Mohon tunggu...
Gigih Mulyono
Gigih Mulyono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Musik

Wiraswasta. Intgr, mulygigih5635

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hembusan Angin Cemara Tujuh 73

2 Januari 2019   14:33 Diperbarui: 2 Januari 2019   14:37 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hembusan Angin Cemara Tujuh 73

Reunian itu menjadi bauran segala macam obrolan kenangan, kerinduan juga harapan ke depan. Ajang saling berbagi pengalaman masing masing yang beragam. Memiliki nilai pembelajaran yang berbeda beda.

Sutopo tercenung mendengarkan kisah kisah yang dialami teman temannya itu. Bermacam kisah yang disampaikan apa adanya, tanpa ditutupi tutupi. Barangkali terbawa suasana malam gunung Merapi, atau karena mereka memang sahabat akrab yang saling percaya. Yakin para sahabat itu sudah cukup bijak, bisa menyaring mana yang bisa diceritakan kepada orang lain, mana yang mesti tetap hanya menjadi pengetahuan mereka saja. Para pendaki itu bercerita tanpa Rem. Berbagi dan saling menguatkan.

Kisah kesuksesan, kesedihan, kebahagiaan, persahabatan, kecewa, pengkhianatan, persaingan saling sikut, sabotase, sampai kisah mistis di santet yang mereka alami diceritakan tanpa rasa khawatir di ketawai atau di bully.

Sutopo merasa dirinya picik, kerdil dan sekaligus tidak tahu diri. Hanya karena merasa yakin dirinya sangat mampu dan layak, namun tidak terpilih menjadi Direktur  membuat dirinya mutung, demotivasi dan merasa diperlakukan tidak adil. Banyak kisah pilu dan sarat ketidak Adilan dialami teman teman mereka. 

Namun kelihatannya dapat mereka menerimanya sebagai bagian dari pembelajaran hidup yang harus dijalani dengan tegar. Menjadi bagian dari variasi alamiah perjalanan hidup setiap Orang. Bahagia, sedih, kecewa, marah, putus asa, frustrasi, pesimis, optimis, dan juga rasa kebanggaan datang silih berganti. Yang terkadang datang, mampir pada waktu yang tak terduga.

Memang tidak ada yang menjanjikan kalau kehidupan bakal selalu gampang dan adil. Bahkan para Nabi pun menderita, tapi tetap terus Ikhlas dan tegar berjuang. Sutopo menjadi malu kepada dirinya sendiri.

Perbincangan reunian itu berlangsung sepanjang malam. Mereka baru tidur setelah Sholat Subuh. Saat Ayam Jago ramai berkokok menyambut semburat merah Sang Fajar di langit timur Kinahrejo.

Hari itu sebelum meninggalkan desa Kinah Rejo, mereka makan siang bersama. Mbah Maridjan ikut bergabung, tanpa rasa rendah diri atau unggul diri , berbaur dengan tamu tamunya yang memiliki pendidikan formal jauh lebih tinggi darinya. Sejatinya Mbah Maridjan itu memiliki jenjang pendidikan kehidupan nyata lebih tinggi dibanding mereka.

Entah ini pertanda apa, tidak seperti kebiasaannya yang lebih banyak diam dan mendengarkan, siang itu Mbah Maridjan banyak bercerita. Bahkan menasihati. Seolah siang ini menjadi momen pamitan. Perpisahan dari sang Legenda Merapi ini kepada para pendaki pendaki yang pernah menerima kebaikannya. 

Puluhan ribu pendaki pernah menginap di rumah mbah Maridjan sebelum melakukan pendakian mereka ke puncak Merapi. Banyak yang sukses namun ada juga yang gagal sampai ke tujuan. Siang itu seolah mbah Maridjan mewartakan waktu yang tidak lama lagi bagi dirinya untuk pergi.

Mbah Maridjan menjabat erat erat masing masing tamunya ketika mereka berpamitan. Ekspresi wajah sepuh itu terasa sayu. Namun dari telapak tangannya memancar, menyalurkan energi optimisme bagi yang dijabatnya.

" matur nuwun mbah " mereka berjabat tangan satu persatu, dengan tubuh sedikit membungkuk, gestur penghormatan. Bagi yang mengenalnya, mbah Maridjan adalah sosok dan monumen kebaikan, welas asih, optimisme dan juga keberanian.

Sebelum bubaran dengan kendaraan masing masing, seorang teman yang kawin muda saat masih Mahasiswa di awal tahun , mengumumkan kalau anaknya yang pertama akan mengikuti Wisuda Sarjana minggu depan di Bulak Sumur. Minta teman temannya mendoakan. Pengumuman itu membuat Sutopo tergugah, teringat kembali momen Wisudanya belasan tahun silam.

Siang itu dari desa Kinahrejo Sutopo langsung ke Bandara Adi Sutjipto untuk kembali ke Jakarta. Batal memberi surprise kepada sahabat karibnya Sumitro, pak Dosen fakultas Ekonomi UGM. Sebelumnya Topo merencanakan ingin memberi kejutan. Tiba tiba akan muncul di rumah sahabatnya itu tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Namun tiba tiba saja krenteg hatinya ingin segera kembali ke Jakarta. Seolah ada sesuatu yang ingin harus segera ditebus.

Lamunan panjang Sutopo buyar ketika ada yang mengetuk pintu ruangannya. Staf nya masuk membawa konsep pekerjaan yang harus segera dirampungkan.

Pagi itu Sutopo berangkat ke kantor dengan penuh gairah dan optimisme. Gairah untuk menyongsong sesuatu. Setiap hari sebenarnya merupakan kesempatan setiap orang untuk berkontribusi, memberikan manfaat kepada orang lain, sekecil apapun itu. Syukur syukur dapat memberikan Adi karya, master piece terbaik bagi liyan dan lingkungan. Selayaknya setiap matahari terbit dan hari baru yang datang datangnya perlu disambut dengan semangat dan optimisme.

                 Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun