Mohon tunggu...
dhuL.idhuL
dhuL.idhuL Mohon Tunggu... with all of my heart, do the best for Him.... -

Masih mengumpulkan berbagai novel, masih menyukai warna hijau dan sedang belajar menulis di sela-sela menikmati hidup pemberianNya :) Intinya, saya sedang bersyukur !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Spidol Tinta Putih

26 Februari 2016   10:09 Diperbarui: 26 Februari 2016   11:28 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"15 tahunmu sia-sia!", bentaknya. Lalu mereka berpisah di ujung jalan itu. Gerimis mengiring langkah mereka menuju lamunan masing-masing. "siapa sih yang tidak mau dicintai?", gumam Uni sore itu. Ia menyeduh kopi sembari membuka lembar novel sisa kemarin yang tak kunjung selesai dibacanya. Sepi.

"Kamu kok pulang lagi, le?", tanya Ibu kepada Oyo. "preine kan wis minggu kemarin?", lanjut ibu sambil menyeduh kopi panas untuk anaknya. Oyo hanya diam, melamun karena Uni. “Kopinya pait, Bu”, sahutnya kemudian. Ia masuk kamar, merebahkan tubuhnya berniat merem untuk membunuh cintanya. Ah seandainya saja aku bisa membunuh perasaan ini, demikian lamunnya. Ia memandang sekeliling sudut kamarnya yang sudah lama dia tinggalkan untuk bekerja di kota. Dulu ketika masih di rumah, menjadi anak Ibu dan menjadi pengangguran.

Namun, bagi Oyo ia tidak pengangguran yang tanpa pekerjaan seperti kata orang-orang itu, bagi Oyo ia punya kerjaan yaitu mencintai Uni. Nama itu masih ada?, tanyanya dalam hati. Ia bangun lalu berjalan ke arah lemari pakaian dan memperhatikan bagian samping pintunya. "kamu benar, Ni... 15 tahun ini sia-sia", kata Oyo sambil meraba tulisan itu.

15 tahun yang lalu, di kamar yang sama, Oyo menuliskan nama Uni pada dinding lemari bajunya. Malam itu Oyo tidak mengerti apa yang terjadi padanya barusan, Uni mengatakan bahwa dia tidak mencintai Oyo, lalu pergi. Oyo tidak tahu, mimpikah atau lukakah? Lalu dia masuk kamar, bukan untuk menangis tapi untuk diam. “Wajarlah dia gak cinta sama aku. Pengangguran gini. Tapi aku mencintaimu”, gumam Oyo sambil melipat kakinya di kursi kamarnya. Diambilnya spidol dengan tinta putih, spidol favoritnya dari sejak dia SMA. Entah apa yang membuat Oyo menyukai spidol itu, unik menurutnya. Toh kalo warna hitam banyak dicari dan dibutuhkan orang, tapi putih buat apa?

Diperhatikannya isi spidol itu dengan seksama, untuk memastikan bahwa masih ada isinya dan bisa digunakan. Kemudian Oyo memiringkan badannya ke arah lemari yang ada di samping kanannya, mengangkat spidol dan menulis di lemari kayu itu “UNI”, iya dengan huruf besar semua. Hanya kata itu, nama gadis yang dia cintai tanpa ada namanya yang disandingkannya, tanpa ada tanda love untuk nama itu. Oyo berpikir sederhana saja: cintanya tulus, cintanya putih seperti spidol itu, cintanya unik karena tidak semua orang memilikinya layaknya spidol putih itu. Lemari kayu itu menjadi saksi yang kokoh atas cinta Oyo kepada Uni, dengan sebuah goresan. “Semoga suatu saat kamu melihat sendiri tulisan ini, ya Ni”, harap Oyo seraya menutup tutup spidol dan matanya, terlelap.

Namun, malam ini…. 15 tahun berlalu yang masih ditemani oleh harapannya, Oyo kembali menemukan tulisan itu dengan sebuah harapan “semoga suatu saat kamu tahu bahwa cintaku seperti spidol putih ini, unik dan awet Ni”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun