Mohon tunggu...
Gigih Mulyono
Gigih Mulyono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Musik

Wiraswasta. Intgr, mulygigih5635

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Obituari Sahabat # 3

11 April 2023   08:27 Diperbarui: 11 April 2023   08:50 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

ada saat bertemu, bersama dan berpisah. ada pula saat untuk merelakan

Totok dan Wisjnu telah terbang setengah jalan. Berdua terayun - ayun terikat tali. Nampak semakin mengecil, dan menghilang.

Dibawah bersama Jacky, kami berdebar menunggu giliran. Nyali gigrik.

Ini adalah point of no return, no way to run. Harus dilakoni. Karena kalau naik ke atas, merayapi tebing tanpa ditarik tali akan membutuhkan waktu sekitar 3 jam. Itupun jika tak ada hambatan dan tubuh kuat. Ditarik tali hanya perlu sekitar 5 menit.

Yah, tali telah kembali terulur. Kami berdua diikat kencang.

Asemnya, salah satu crew tali itu bicara pelan kepada temannya, tapi pasti tahu kami juga akan mendengarnya, bapak - bapak ini berat ya. Omongan apa itu. Sekedar berbincang atau teror mental?

Dan perjalanan ditarik tali itu menjadi momen cemas dan menegangkan. Hanya sekitar 5 menit, namun begitu menguras tenaga dan mental.Terasa berlangsung sangat lama. Keringat dingin menitik di dahi.

Awalnya berlangsung enak. Pelan - pelan kami terangkat naik. Terayun ke kiri - kanan. Melewati puncak pepohonan hutan purba. Lancar, slow, smooth, tenang.

Namun saat  setengah jalan, berada di udara tiba - tiba ketenangan itu terusik.

Mendadak kami berhenti. Saya terkesiap kaget. Pikiran blank, kaki lemas. Clingak clinguk, mendongak ke atas dan nginguk ke bawah.

Bergelantungan diam, saya dan Jacky saling pandang di udara. Kecut.

Panik merayapi, dalam hati bertanya - tanya. Whats wrong?

Kurang lebih setengah menit dalam ketegangan, terdiam di udara. Tak tahu apa yang mesti diperbuat. Mau berteriak minta tolong, malu. Hanya diam menunggu, dan komat kamit berdoa.

Tergantung di udara dalam hening. Akhirnya hentakan kecil berkedut - kedut. Dan talipun kembali bergerak naik. Pelan - pelan. Wah hati plong.

Lega luar biasa, setelah akhirnya kami berdua ditarik dari bibir tebing. Dan berdiri di tepian jurang Jomblang dengan kaki gemetar.Tanpa disadari mulut berbisik, Alhamdulillah.

Momen kritispun berlalu.

Leyeh - leyeh duduk di atas batu, pikiran menganalisis, kenapa tadi tali berhenti di tengah perjalanan?

Kemungkinan pertama,  memang bobot kami berdua cukup berat. Sehingga 21 pria penarik tali yang di atas itu kelelahan. Tarikan tali dihentikan sejenak, menunggu bantuan datang.

Atau yang ke dua, memang ini bagian dari SOP. Bagian dari wisata petualangan di sini, untuk memicu ketegangan dan rasa khawatir setiap pengunjung. Cemas dan tegang menjadi bagian drama petualangan yang telah diskenariokan.

Setelah bertanya - tanya kepada peserta lain, saya menyimpulkan,
kemungkinan kedua itu yang terjadi.

Indikasinya, tadi saat di bawah sebelum naik, crew pengikat tali sengaja ngomong bahwa kami berat. Itu adegan pertama, pensugestian. Kemudian, saat di tengah udara, tali sengaja dihentikan. Itu adegan ke dua.

He he he, ya barangkali konsepnya seperti film horor. Menghibur dengan mengeksplore rasa takut.

Asem, pertunjukan mereka berhasil.

Hati lega bahagia, namun tubuh lemas gara - gara dikerjain. Okelah anggap saja dikerjain itu bagian dari sedekah.

Rombongan goa Jomblang telah lengkap. Semua selamat aman sampai di atas.

Selanjutnya beramai - ramai kami berjalan, menuju pendapa untuk makan siang dengan menu tradisional setempat.

Pantai Timang

Yang disebut wisata Pantai Timang itu sebetulnya adalah sebuah pulau batu karang kecil.

Bak kapal Nabi Nuh yang karam, pulau itu teronggok, tak henti dihantam deburan ombak laut selatan yang ganas.

Ikon wisata terpanas dan unik disini, adalah momen saat kita dari daratan menyeberang di atas lautan menuju pulau.

Ada dua sarana penyeberangan komersial yang tersedia. Pertama, naik gondola made in Timang melintasi lautan. Gondola berkapasitas maksimum 2 orang itu ditarik manual oleh tiga atau empat orang.

Cara kedua, berjalan meniti jembatan kecil yang bergoyang - goyang diatas deburan ombak besar, sepanjang sekitar seratus meter lebih.

Kami berempat memilih akan berjalan di atas jembatan. Saat ini sedang duduk - duduk ngadem menunggu giliran. Memandangi pulau karang itu, cukup paham kenapa banyak orang Malaysia, Singapor, Korea  berwisata di tempat terpencil ini. Tadi driver Jeep Timang telah bercerita.

Selain alamnya yang asyik, ternyata ada tayangan yang viral. Dan tak terduga menjadi sarana promosi gratis bagi wisata Timang ini.

Tadi sebelum sampai di Timang, kami juga mendengar kisah goa Jomblang yang kelam dan seram, bikin bergidik.

Di sepanjang perjalanan dari Jomblang ke Timang, driver menceritakan tanpa diminta.  

Setelah makan siang tradisional di pendapa. Dengan lauk sayur lodeh, kering tempe, perkedel dan seplastik kerupuk udang yang cukup yummy dan mengenyangkan, kami berangkat ke Pantai Timang.

Di tengah geronjalan jalan basirkil, driver bertanya, apakah kami tahu cerita seram yang pernah terjadi di goa jomblang.
Kami berempat belum pernah mendengarnya.

Driverpun antusias bercerita.

Dulunya goa Jomblang dan luweng grubug itu pernah menjadi lokasi eksekusi yang cukup besar. Semacam killing fields.

Konon killing fields besar pernah terjadi 3 kali di tempat itu.

Pertama, jaman penjajahan, entah era Belanda atau Jepang. Kedua, peristiwa G 30 S. Dan ketiga, tahun 80 an, kala pembersihan preman dilakukan oleh Petrus ( Penembak Misterius ).

Konon pula, eksekusi dari tiga era itu dilakukan dengan cara yang mirip. Yakni menjejer puluhan victim di bibir tebing atas Luweng Grubug. Para victim itu semua ditutup matanya, dan diikat satu sama lain. Kemudian ditembak dan dilempar masuk ke Luweng Grubug.

Jasad  - jasad tak bernyawa itu jatuh, melayang - layang ke dasar kali Suci di bawah sana.

Seram juga membayangkan, puluhan mayat itu bersamaan melayang setinggi 93 meter. Membentur - bentur dinding karang dan akhirnya tercampak di permukaan kali Suci, sungai bawah tanah itu.

Sejak peristiwa Petrus, di awal - awal tahun 90 an, pada malam hari yang gelap penduduk sekitar sering mendengar suara dan teriakan seram dari dalam luweng Grubug. Suara - suara keluh kesah dan derita, terdengar sayup - sayup bikin merinding.

Tak tahan dengan teror suara, penduduk sekitar berinisiatif untuk masuk, merayapi luweng sampai ke dasarnya. Mencoba meneliti dan menelusur sumber suara seram itu.

Ditemukan fakta ngeri. Di dasar luweng Grubug di tepian sungai bawah tanah, terserak puluhan bahkan ratusan tulang belulang dan tengkorak bergeletakan. Belulang dan tengkorak putih itu mencolok dalam kegelapan. Konon ratusan belulang yang lain telah terhanyut arus sungai bawah tanah.

Menemui fakta itu segera para sesepuh, tetua, pimpinan dan penduduk setempat menghelat ritual bersih goa dan kali.

Bersama - sama mendoakan, dan meminta agar makhluk alam Astral yang masih gentayangan di tempat itu pergi menjauh.

Konon tak lama sejak ritual dislenggarakan, luweng Grubug dan goa Jomblang bersih dari anasir hitam dari alam lain. Tak ada lagi terdengar suara - suara menyeramkan itu. Kisah dan sejarah kelam pun terlupakan.

Bahkan akhirnya sampai saat ini goa Jomblang telah disulap menjadi destinasi wisata internasional, andalan Gunung Kidul.

Tak tahu gimana jadinya, seandainya kami mendengar kisah kelam itu sebelum tadi turun ke goa. Namun yang kami rasakan, saat berada di dalamnya, aura goa Jomblang dan luweng Grubug itu bersih, segar dan menakjubkan. Bebas dari sisa anasir gelap masa lalu. Alhamdulillah.

Perjalanan sekitar 45 menit itu berakhir. Avanza berbelok sedikit menanjak. Sampailah kami di pos masuk pantai Timang.

Mobil tidak bisa melanjutkan perjalanan. Diparkir di dekat rumah pak Sis, juragan jeep dan lobster yang ternama di pantai Timang.

Ya, pak Sis konon adalah salah satu perintis nelayan lobster di pantai karang Timang. Sejak booming marak wisatawan berdatangan ke sini, pak Sis menambah segmen bisnisnya. Yakni menyewakan Jeep off road dan membuka warung makan lobster segar.

Usai parkir, kami berempat bersiap di jeep sewaan dari pak Sis. Nanti usai dari pantai kami akan kembali kesini untuk menjajal kulineran khas. Yakni menyantap lobster besar segar.

Jeep berderum dan mendaki menuju pantai.
Jalan tanah dan batu berliku menanjak. Hanya jenis Jeep semi Off road yang mampu menerobos jalan batu tak rata dan terjal ini.

Ditengah geronjalan dan Jeep yang meloncat - loncat kecil, sambil memandangi panorama alam cantik di sekitar, kami mendengarkan cerita driver tentang pantai wisata Timang.

Dulunya pulau Timang tujuan wisata adrenalin itu bernama pulau Watu Panjang. Karena bentuk karangnya yang memanjang, dan bukan destinasi wisata. Namun adalah tempat mencari udang raksasa atau lobster. Yang suka bersarang di batu karang.

Para nelayan itu menyeberang ke pulau Timang menggunakan gondola kayu bertali yang ditarik manual.

Tahun 90 an lebih, penyanyi Malaysia membuat video clip. Mengambil  lokasi shooting di pantai ini. Konon lagunya populer dan meledak di negeri jiran, Malaysia. Sejak itu banyak turis Malaysia berdatangan kesini. Bahkan turis itu merubah nama pulau Watu Panjang menjadi Pulau Timang. Entah karena alasan apa. Barangkali berhubungan dengan lagu yang laris itu.

Nama baru itu begitu populer, dan tetap digunakan hingga kini.

Pantai Timang tambah populer lagi saat satu sesi variety show dari salah satu televisi Korea Selatan mengambil lokasi shooting di sini. Acara petualangan yang digemari bertajuk Running Man itu semakin  menambah popularitas pantai Timang bagi wisatawan Malaysia, Singapura dan Korsel.

Oh pantas, tadi di area sekitar rumah pak Sis percakapan dan slank English Malay berhamburan dari para wisatawan yang berada di situ.

Matahari condong ke barat meneruskan perjalanan menuju cakrawala. Kami telah dipanggil untuk segera menyeberangi jembatan ayun pulau Timang.

Jembatan sempit itu memiliki lebar sekitar 70 Cm, panjang 120 meter dan tinggi 12 meter dari permukaan laut. Hanya bisa memuat untuk satu orang saja. Beralas kayu yang dirangkai terikat tali. Lentur dan mudah bergoyang. Di kiri kanan dipasang semacam jaring pengaman, setinggi sekitar 90 sentimeteran, berwarna biru mencolok.

Saatnya menyeberangi jembatan.

Setiap satu penyeberang didampingi pemandu yang juga merangkap sebagai juru foto dan video. Ketika Wisjnu telah berjalan di jembatan sejauh 80 M, baru berikutnya saya boleh mulai menyeberang. Tak boleh 2 orang menyeberang berdekatan. Demi keamanan.

Apa sensasi yang dirasakan saat menyeberang ke pulau Timang ini?

Satu, jembatannya sempit dan bergoyang - goyang. Kemudian, posisinya cukup tinggi di atas permukaan laut. Sensasi berikut, panorama sangat indah. Paduan samudera biru seolah tanpa batas, dipadu dengan pegunungan berkontur tinggi rendah yang memanjang. Juga pulau karang unik di depan, berwarna karst putih kekuningan dan berbentuk seperti kapal karam.

Dan tentu, sensasi yang paling mendebarkan adalah saat kita melangkah bergoyang - goyang diatas jembatan. Deburan ombak tak henti bergolak di bawah sana bagai lidah api putih kebiruan yang tak putus - putus merangsek ke arah kita. Hempasan ombak itu seolah akan mengenai dan menelan kita. Tentu telah diperhitungkan, ombak tidak bakalan sampai. Hanya percikan airnya yang menyiram, membasahi.

Kita dibuat kaget. Seperti saat meluncur dengan tali di goa Jomblang, adrenalin melonjak dengan sebab berbeda. Disana kaget oleh ketinggian, disini karena kejaran ombak.

Ombak laut selatan memang terkenal ganas. Saat menyeberang jembatan ini menjadi momen tak biasa. Kita terayun - ayun rentan, sementara di bawah sana deburan ombak ganas tak henti menyerang.

Menyeberang jembatan itu butuh waktu kurang lebih 7 menit.
Kami berempat telah aman dan asyik menyeberang. Kini berada di dataran pulau karang yang berbongkah - bongkah, bak permukaan planet Mars di film.

 

Kalau di Mars mungkin akan ketemu Alien, namun di sini tidak. Tetapi kami barengan dan berkenalan dengan nona anggun, turis Singapura yang ramah dan rupawan.

Sesi foto dan video sana sini. Bersama juga dengan nona Singapura. Foto - foto signature oleh pemandu yang merangkap menjadi juru foto dan pengarah gaya.

Kami hepi. Terutama Totok nampak ceria, dengan senyuman yang selalu tersungging di bawah kumis tebalnya.

Sunset yang konon indah di sini masih terlalu lama untuk ditunggu. Kami memilih menuju ke parkir Jeep, takut nanti terlalu malam sampai di Yogya. Berjalan santai sambil menonton atraksi para turis negeri jiran menyeberang dengan gondola. Para penyeberang itu berteriak - teriak saat gondolanya dikejar ganasnya deburan ombak. Seru nian.

Jeep turun dari pantai Timang, kembali ke pangkalan. Kini saatnya makan sore dengan hidangan istimewa, lobster besar segar pantai timang.

Hari masih sore, warung pak Sis belum begitu ramai. Barangkali para wisatawan masih menunggu datangnya sunset. Namun meja - meja sudah cukup banyak terisi.

Makan sore hampir malam di warung pak Sis saat itu adalah salah satu kulineran terenak yang pernah saya rasakan.

Memesan paket untuk berempat. Dengan menu 2 porsi lobster besar goreng, tempe segi tiga goreng, sayur kangkung, 2 cobek sambal dan satu cething nasi putih. Dilengkapi dengan sepoci teh tawar. Semuanya tersaji masih hangat, dengan bahan yang juga masih baru dan segar.

Saking enak dan nafsunya makan malam itu, kami tidak hanya berkeringat namun juga sampai keluar air mata kepedasan.

Hari itu 4 April 2018 adalah hari yang panjang, lengkap dan mendebarkan. Sarat dengan petualangan. Saya bahagia. Demikian juga saya lihat Totok, Wisjnu dan Jacky nampak enjoy dan marem.

Di warung pak Sis disediakan tembok memori. Setiap pengunjung boleh menuliskan apapun di situ. Saya yang didaulat untuk menuliskannya.

life is beautiful. Brigade 77. Mulyo,Totok, Wisnu, Jacky.  04 - 04 - 2018

Ya life is beautiful. Minimalnya kita mesti berpikiran seperti itu.

Hari ini begitu mengesankan. Life is really wonderful, beautiful.

Saat lepas maghrib, menunggang Avanza kami kembali ke Yogya. Hati gembira, berbunga.

Selamat Jalan Sahabat

Pertemuan terakhir saya dengan Totok adalah saat acara kembul bujono, makan enak di rumah mbak Suji Lestari teman seangkatan di Pakem. Bulan Juli 2022, usai reuni Akbar angkatan 77 seluruh fakultas di Bulak Sumur.

Saya datang agak telat. Karena olah raga dulu di Cangkringan.

Masuk ke pendapa, lebih dari 50 teman seangkatan sudah ramai menyanyi dan jejogetan di situ. Semuanya ber oblong biru. Juga Totok, yang terpaksa harus menanggalkan oblong putih kebesarannya,  demi solidaritas angkatan.

Saya lihat Totok sangat bersemangat, memukul ritmis tamborin kecil, alat musik yang berbunyi icrik - icrik.

Semua teman gembira dan semangat. Tapi saya lihat Totok yang paling bersemangat.

Sejak acara heboh dan makan enak di mbak Suji itu saya tidak pernah bersua lagi. Hanya saya ingat ucapan terakhir Totok, nanti datang ya di reunian emas, 5 tahun lagi

Sampai beberapa hari lalu, mendengar kabar Totok sakit dan dirawat. Teman - teman seangkatan berdoa, mengharap kesembuhannya.

Namun apa daya, realitas terkadang hadir tak seperti apa yang kita harapkan. Dirawat tak lama, Totok Sadwananto sahabat yang baik ini berpulang, mendahului kita.

Tercenung mendengar berita itu. Begitu cepat.

Ya itulah, tersadar kembali bahwa srlalu ada saat pertemuan, kebersamaan dan perpisahan yang terkadang terjadi tak terduga.

Mendoakan dan merelakan. Itulah barangkali yang terbaik bisa kita lakukan.

Selamat jalan Totok, teman yang baik. Semoga kedamaian selalu menyertai. Dan di tempat terbaik engkau kini bermukim.

Mikul duwur mendem jero, itulah wisdom para bijak yang layak kita amalkan terhadap para sahabat atau kerabat yang tlah berpulang.

25 orang dari 250 teman angkatan 1977 telah mendahului. Kita doakan untuk kedamaian dan kebaikan para Almarhum dan Almarhumah di alam keabadian.

Mikul duwur, mengenang dan menceritakan hal - hal yang baik saja. Dan mendem jero, menyimpan serta menutupi hal yang kurang atau buruk.

Bagi kita yang masih berselancar di sisa usia ini, tak perlu risau memikirkan dan berhitung, siapa giliran berikutnya. Juga tak perlu menebak, Siapa diantara kita teman satu angkatan yang bakal menjadi orang terakhir tutup usia.

Kematian itu pasti. Tak diharapkan segera datang, namun juga mesti bersiap diri dan ikhlas menerima saat panggilan datang.

Tugas kita kini mensyukuri dan menikmati apa yang ada. Samadya.

Itulah amalan terbaik yang layak dilakukan.

dokpri
dokpri

selesai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun