Mohon tunggu...
Mulya Sari Siregar
Mulya Sari Siregar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa PKN STAN

Mahasiswa DIV Manajemen Keuangan Negara

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Faktur Pajak TBTS: Lubang Hitam Perpajakan

16 Januari 2024   11:09 Diperbarui: 17 Januari 2024   15:04 1092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Faktur pajak adalah dokumen yang wajib diterbitkan oleh pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan transaksi barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) kepada pembeli atau penerima jasa. Faktur pajak berfungsi sebagai bukti pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang harus disetorkan ke kas negara oleh PKP penjual atau dibayar oleh PKP pembeli.

Namun, faktur pajak juga bisa menjadi sarana untuk melakukan penghindaran pajak oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Salah satu modus yang sering digunakan adalah dengan menerbitkan atau menggunakan faktur pajak TBTS. Berdasarkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 132/PJ/2018, faktur pajak tidak berdasarkan transaksi sebenarnya (TBTS) adalah faktur pajak yang terbit tidak berdasarkan transaksi sebenarnya atau faktur pajak yang diterbitkan oleh pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Tujuan dari praktik ini adalah untuk memperoleh pengembalian pajak (restitusi) atau mengurangi pajak keluaran yang harus dibayar dengan cara mengkreditkan pajak masukan dari faktur pajak TBTS tersebut.

Dampak dari faktur pajak TBTS sangat merugikan bagi negara dan pelaku usaha yang taat pajak. Bagi negara, faktur pajak TBTS menyebabkan PPN yang dipungut PKP penjual atau telah dibayar oleh PKP pembeli tidak disetorkan ke kas negara. Akibatnya, akan ada penerimaan negara yang berkurang dan potensi kerugian negara yang besar. Sedangkan untuk pelaku usaha yang taat pajak, faktur pajak TBTS menimbulkan ketidakadilan dan persaingan tidak sehat. PKP yang menggunakan faktur pajak TBTS dapat menurunkan harga jual produk atau jasa mereka karena beban pajak yang lebih rendah. Hal ini akan merugikan PKP yang menggunakan faktur pajak yang sah karena mereka harus membayar pajak sesuai ketentuan. Selain itu, PKP yang menerima faktur pajak TBTS juga berisiko mendapatkan sanksi administrasi dan pidana jika terbukti bersalah.

Dalam hal mencegah terjadinya faktur pajak TBTS, DJP mengeluarkan layanan e-Nofa. E-Nofa merupakan sebuah sistem atau aplikasi baru penomoran Faktur Pajak. Keberadaan e-Nova ini diharapkan mampu mencegah penggunaan Faktur pajak TBTS. Penerapan e-Nova sendiri didasari pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 24/PJ/2012 tentang bentuk, ukuran, tata cara pengisian, keterangan prosedur, pemberitahuan dalam rangka pembuatan, tata cara pembetulan dan penggantian, tata cara pembatalan faktur pajak.  Untuk lebih meminimalisir terjadinya modus faktur pajak TBTS, DJP menerbitkan Surat Edaran DJP Nomor 132/PJ/2018 tentang Pencegahan dan Penanganan Faktur Pajak yang Tidak Sah yang berisi pedoman bagi PKP untuk mengenali ciri-ciri faktur pajak TBTS dan langkah-langkah yang harus dilakukan jika mendapatkannya.  

Di sisi lain, untuk menyelesaikan kasus ini, Direktorat Jenderal Pajak telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan yang mengatur sanksi pidana yang lebih berat bagi pelaku faktur pajak TBTS, yaitu denda sebesar empat kali jumlah pajak dalam faktur pajak TBTS dan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), sanksi pidana bagi Wajib Pajak yang membuat dan menjual faktur pajak TBTS adalah penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 6 tahun.

Berdasarkan Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sebelum tahun 2020, rata-rata kasus faktur pajak TBTS mencapai ratusan bahkan ribuan tiap tahunnya. Setelah dikeluarkannya peraturan terbaru dan pengoptimalan penggunaan e-Nofa, kasus faktur pajak TBTS mengalami penurunan drastis. Hal ini dibuktikan dengan hanya terdapat 40 kasus pada tahun 2020, 41 kasus pada tahun 2021, dan 27 kasus pada tahun 2022.

Dengan adanya aturan dan kebijakan tersebut, diharapkan faktur pajak TBTS dapat terus diminimalisir dan penerimaan negara dari sektor perpajakan dapat dioptimalkan. Selain itu, diharapkan juga kesadaran dan kepatuhan pajak masyarakat dapat meningkat dan tercipta iklim usaha yang kondusif dan berkeadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun