Karena ambisi dan kepercayaan diri nggege mongso mengincar tahta kekuasaan, persaingan diam diam antara Tejomantri dan Ismaya berubah menjadi perseteruan terbuka.
Tejomantri merasa anak tertua, karena tercipta dari kulit telor keras yang melindungi seluruh isinya. Yaitu putih dan kuning telor. Ismaya berpendapat berbeda, justru sejatinya putih dan kuning telor itulah  substansi yang lebih penting dari keberadaan sebutir telor. Kulit hanya sebagai wadah saja, bukan inti.
Manikmaya saudara ketiga hanya diam. Menyadari bahwa kesakitan kedua saudaranya itu lebih hebat dari dirinya. Tak mungkin mampu mengalahkannya. Lagipula ia melihat tak ada gunanya perdebatan itu. Karena siapa yang menentukan pewaris tahta itu menjadi hak mutlak Hyang Tunggal, ayah mereka.
Tapi bagi Tejomantri dan Ismaya ini masalah penting. Persoalan tentang hak dan kewajiban yang mesti dibuktikan, diperjuangkan.
Akhirnya mereka berdua setuju untuk mengadu kesaktian. Manikmaya ditunjuk menjadi saksi.
Mereka sepakat, barang siapa bisa menelan gunung yang menjulang dihadapan mereka kemudian memuntahkannya kembali, akan diakui sebagai yang lebih berhak mewarisi tahta kerajaan Suralaya diantara mereka bertiga.
Tejomantri maju yang pertama. Menghadap gunung mulutnya menganga menjadi sangat besar dan matanya melotot mengerikan.
Separuh gunung raksasa itu berhasil ditelan. Namun separuh sisanya masih berada diluar dirinya. Menghimpun semangat menggedor diri, mulut Tejomantri semakin melebar memaksakan diri menelan separuh gunung yang masih tersisa diluar. Namun tak juga berhasil. Mulutnya malah robek berdarah darah.
Akhirnya setelah berkutat habis habisan mengerahkan segenap kesaktian dan kekuatan tenaganya meleleh, gunung tak beranjak. Merasa tak mampu lagi meneruskan perjuangan, dengan sisa sisa tenaganya  Tejomantri memuntahkan kembali separo gunung yang tertelan keluar dari tenggorokannya.
Tejomantri jatuh tersungkur. Mulutnya berlumuran darah. Bibirnya menganga robek melebar mengerikan, teriris tubir batu gunung.
Tejomantri menangis tersedu sedu seperti anak kecil. Merasa kalah tak berdaya. Mawas diri menyadari betapa kecil dan picik dirinya dibanding keperkasaan semesta.