Mohon tunggu...
mulyanto
mulyanto Mohon Tunggu... Administrasi - belajar sepanjang hayat

Saya anak petani dan saya bangga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membentengi Pendidikan Kita yang Pornografi

21 Februari 2017   11:18 Diperbarui: 24 Maret 2017   21:21 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Miris. Wajah pendidikan nasional diludahi lagi. Kini oleh oknum kepala sekolah SD Negeri di Makassar, namanya HWS, perempuan sang “pengunggah foto bugil” di sosial media. Dia menghebohkan grup WhatsApp (WA) ‘SD 1 Revolusi Pendidikan’ yang beranggotakan 300 guru di Makassar dengan foto yang sedang memamerkan isi banju barang sensitifnya bagian depan tanpa sensor, Kamis, 16 Februari 2017. (Dilansir makassartoday.com, Senin, 20 Februari 2017).

Dalam foto itu, HWS ini tampak menyingkap bajunya hingga barang sensitifnya itu kelihatan jelas. Tidak hanya itu, terlihat pula tangan seorang lelaki –belakangan diakui itu tangan suaminya sendiri– yang memegang barang sensitif milik HWS di dalam mobil. HWS akhirnya mengakui jika foto syur yang viral itu benar adalah miliknya.

Hal itu disampaikan HWS saat menggelar konferensi pers di Cafe Pelangi Jalan Botolempangan Makassar, selang tiga hari, Minggu, 19 Februari 2017. Lama sekali yang mau mengklarifikasinya, ada apa gerangan? Pengakuannya foto itu hendak dikirim ke dokter pribadinya (perempuan) untuk mengonsultasikan sebuah penyakit yang ada tepat di bagian barang sensitif itu. Alangkah kacaunya saat mengetahui foto bugil itu tidak terkirim ke dokternya tetapi dia “selundupkan” sendiri ke publik yaitu grup WA lembaga terhormat: Pendidikan. Yang bersangkutan mengakui khilaf kala konfrensi pers, tetapi nasi sudah basi.

Hemat saya ada dua hikmah dari peristiwa itu. Pertama era serbacanggih ini harus ekstra hati-hati dalam bertutur dan bertindak tanduk. Pikir masak-masak dan pikir ulang apa yang hendak diucap dan ditindaki. Jangan-jangan menyakiti diri sendir atau orang lain, jangan-jangan lebih banyak mudaratnya daripada faedahnya, dan sebagainya. Kedua, peristiwa ini adalah cambuk bagi pelaku dunia pendidikan, kadangkala kita bukan berusaha keras menata diri untuk membenahi penyakit kronis tuna moral pada pendidikan di tanah air, pun dengan persoalan lain yang carut-marut. Kita terkadang lebih banyak membesarkan kepala dan nafsu dalam menyikapi sesuatu, bukan berusaha membesarkan hati untuk merengkuh semua yang enak dan yang tidak enak dalam hidup ini.

Mari kembali pada makna pendidikan hakiki. Kata bapak pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Hakekat untuk membesarkan hati bukan? Bahkan Ki Hajar mengistilahkan sekolah sebagai taman, taman untuk menuai kesenangan hati dan pengisian nutrisi badan dan otak. Lalu sampai di mana peran pelaku pendidikan kita kini? Jika peristiwa HWS.

Konsep spiritualitas ihsani harus hadir dalam diri pelaku pendidikan kita untuk mewujudkan tatanan sosial yang sejuk dan beradab. Langit pendidikan kita sudah tercemar, penuh bising, dan tak lagi ramah. Maka pendidikan Islam sangat mendesak untuk diberikan sejak dini, keluargalah yang paling bertanggungjawab. Sebab, pendidikan Islam yang komplet mengajarkan ilmu kerangka dan konsep, prinsip, fakta serta teori yang mengarahkan kegiatan pembinaan pribadi anak dengan sengaja dan sadar dilakukan oleh seorang pendidik untuk membina pribadi muslim yang taqwa.

Pendidikan Islam akan mengantarkan para pendidik dalam membina generasi penerus yang mandiri, cerdas, dan berkarakter kepribadian sempurna (sehat hati sehat badan) serta bertanggungjawab dalam menjalani hidupnya sebagai hamba Allah, makhluk individu, dan sosial menuju terbentuknya tatanan masayarakat Islam. Singkatnya, kesadaran berislam adalah karena semangat ihsani: merasa melihat atau dilihat Allah Tuhan Yang Maha Kuasa di manapun dan kapanpun. “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu akan diminta pertanggungjawabannya,” (Al-Isra: 36).

HWS adalah kecelakaan dahsyat, kita jangan bodoh menirunya, bukan menata lembaga yang dipimpinnya malah nambah koleksi foto viral tidak senonoh di jagad maya atau hal lain yang tidak etis. Fenomena gunung es memang tidak bisa dipungkiri tengah mendera semua bidang pekerjaan di dunia ini. Selain pendidikan mungkin saja dunia ekonomi, hukum, peradilan, politik, dan lain-lain paraha ini mendera. Masih ingat anggota DPR yang nonton film dewasa saat sidang paripurna memabahas soal kesejahteraan rakyat? Masih ingat oknum anggota dewan yang bercumbu di lift, dan lain-lain, apalagi yang masih ingat?

Di dunia pendidikan kita, selain HWS barangkali masih banyak oknum guru, dosen, bahkan kepala sekolah maupun rektor tengah memadu kasih dengan yang tidak halal di luar sana. Siapa tahu Hanya Tuhan yang maha tahu. Kita hanya perlu mengambil hikmah dari setiap peristiwa, lebih bijak mengambil hikmah peristiwa buruk dari yang sudah dialami orang lain jangan mengalami sendiri hal yang merugikan seperti ini. Semoga berguna.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun