Beberapa waktu yang lalu, di sebuah tanggal merah yang cerah, saya melakukan perjalanan ke kampung halaman kedua saya di desa Telagah. Sebuah desa di kaki hutan Gunung Leuser, di ujung kabupaten Langkat yang berbatasan langsung dengan kabupaten Tanah Karo.
Setahun belakangan ini, desa Telagah begitu terkenal di kalangan millenial dan pemburu wisata selfie karena banyaknya sudut desa yang berhasil di sulap menjadi lokasi wisata kekinian. Alami, tertata dan banyak spot untuk berfoto, komplit!
Berhubung saya berangkat di hari libur nasional, maka dalam perjalanan yang memakan waktu selama hampir satu jam dari tempat tinggal saya di Binjai, saya nyaris tidak pernah kesepian selama di perjalanan. Ada saja rombongan-rombongan pemotor yang beriringan dan melalui laju motor bebek tua saya.Â
Sesampainya di Telagah, saya berkunjung ke rumah beberapa kerabat, sekedar setor wajah dan mengisi perut. Untuk kemudian melanjutkan ke beberapa lokasi wisata yang tempat tak jauh lagi. Di tengah perjalanan yang tak seberapa lama, saya melihat ada sebuah warung pinggir jalan yang menjual nira segar. Karena sudah lama tak merasakan nikmatnya nira segar yang dingin, maka saya putuskan untuk berhenti sejenak. Â
Tanpa di sangka penjual nira segar tersebut rupanya abang sepupu saya. Tanpa basa-basi, langsung saya ambil dan minum nira segar tersebut. Nikmatnya....Â
Kami pun lantas saling bertukar cerita. Tentang keluarga, tentang kondisi kampung, tentang politik sampai akhirnya soal pilihannya membuka warung tenda di pinggir jalan.Â
Ternyata sejak banyak orang yang berkunjung ke desa Telagah, bang Dion, (begitu saya memanggilnya) yang biasanya menjadi pengerajin gula aren asli, di hari minggu menambah kesibukannya dengan menjual air sadapan aren dalam bentuk nira segar dengan target para pelancong yang lewat. Lumayanlah pendapatan bang Dion untuk keluarganya bertambah.