“Man, mau ga bantu saya suatu saat nanti agar saya punya sanggar seni? Saya punya mimpir sih punya sanggar seni, apalagi seni tradisi”
Itulah perkataan yang dilontarkan Kang Iwan pada saya kira-kira 10 tahun kebelakang. Mimpi yang teramat sederhana baginya. Karena waktu itu saya dan dia satu visi, saya pun nurut saja apa keinginannya. Maklum, meski kami terpaut beda 5 tahun, tetapi kami punya tujuan yang sama, ingin memajukan seni tradisi.
Awalnya, kami mendirikan sebuah kelompok seni. Namanya Menara OZA. Nama “Menara” mengacu pada sebuah bangunan yang harus kami susuri. Bisa dibilang nama “Menara” adalah representasi kami terhadap mimpi. Sementara OZA kami ambil dari “oryza sativa” yang berarti padi.
Sederhannya, kami ingin menjadi kelompok seni yang punya mimpi setinggi menara tapi tetap merunduk seperti padi ketika sampai di puncaknya.
Waktu itu, kami bukanlah kelompok seni yang aktif. Tapi kami cukup produktif dalam kegiatan seni seperti teater, tari, dan seni lainnya.
Beberapa tahun kemudian, Menara OZA mengalami perubahan. Kami mengubah konsep kelompok ini menjadi sebuah pusat kesenian. Sesuatu yang disampaikan Kang Iwan kepada saya kalau kelompok Menara OZA harus berubah.
Saya sebenarnya tidak terlalu berharap akan terjun di dunia seni. Tetapi, saya tidak bisa mengelak dari kenyataan kalau saya juga memang suka dunia seni meski saya sering berada di belakang panggung. Itulah saya, Hilman Mulya Nugraha, pria yang menulis tulisan ini.
Sementara, teman saya, Kang Iwan (Lengkapnya Iwan Setiawan), adalah seorang guru seni di salah satu sekolah negeri di Bandung.
Kami berdua merumuskan perubahan Menara OZA untuk bukan hanya sebagai kelompok semata tetapi menjadi sebuah kelompok yang lebih bermanfaat kepada masyrarakat. Maklum, saat itu kami memang lebih banyak ngumpul layaknya kelompok bermain.
Tahun 2012, kami pun mengubah Menara OZA menjadi “Taman Ilmu Menara Oza”. Waktu itu, kami membuka juga kelompok belajar untuk anak-anak kecil di sekitar sanggar kami berada.