Mohon tunggu...
Mulyono Ardiansyah
Mulyono Ardiansyah Mohon Tunggu... Guru - Pelatih Olimpiade Sains Indonesia

Mulyono Ardiansyah, seorang penulis yang suka mengeksplorasi berbagai tema kehidupan melalui kata-kata. Ia berusaha menciptakan cerita yang dapat menggugah emosi dan pemikiran pembaca. Ia berharap dapat menyentuh hati pembaca dan mengajak mereka merenungkan makna di balik setiap peristiwa. Terima kasih atas kesempatan ini untuk berbagi cerita. Kalian bisa lihat aktivitasnya di ig @kingrasastra sekaligus sedikit prestasi kecilnya yang masih tersimpan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sisi Gelap Koper

2 Desember 2024   01:53 Diperbarui: 2 Desember 2024   01:56 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suri menerima pesan dari istrinya, Ayu, pagi itu. "Paketnya belum sampai, ya? Tahun baru sebentar lagi."

Ia tertegun. Sudah dua minggu sejak ia menyerahkan koper berisi hadiah kepada Kadir, seseorang yang ia percaya. Sekarang, Kadir menghilang tanpa jejak.

Suri memeriksa kembali foto koper yang ia simpan di ponselnya. Koper itu berisi semua yang ia tabung selama setahun---pakaian untuk Ayu, mainan untuk anaknya, dan beberapa perhiasan sederhana. "Aku tidak akan membiarkan ini begitu saja," gumamnya.

Suri mencoba mencari tahu keberadaan Kadir. Ia mendatangi tempat terakhir Kadir terlihat, sebuah apartemen tua di distrik kumuh. Tapi yang ia temukan hanya tetangga yang menggelengkan kepala. "Kadir? Dia pindah. Tak ada yang tahu ke mana."

Di sebuah meja kecil yang terlupakan, Suri melihat sesuatu: kartu nama seorang pria bernama Victor dengan catatan tangan di belakangnya: "Gudang 74, Pelabuhan Timur."

Malam itu, Suri menyelinap ke gudang yang dimaksud. Bau logam dan debu menyelimuti udara. Ia menemukan koper-koper yang berbaris rapi, tetapi tidak ada tanda-tanda barangnya. Ketika ia hendak pergi, suara langkah kaki bergema di belakangnya.

Sebuah tangan kasar menahan bahunya. "Apa yang kau lakukan di sini?" suara dalam seorang pria bergema. Suri menoleh dan mendapati seorang pria bertubuh besar, Victor, berdiri dengan pandangan mencurigakan.

Victor menginterogasi Suri dengan nada dingin. "Kau mencari sesuatu?"

Suri menjawab dengan hati-hati, "Barang saya ada di sini."

Victor terkekeh. "Semua barang di sini sudah bukan milik siapa pun lagi. Kau tahu, ini tempat kami menyimpan barang yang 'hilang'."

Meski merasa takut, Suri tetap bersikeras. "Kau tak mengerti, itu untuk keluargaku."

Victor menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum dingin. "Aku bisa membantumu. Tapi tentu saja, ada harganya."

Victor menawarkan untuk membantu mencari koper Suri dengan syarat ia melakukan sesuatu untuknya: mengantarkan sebuah paket kecil ke alamat di luar kota. "Anggap saja ini jaminan bahwa kau tidak akan melaporkan kami," katanya.

Suri ragu. Ia tahu ini bisa membahayakan, tapi ia tak punya pilihan. Koper itu terlalu berharga. Dengan enggan, ia setuju.

Suri membawa paket itu melalui kereta malam. Sepanjang perjalanan, ia merasa diawasi. Dua pria berpakaian hitam duduk di ujung gerbong, sesekali melirik ke arahnya. Ia mencoba tetap tenang, tetapi rasa cemas semakin menghantuinya.

Ketika ia turun di stasiun tujuan, kedua pria itu mengikutinya. Ia mempercepat langkah, mencari tempat aman untuk bersembunyi.

Di sebuah gang sepi, Suri membuka paket itu. Di dalamnya ada amplop penuh uang tunai dan beberapa dokumen. Ia terkejut saat membaca salah satu dokumen: nama Victor ada di situ, bersama daftar nama lain yang dicoret dengan tinta merah.

"Apa yang sebenarnya aku bawa?" pikirnya. Saat itu juga, kedua pria hitam tadi muncul, memojokkannya.

Suri berusaha melarikan diri, tetapi kedua pria itu mengepungnya. Salah satu dari mereka meraih paket di tangannya, tetapi Suri melawan. Dalam perjuangan itu, paket terjatuh, dan uang di dalamnya berserakan.

Teriakan salah satu pria memecah keheningan malam: "Kau bekerja untuk Victor? Kau tahu apa yang dia lakukan?"

Suri bingung, tetapi ia tahu ini lebih besar dari yang ia bayangkan. Ia memanfaatkan kekacauan untuk melarikan diri.

Suri kembali menemui Victor dengan napas tersengal. "Apa yang kau masukkan ke dalam paket itu? Mereka mencoba membunuhku!" teriaknya.

Victor hanya tersenyum tipis. "Aku tidak memintamu membuka paket itu. Tapi lihat, kau masih hidup. Jadi, di mana paketnya?"

Ketika Suri mengaku kehilangan paket, wajah Victor berubah. "Kau sudah menempatkan dirimu dalam masalah besar. Sekarang aku tidak punya alasan untuk mengembalikan kopermu."

Suri memutuskan untuk tidak lagi bergantung pada Victor. Ia harus menemukan koper itu sendiri. Mengingat kembali jejak yang ia lihat di gudang, ia memutuskan untuk menyelinap kembali ke sana, kali ini dengan tekad yang lebih kuat.

Malam itu, ia melihat sesuatu yang ia lewatkan sebelumnya: koper kecil dengan tanda khusus miliknya, tersembunyi di antara tumpukan barang-barang yang lebih besar.

Saat Suri mencoba mengambil kopernya, ia menemukan bahwa koper itu telah dikunci dengan kode. Di dalamnya, ia tidak hanya menemukan barang-barangnya, tetapi juga dokumen-dokumen lain yang membuktikan aktivitas ilegal Victor. Koper itu rupanya digunakan Victor untuk menyelundupkan bukti-bukti kejahatan.

Suri tahu ini adalah kesempatan untuk menjatuhkan Victor. Dengan koper di tangannya, Suri melapor kepada polisi.

Ketika koper itu sampai di kantor polisi, Suri berharap segalanya berakhir. Namun, satu kejutan lagi menantinya. Salah satu petugas polisi membuka koper itu dan menatap isinya dengan ekspresi terkejut. "Ini, lebih besar dari yang kami kira," gumamnya.

Ternyata koper tersebut bukan hanya berisi barang bukti kejahatan Victor. Ada catatan transaksi gelap yang melibatkan jaringan kriminal lintas negara, termasuk nama-nama pejabat tinggi. Petugas polisi yang memeriksa koper itu tiba-tiba mengubah sikapnya. Ia menutup koper dengan tergesa-gesa dan berkata, "Kami akan mengurus ini. Anda bebas pergi."

Namun, Suri merasakan sesuatu yang ganjil. "Apa maksud Anda? Bukankah seharusnya saya memberikan pernyataan?" tanyanya. Petugas itu hanya menatapnya tajam. "Percayalah, Anda jangan terlibat lebih jauh."

Ketika Suri meninggalkan kantor polisi, ia merasa lega sekaligus gelisah. Sesuatu tentang respons polisi itu tidak sesuai dengan dugaannya. Malam itu, ia mendapati dirinya terus berpikir: apakah polisi benar-benar berniat membongkar kasus ini, atau mereka juga bagian dari jaringan tersebut?

Ia tak bisa tidur. Setiap suara kecil di luar jendela membuatnya melompat. Pikiran tentang Victor atau jaringan kriminal yang mungkin mencarinya menghantui setiap sudut pikirannya.

Keesokan paginya, Suri menemukan sebuah amplop terselip di bawah pintu apartemennya. Di dalamnya ada sebuah catatan dengan tulisan tangan yang rapi: "Kau telah memilih jalan yang salah. Kami tahu di mana keluargamu tinggal."

Amplop itu juga berisi foto Ayu dan anaknya, diambil dari jarak dekat. Suri merasa lututnya lemas. Ancaman itu nyata, dan ia kini berada di tengah pusaran bahaya yang tak terduga.

Suri tahu dia tidak bisa tinggal diam. Ia mendatangi kantor polisi untuk meminta perlindungan, tetapi petugas yang sebelumnya berbicara dengannya sudah tidak ada di sana. Petugas lain bahkan tidak menemukan catatan apa pun tentang laporan kopernya. "Kami tidak tahu apa yang Anda bicarakan," kata mereka dengan nada dingin.

Merasa dikhianati, Suri menyusun rencana sendiri. Ia tahu satu-satunya cara untuk melindungi keluarganya adalah melawan. Dengan mengumpulkan keberaniannya, ia memutuskan untuk menyusup kembali ke gudang Victor, kali ini bukan untuk mengambil barangnya, tetapi untuk mengumpulkan bukti yang cukup untuk menghancurkan jaringan itu sepenuhnya.

Malam itu, ia bersiap dengan hati penuh ketakutan tetapi tekad yang bulat. Langkahnya di jalanan gelap menjadi awal dari babak baru yang akan menentukan segalanya---antara hidup, mati, dan harapan untuk keluarganya.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun