Â
Ilustrasi -Â Pegawai sebuah warung makan di kawasan Rawa Belong, Jakarta, melayani pembeli (Kompas/Yuniadhi Agung)
Â
Sebentar lagi puasa datang dan akan banyak kita dapati restoran-restoran maupun rumah makan yang tetap menjalankan usahanya di siang hari, meskipun dengan ditutup sebagian bangunannya atau disamarkan, dengan alasan menghormati yang sedang berpuasa. Apakah fenomena yang kerap muncul menjelang Ramadan tersebut sudah sejalan dengan nilai-nilai syariah? Lalu bagaimanakah idelanya bisnis kuliner yang syar'i? Apa sajakah indikator yang menunjukkan bahwa sebuah bisnis kuliner telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh syariat. Mari kita telaah beberapa kasus sebagai berikut.
Â
Kasus Pertama
Di salah satu kota di Jawa Tengah tepatnya di Solo, ada juga sebuah warung makan yang menawarkan SATE "USA" yang sangat menggiurkan para pecinta kuliner yang selalu merasa penasaran dengan menu-menu yang belum pernah dicobanya (bacalah USA dari belakang). Namun setelah mengetahui sejatinya menu sate USA itu, sebagian dari mereka ada yang kecewa kerena merasa telah tertipu, sedangkan sebagian lagi tidak mempermasalahkannya. Apakah warung yang menyajikan menu "tidak wajar" ini memenuhi nilai-nilai dan prinsip-prinsip syariah?
Â
Kehalalan merupakan prinsip dan indikator utama pada usaha kuliner syariah. Halal dapat dilihat dari dzat atau jenis makanan yang dijual, cara memperolehnya maupun dalam pemanfaatannya. Ada jenis-jenis makanan yang secara jelas diperbolehkan syariat, ada juga yang yang diharamkan. Anjing merupakan jenis yang diharamkan Islam. Dalam hal cara memperoleh makanan itu juga perlu diperhatikan, apakah diperoleh dengan cara yang benar, atau cara yang tidak benar, seperti dengan mencurinya, mengambilnya tanpa izin (meng-ghazab), atau mendapatkan dengan cara menipu. Sedangkan dalam hal kehalalan pemanfaatan, ketika seseorang makan maka ia tidak boleh isyrof -berlebih-lebihan- apalagi sampai sakit perut dan muntah-muntah, karena makanan yang halal jika dimanfaatkan berlebihan dan membahayakan maka menjadi haram.
Â
Kasus Kedua
Di sebelah kampung saya di Diwek Jombang, berdasarkan penuturan istri, ada seorang nenek yang sehari-harinya menjual nasi lodeh dan pecel dengan modal usaha dari seorang rentenir, sehingga setiap keuntungannya hanya bisa untuk menutupi bunga hutangnya itu. Ia hanya menyisihkan sedikit keuntungan untuk menyambung hidup sebatang karanya. Ia harus pinjam uang setiapkali kehabisan modal dagangan kepada lintah darat yang tega itu. Apakah model permodalan yang didapatkan nenek itu sudah sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pembuat syariat?