314
Gerimis turun senja itu. Garis-garis air yang lurus menghunjam tanah menciptakan rinai yang khas. Lamat-lamat aku mendengar senandung Ibu, yang pernahIbu tembangkan untuk menidurkanku dalam buaian saat aku kecil dulu. Caping Gunung. Ya, aku ingat, lagu ciptaan Gesang itulah yang Ibu alunkan.
Dhek jaman berjuang, njur kelingan anak lanang
Biyen tak openi, ning saiki ana ngendi
Jarene wis menang, keturutan sing digadhang
Biyen ninggal janji, ning saiki apa lali
Neng gunung, tak jadongi sega jagung
Yen mendung, tak silihi caping gunung
Sukur bisa nyawang, gunung-desa dadi reja
Dene ora ilang, nggone padha lara lapa
(Waktu jaman berjuang, lalu teringat anak laki-laki
Dulu kurawat, lalu sekarang di mana
Katanya sudah sukses, tercapai yang dicita-citakan
Dulu pernah meninggalkan janji, tapi kini apa lupa
Di gunung, kusiapkan nasi jagung
Kalau mendung, kupinjami caping gunung
Bersyukur bisa melihat gunung-desa menjadi ramai
Juga tidak hilang saat dulu pernah menderita)
Memang, aku menyadari, Ibu. Engkau merawat dan menjagaku saat aku kecil. Melindungiku dari terik dan hujan waktu aku ikut ke sawah. Aku ingat, saat sinar matahari mulai membakar tanah sawah, Ibu menggendongku ke gubug, lalu Ibu meneruskan lagi menancapkan bibit-bibit padi di tanah. Aku juga ingat, saat hari terjadi hujan, Ibu melakukan hal serupa untuk menyelamatkanku dari terjangan air hujan.
Aku ingat, Ibu. Saat Ibu menjadi buruh pemetik padi di kampung sebelah ketika padi di sawah kita belum panen. Saat itu Ibu mampu menggendong sekarung padi di punggung dengan tetap tersenyum. Sementara aku hanya membawakan arit sambil mengikuti langkah Ibu ke rumah pemilik sawah. Tahukah Ibu, Ibu seperti burung pipit yang tangguh menyongsong hari-hari. Semua itu Ibu lakukan semata untuk menyambung hidup kita hingga musim panen tiba.
Aku masih ingat Ibu. Tiap sore Ibu menumbuk gabah, jagung atau gaplek di lumpang, dengan alu setinggi badan Ibu. Telapak tangan Ibu jadi tebal dan kasar akibat sering bergesekan dengan alu itu.
Saat aku akan mengejar asaku untuk kuliah di Malang, Ibu memberiku semangat yang membuat gairah hidupku menyala. Aku tahu, Ibu memang buta huruf. Ibu hanya mampu menulis nama Ibu yang wujudnya seperti cakar ayam untuk bertanda tangan di KTP, tapi vissi Ibu jauh ke depan. Ibulah waku itu yang secara eksplisit merestuiku, sementara Ayah hanya bungkam. Kalimat-kalimat yang diucapkan Ibu waktu itu serupa mantra sakti yang menyulapku menjadi Sang Pemimpi.
Ketahuilah, Ibu! Kalimat-kalimat Ibu waktu itu bisa melepaskanku dari kungkungan kemiskinan yang membelenggu keluarga kita dalam beberapa generasi. Ibu seperti melepas burung merpati dari dalam kurungan untuk terbang bebas di angkasa. Merpati itu adalah aku.
“Pergilah, Anakku! Peluklah mimpi-mimpimu! Ibu akan selalu mendoakanmu.” Itulah kalimat-kalimat ajaib yang terucap dari bibir Ibu waktu itu. Kalimat yang memberiku kekuatan untuk mengepakkan sayap dan mengarungi angkasa. Ayah saja saat itu hanya diam karena Ayah tetap tidak bisa menemukan jalan bagaimana harus membeayai kuliahku.
Aku pun pergi meninggalkan Ibu setelah aku tengkurap di atas tikar yang tergelar, lalu Ibu melangkahiku sambil mengucap, “Slamet, slamet, slamet!”
Itu merupakan bekal bagiku untuk menempuh liku-liku perjalanan yang sudah menanti. Bekal yang tak akan ada habisnya dan akan menjadi mantra sakti yang memberiku kekebalan terhadap berjuta-juta penderitaan.
Ibu selalu merapal doa yang tak pernah putus hingga aku bisa menakhlukkan hawa dingin yang menusukku malam-malam, saat aku harus memberi les privat pada anak SMP. Ketika aku terjerembab patah hati karena cinta, Ibu membangkitkanku dan memulihkan energiku untuk kembali mengejar matahari. Doa Ibu yang tanpa jeda memberiku kekuatan untuk mencecap ilmu kehidupan, di samping ilmu keguruan sehingga kini aku telah layak menyandang gelar guru. Suatu profesi yang untuk sekadar memimpikannya, Ibu dan Ayah dulu tak berani melakukannya.
Aku ingat Ibu, aku pernah berjanji, jika aku sudah berhasil meraih asaku, maka aku akan mengentaskan keluarga kita dari kubangan kemiskinan yang membelenggu kita turun-temurun. Aku ingat Ibu, saat itu aku berjanji, kelak Ibu dan Ayah tidak boleh lagi bekerja terlalu keras, membanting tulang, sampai menggadaikan sepetak sawah kita. Aku ingat, aku berjanji agar tak seorang pun meremehkan keluarga kita sebagai buruh tani miskin yang menduduki kasta rendah --sangat rendah-- di bawah orang-orang yang mengaku dari golongan priyayi. Saat itu aku berjanji, aku akan mengangkat harkat dan martabat keluarga kita secara layak.
Berkat perjuanganku dan doa-doa Ibu serta Ayah, akhirnya aku bisa meraih cita-citaku sebagai guru. Bahkan aku bisa meraih pencapaian lebih dari yang aku impikan, yakni aku bisa melanjutkan pendidikan hingga pascasarjana.
Aku tidak lupa akan janjiku, Ibu. Hanya saja sebelum aku memenuhinya, ada gelombang datang yang meluluh-lantakkan kapalku hingga aku, istri dan anak-anakku terkatung-katung di tengah samudera. Kini aku sedang memperbaiki kapalku agar kembali berlayar tegak di tengah lautan kehidupan. Kalau semua telah teratasi, kapalku akan berlabuh di dermaga dan aku akan menemuimu, Ibu.
Ibu, aku menyesal mengapa begitu aku telah meraih cita-citaku, aku tidak segera menunaikan janji-janjiku. Mengapa ketika aku sudah berada di puncak rotasi roda, aku tidak segera melunasi ‘hutang-hutangku’ yang memang tidak mungkin bisa terbayar semuanya.
Tentu, aku tetap mengharapkan doa Ibu. Dengan doa Ibu seperti yang sudah-sudah, aku pasti akan bisa bangkit dari keterpurukan ini, lalu menunaikan janjiku. Ibu, maafkan aku!
Aku tahu, Ibu akan selalu menerimaku dalam keadaan apa saja. Seperti yang Ibu senandungkan, Ibu selalu menyiapkan nasi jagung untuk berjaga-jaga jika aku pulang. Lalu Ibu juga telah menyiapkan caping gunung bagiku saat mendung bergelayut tandanya akan hujan. Tentu senandung Ibu itu hanya kiasan, betapa besar kadar penerimaan Ibu kepadaku, anak ragil yang tidak bisa beradaptasi dengan dingin hujan dan terik matahari ini.
Aku bisa mengira-ngira, seperti apa keadaan desa kita setelah aktivitas wisata sudah beroperasi. Ketika bukit-bukit telah disulap menjadi villa-villa, ketika sungai yang mengalirkan air panas dibendung untuk menghasikan kolam pemandian, dan ketika air terjun telah dipromosikan sebagai tujuanwisata yang menakjubkan. Aku bisa membayangkan keadaan desa kita saat ini.
Aku ingin menyaksikan semua itu, Ibu.
Gerimis makin menggila. Senandung Ibu telah tertelan oleh gemuruh yang memanggil-manggiku untuk pergi ke masa lalu. Saat aku kecil dulu. Saat itu gemuruh menghipnotisku untuk menerjang-meradang, lalu membiarkan wajah dan tubuhku dihempas hujan. Debu-debu jalanan dan segala beban luruh saat itu. Aku berteriak sekeras-kerasnya, lalu tiba-tiba petir menyambar. Ketika Ibu melihat aku menjadi pucat dengan bibir bergetar karena kedinginan, Ibu menyuruhku segera berbilas, lalu menghadap ke tungku yang menyala hingga tubuhku menghangat.
Tahukah Ibu, apakah yang aku nanti-nantikan saat itu? Malam. Ya, malam. Saat Ibu mendongengiku Cerita Panji. Itu adalah kisah tentang Raden Panji Asmoro Bangun dari Kediri yang menelusuri desa demi desa untuk menemukan kekasihnya, Dewi Sekartaji. Lalu untuk memancing kedatangan Dewi Sekartaji, Raden Panji Asmoro Bangun menyamar menjadi Ande-Ande Lumut dan mengadakan sayembara ajang pencarian jodoh. Gadis-gadis seantero desa, bahkan dari luar desa, dipersilakan ngunggah-ngunggahi. Ande-Ande Lumut yang tersohor sangat tampan akan memilih seorang putri yang akan dijadikannya istri.
Saat itu Ibu bisa menggambarkan dengan pas, bagaimana Dewi Sekartaji yang baik hati hidup terlunta-lunta, dan mutiara di dalam dirinya tidak hilang, meski tubuhnya berbalut bedak tepung dan hitam arang. Ande-Ande Lumut tetap bisa membaca kehadiran kekasihnya.
“Bagaimanapun, kebaikan akan terlihat,” tegas Ibu waktu itu.
Yang lebih menakjubkan lagi adalah dongeng Ibu tentang Jaka Tarub. Jaka Tarub sangat mendambakan istri seorang bidadari sehingga saat para bidadari turun dari kahyangan untuk mandi di sungai, Jaka Tarub mengambil selendang milik salah satu bidadari yang bernama Nawang Wulan. Akibatnya Nawang Wulan tidak bisa pulang ke kahyangan.
Jaka Tarub menolong Nawang Wulan, dan akhirnya memperistrinya. Kesaktian Nawang Wulan sebagai seorang bidadari masih bersisa. Saat menanak nasi, dia hanya mengambil beberapa bulir padi dari lumbung, lalu memasukkannya ke dalam dandang yang telah dilengkapi dengan kukusan.
Jaka Tarub yang penasaran melihat padi di lumbungnya tidak habis-habis, suatu saat mendapat kesempatan untuk membuka tutup dandang ketika Nawang Wulan menanak nasi. Padahal sudah diwanti-wanti oleh Nawang Wulan, “Jangan dibuka!”
Gara-gara kecuparan Jaka Tarub, kesaktian Nawang Wulan dalam menanak nasi hilang. Sejak itu, untuk menanak nasi, gabah harus ditumbuk dulu seperti yang dilakukan manusia pada umumnya.
Padi di lumbung yang biasnya awet, kini cepat sekali menyusut karena sering diambili untuk ditumbuk. Nah, di bawah tumpukan padi terakhir, Nawang Wulan menemukan selendangnya. Pikirnya, berarti selama ini selendang itu dicuri Jaka Tarub dan disembunyikannya ke dalam lumbung.
“Sepintar-pintarnya orang menyimpan kejahatan, suatu saat pasti akan terungkap.” Begitulah tegas Ibu mengakhiri cerita.
Lalu Ibu menyimpulkan sebuah pesan moral yang aku pegang hingga kini: becik ketitik, ala ketara.
***
Kini gerimis telah reda. Tiba-tiba rasa rindu menyergapku. Ibu, aku ingin seperti dulu lagi. Aku ingin lelap dalam pelukan Ibu! Kini, aku lelah, Ibu. []
-----------------
NB: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu. Ini link-nya: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/12/22/untukmu-ibu-inilah-karya-peserta-fiksi-hari-ibu-bersama-studio-kata-618551.html
Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community di http://www.facebook.com/groups/175201439229892/!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H