Mohon tunggu...
Mulyono Ardiansyah
Mulyono Ardiansyah Mohon Tunggu... Guru - Pelatih Olimpiade Sains Indonesia

Mulyono Ardiansyah, seorang penulis yang suka mengeksplorasi berbagai tema kehidupan melalui kata-kata. Ia berusaha menciptakan cerita yang dapat menggugah emosi dan pemikiran pembaca. Ia berharap dapat menyentuh hati pembaca dan mengajak mereka merenungkan makna di balik setiap peristiwa. Terima kasih atas kesempatan ini untuk berbagi cerita. Kalian bisa lihat aktivitasnya di ig @kingrasastra sekaligus sedikit prestasi kecilnya yang masih tersimpan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Koordinat Terakhir Pak Karman

19 November 2024   08:03 Diperbarui: 19 November 2024   08:48 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan deras mengguyur SMA Negeri 5 ketika aku pertama kali menyadari sesuatu yang ganjil. Jam pelajaran Matematika sudah hampir habis, tapi tidak ada tanda-tanda Pak Karman, guru kami, muncul. Sebagai siswa yang lebih sering berharap jam kosong daripada belajar, ini semestinya kabar baik. Tapi entah kenapa, absennya beliau justru membuat dadaku sesak.

"Pak Karman kenapa ya? Biasanya nggak pernah bolos," Fikri bergumam sambil memutar-mutar bolpoin di antara jemarinya.

Aku hanya mengangkat bahu. Tapi dalam hati, firasat buruk menyelinap, seperti rasa cemas tanpa nama. Ada yang tidak beres. Aku bahkan belum menyadari kalau tangan kiriku menggenggam ujung meja begitu erat hingga kuku hampir menusuk kayu.

***

Di ruangan kecilnya yang suram, Pak Karman duduk menatap secarik kertas kosong di atas meja. Sudah seminggu ia merasa tubuhnya tidak beres. Dokter bilang hasil pemeriksaan lengkap baru keluar beberapa hari lagi, tapi firasatnya sendiri sudah lebih dulu memberi jawaban. Ia menyentuh dadanya yang terasa berat. Dalam pikirannya, angka-angka berloncatan, memadat menjadi pola, mengurai menjadi soal-soal.

Ia membuka buku harian kecil yang sudah bertahun-tahun tidak disentuhnya. Di halaman pertama, ada tulisan besar dari masa lalunya: Jika hidup ini soal, maka setiap manusia adalah jawabannya. Ia tertawa kecil. Dulu, ia menulis itu saat masih menjadi mahasiswa. Sekarang, di penghujung usianya, kalimat itu terasa seperti ejekan.

Tangannya bergerak pelan, menuliskan soal-soal yang sulit, lebih sulit dari apa pun yang pernah ia buat. Bukan untuk murid-muridnya. Ia tahu soal ini hanya bisa diselesaikan oleh seseorang yang memahami bahwa angka tidak pernah berdiri sendiri, ada cerita di balik setiap simbol, ada jalan panjang di setiap jawaban.

Sebelum menyelesaikan halaman terakhir, ia berhenti sejenak. Wajah-wajah muridnya berkelebat. Kebanyakan dari mereka hanya wajah samar. Tapi satu wajah muncul lebih jelas. Gara. Anak itu. Mata yang selalu menyelidik, tidak puas dengan jawaban setengah-setengah.

Pak Karman tersenyum kecil, lalu menulis satu kalimat pendek di halaman terakhir: Gara, jika kamu membaca ini, berarti kamu sudah sampai di tahap berikutnya. Lanjutkan teka-teki ini.

Hujan mengetuk-ngetuk jendela. Dalam kesunyian malam itu, ia merasa lebih yakin dari sebelumnya.

***

Pekan berikutnya, dugaan itu terbukti. Di awal jam pelajaran, Bu Maya, wali kelas kami, datang membawa berita mengejutkan.

"Anak-anak," katanya dengan suara yang bergetar. "Pak Karman sedang dirawat di rumah sakit. Beliau menderita kanker."

Kanker. Kata itu seperti petir di siang bolong. Aku duduk terpaku di kursiku, mendengarkan gumaman teman-teman kelas yang tak percaya. Pak Karman, guru yang selalu bersemangat dan tampak tak terkalahkan, kini terbaring sakit parah.

Aku tahu aku tidak dekat-dekat amat dengan beliau. Pak Karman adalah figur yang kuat. Caranya menjelaskan Matematika seperti mengubah soal menjadi cerita, teka-teki hidup yang harus dipecahkan, yang membuatku ingin melakukan sesuatu. Sekarang, bayangan itu terasa runtuh, digantikan tubuh ringkih yang terbaring di rumah sakit.

***

Aku tidak tahu apa yang mendorongku, tapi sore itu, aku nekat pergi menjenguknya sendirian. Hujan masih mengguyur, jalanan licin. Tidak ada rencana, tidak ada alasan jelas, tapi entah kenapa aku merasa ini harus kulakukan untuk memastikan beliau baik-baik saja.

Saat aku masuk ke kamar rawatnya, pemandangan itu membuatku tercekat. Pak Karman yang dulu tegap kini tampak ringkih, wajahnya pucat, dan tubuhnya terlihat lebih kecil. Namun, begitu melihatku, matanya langsung berbinar.

"Gara," sapanya pelan, suaranya sedikit serak.

Aku tersenyum kikuk, tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya menjawab basa-basi, "Bagaimana kabar Bapak?"

Beliau hanya tersenyum kecil. "Kurang baik, tapi masih hidup. Kamu sendiri bagaimana? Sudah selesai soal latihan yang saya kasih minggu lalu?"

Aku mengernyit. Bahkan di rumah sakit, beliau masih membahas soal Matematika? Aku menggeleng kecil. "Belum, Pak. Soalnya susah."

Pak Karman terkekeh lemah. "Kalau hidup gampang, tidak akan menarik, Nak."

Aku tidak menjawab. Tapi kata-kata itu terus terngiang di kepalaku, bahkan setelah aku keluar dari kamar itu.

***

Beberapa hari kemudian, aku kembali menjenguk beliau. Kali ini, aku datang dengan satu tujuan: menyelesaikan soal latihan yang beliau berikan. Soal yang bahkan guru pengganti kami mengaku kesulitan memahaminya.

"Pak, saya mau diskusi soal ini," kataku, membuka buku catatan dan menunjukkan soal yang beliau berikan minggu lalu.

Pak Karman menatap soal itu, lalu menatapku. Wajahnya tampak lelah, tapi senyumnya tetap sama. "Baik. Kita coba pecahkan bersama."

Selama hampir satu jam, aku duduk di samping ranjangnya, membahas solusi demi solusi. Pak Karman tidak memberikan jawaban langsung; beliau malah terus memancingku dengan pertanyaan-pertanyaan lain, memaksaku berpikir lebih keras.

Ketika akhirnya aku menemukan jawabannya, aku tidak bisa menahan senyum lebar.

"Lihat, kamu bisa melakukannya," kata Pak Karman, kali ini tanpa petuah, hanya dengan anggukan puas.

***

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Beberapa hari kemudian, kabar duka datang. Pak Karman meninggal dunia.

Pemakamannya penuh sesak. Dihadiri oleh siswa, mantan murid, dan rekan-rekannya. Aku berdiri di barisan belakang, menatap gundukan tanah merah dengan perasaan campur aduk. Ada banyak hal yang ingin kukatakan pada beliau, tapi semuanya terasa terlambat.

Tapi kehidupan tidak pernah berhenti, bukan? Bahkan setelah kepergian Pak Karman, hari-hari terus berjalan.

***

Hari-hari berlalu, tapi bayangan Pak Karman tidak pernah pergi. Kata-katanya, caranya memandang hidup, caranya memecahkan soal, semuanya terasa seperti bagian dari diriku sekarang.

Semester akhir semakin dekat, dan kelas kami harus menghadapi ujian Matematika yang terkenal sulit. Tanpa Pak Karman, kepercayaan diri kami nyaris nol.

"Aku nyerah, deh," kata Fikri, melemparkan pulpen ke meja. "Kalau guru pengganti aja nggak ngerti, apalagi kita."

Aku menatap catatan yang penuh dengan coretan. Dalam benakku, suara Pak Karman bergema: Kalau hidup gampang, semua orang pasti bosan.

"Kita coba, Fik," kataku akhirnya. "Kalau Pak Karman percaya kita bisa, kenapa kita nggak percaya sama diri sendiri?"

Fikri tertawa kecil. "Serius, Gar? Ini bukan soal percaya atau nggak, ini soal otak."

"Kalau otak kurang, ya belajar. Kalau nggak ngerti, cari tahu. Tapi kita nggak boleh nyerah sebelum mencoba."

Aku tidak tahu apakah aku sedang memotivasi mereka atau diriku sendiri. Tapi kata-kata itu berhasil. Dalam beberapa minggu, aku mengambil alih peran seperti Pak Karman di kelas. Kami belajar bersama, mencari jawaban dari buku, internet, bahkan guru lain. Awalnya sulit, tapi perlahan-lahan, semuanya mulai masuk akal.

***

Ketika akhirnya ujian tiba, aku merasa seperti seorang prajurit yang siap bertempur. Bukan karena aku yakin akan nilai sempurna, tapi karena aku tahu aku sudah berjuang sekuat tenaga.

Hasil ujian diumumkan dua minggu kemudian.

"Selamat," kata Bu Maya sambil tersenyum. "Kelas kalian mendapat nilai rata-rata tertinggi di sekolah."

Kelas meledak dalam sorak-sorai. Aku tidak bisa berhenti tersenyum, tapi di tengah euforia itu, ada bayangan yang selalu mengiringiku: Pak Karman.

***

Beberapa hari setelah pengumuman ujian, aku menemukan sesuatu yang membuat jantungku berhenti berdetak sejenak. Saat membuka laci meja di ruang guru, tempat beberapa barang Pak Karman masih disimpan, aku menemukan sebuah buku harian kecil dengan inisial namanya.

Rasa penasaran mengalahkan sopan santunku. Aku membuka halaman pertama, dan tulisan tangan beliau langsung menyambutku. Tapi itu bukan catatan harian biasa. Itu adalah deretan soal Matematika, lebih sulit dari yang pernah kulihat sebelumnya.

Aku terus membalik halaman, mencari sesuatu yang lebih personal. Hingga pada halaman terakhir, ada tulisan pendek yang seolah ditujukan padaku:

"Gara, jika kamu membaca ini, berarti kamu sudah sampai di tahap berikutnya. Soal-soal ini adalah teka-teki terakhir yang belum mampu kuselesaikan. Aku berharap kamu bisa melanjutkannya."

Bagaimana beliau tahu aku yang akan menemukannya?

Dan lebih aneh lagi, beberapa soal tampak memiliki pola yang tidak biasa. Salah satunya menyerupai koordinat.

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Bayangan soal-soal itu terus menghantuiku. Di balik setiap angka, sepertinya ada sesuatu yang lebih besar menunggu. Tapi apa?

Dan yang lebih penting, apakah aku siap untuk mengetahuinya?

                                                                                                                                         ***

Biodata:
Mulyono Ardiansyah, seorang penulis yang suka mengeksplorasi berbagai tema kehidupan melalui kata-kata. Ia berusaha menciptakan cerita yang dapat menggugah emosi dan pemikiran pembaca. Ia berharap dapat menyentuh hati pembaca dan mengajak mereka merenungkan makna di balik setiap peristiwa. Terima kasih atas kesempatan ini untuk berbagi cerita. Kalian bisa lihat aktivitasnya di ig @kingrasastra sekaligus sedikit prestasi kecilnya yang masih tersimpan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun