Â
Sudut pandang yang salah terhadap kedudukan buruh mengantarkan pada retaknya kemitraan dalam hubungan industrial. Sejatinya, industri atau perusahaan merupakan sinergi dari tiga elemen (pembentuknya), yaitu pengusaha, menajemen, dan buruh. Mereka adalah satu kesatuan yang terpisah dan mempunyai motivasi yang berbeda, namun kehilangan salah satu dari tiga hal itu berdampak pada macetnya aktivitas industri.
Â
Amanat HIP dalam sila kedua, mengembangkan pemahaman bahwa buruh dan pengusaha merupakan mitra atau teman seperjuangan dalam proses produksi. Sehingga dari sini, kedudukan diantara mereka adalah sederajat dalam rangka menyejahterakan dan menaikkan produksi. Sikap mental untuk saling menghormati dan saling mengerti kedudukan serta peranannya, saling memahami hak dan kewajibannya dalam keseluruhan proses produksi merupakan gerbang utama menuju keharmonisan hubungan industri.
Â
Namun, pada prosesnya, buruh selalu menjadi korban eksploitasi pengusaha atau capital (pemilik modal). Fakta seperti ini telah menjadi asumsi bahwa para buruh merupakan pihak yang dianggap sangat lemah dan memiliki kedudukan di bawah pengusaha sehingga tidak mendapatkan porsi yang berarti dalam pengambilan keputusan perusahaan. Dengan adanya hegemoni dan maraknya kapitalisme menyebabkan kaum buruh tertindas dan tak ada kesempatan (keberanian?) dalam menyuarakan cita-citanya untuk memperoleh perlakuan yang layak, sebagaimana hubungan industri yang diidealkan Pancasila dan UUD 1945.
Â
Tentunya buruh memiliki kekuatan untuk mengatasi permasalahan perlindungan kerja di tempatnya, namun secara individual buruh tidak mampu memperjuangkan hak-haknya melawan kekuatan antara kapital dan menajemen yang memiliki kekuasaan, uang dan pengaruh.[1] Pencapaian perseorangan telah disadari tidak membawa hasil yang signifikan dalam menekan pengusaha dan hanya melalui usaha mengorganisir dirinya secara kolektif mereka dapat secara efektif menjunjung tinggi martabatnya sebagai individu dan buruh.
Â
Serikat Buruh : lebih dari sekedar asosiasi profesi.
Â