuai keinginannya. Dapat dilihat ketika Trump dengan resmi mengumumkan bahwa dirinya akan menambah lapangan pekerjaan baru bagi para pemilik toko yang dijarah sebagai korban karena aksi brutal para demonstran.Â