Mohon tunggu...
mulyanto
mulyanto Mohon Tunggu... Administrasi - belajar sepanjang hayat

Saya anak petani dan saya bangga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menyelisik Islam Berkemajuannya Muhammadiyah

25 April 2016   09:20 Diperbarui: 2 Januari 2018   06:49 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: bio.or.id"]Pagi itu matahari belum terbit saat KH Ahmad Dahlan telah berdandan rapi. Dengan yakin dia keluar rumah berjalan menembus dingin udara pagi menuju Stasiun Tugu Yogyakarta. Dari stasiun itu, Kyai Dahlan hendak melakukan perjalanan ke Kota Magelang, Jawa Tengah. Sesampaianya di Magelang ia bergegas menuju sebuah sekolah.

Saat memasuki halaman Hoofden School Magelang, sekolah yang dituju itu, Kyai Dahlan merasakan udara dingin yang berhembus pelan. Pohon-pohon beringin di halaman sedikit bergoyang, daun-daun terpelanting dari rantingnya. Sementara Kyai Dahlan menikmati udara pagi, di halaman sekolah milik Belanda itu anak-anak pelajar sedang asyik belajar, diskusi atau sekedar bercanda gurau bersama teman-temannya di bawah pepohonan nan rindang. Pemandangan itu benar-benar menambah nuansa asri. Nampaknya, suasana pagi itu memang begitu berbeda dari biasanya.

Ya, di pagi yang sejuk itu akan menjadi titik awal, momentum sejarah baru bagi murid-murid  di sekolah OSVIA Magelang atau sekolah yang mulanya bernama Hoofden School (sekolah para pemimpin). Sekolah itu merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-anak priyai.

Kenapa hari itu agak berbeda? Karena, pada hari itu akan ada guru sekaligus pelajaran baru yang akan diajarkan. Guru itu tidak lain adalah pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan. Sedangkan pelajaran baru itu adalah Pendidikan Agama Islam.

KH Ahmad Dahlan sejenak berdiri di bibir pintu kelas. Ia menunggu staf pengajar yang menjelaskan pada murid di muka kelas, bahwa hendak ada guru dan pelajaran baru di sekolah tersebut. Setelah selesai, staf tadi menyilakan Kyai Dahlan untuk memulai mengajar.

Kyai Dahlan melangkah ke depan kelas dengan yakin. Sebelum membalikkan badannya yang berbalut pakaian adat Jawa. Tak biasanya, Kyai Dahlan berbusana seperti itu, karena keseharian dia menggunakan jubah, sebagaimana lumrah dikenakan para Kyai Jawa. ”Bismillahirrahmanirrahim,” gumam Kyai Dahlan lirih lantas berbalik badan menghadap siswa.

Kyai Dahlan memulai pelajaran dengan mengucap salam pada murid anak priyai. ”Assala-mualaikum warahmatullahi wabarokatuh”. Suasana hening, tak ada suara yang menjawab salam, bahkan saat itu jika ada semut berbisik masih akan terdengar. Pasangan mata murid hanya terpaku pada seonggok tubuh Kyai Dahlan. Sejurus kemudian, salam itu dilontarkan kem-bali oleh Kyai Dahlan. Kali ini bukan jawaban sopan yang diberi. Malah bunyi kentut cukup keras yang dilemparkan salah satu siswa hampir bersamaan dengan salam tadi. Sontak seisi ruangan gaduh, seraya bunyi mengkikil mulut anak-anak tertawa setengah lepas. Menyaksikan itu, staf guru yang mem-perkenalkan Kyai Dahlan tadi meme-rintahkan anak-anak untuk diam. Dan para siswa pun diam.

Kemudian Kyai Dahlan memaklumi, lantas ia meminta dengan nada menyinggung, barangkali ada murid lain yang ingin berkentut. Kyai Dahlan memang piawai dalam mengajar. Ia tahu setelah menawarkan, dengan menunjuk-nunjuk murid yang gaduh tadi maka tak akan ada lagi yang kurang sopan. Karenanya, ia lantas menjelaskan, pentingnya ada saluran pembuangan. ”Bersyukurlah orang yang bisa kentut, karena jika kita tidak bisa kentut. Maka perut kita akan buncit, seperti Menir Hoof Inspektur,” ucapnya sembari menunjuk ke arah Menir kemudian disambut tawa riuh siswa.

”Sebaiknya, sehabis kentut kita mengucapkan alhamdulillahirrobbil ‘alamin. Syukur kepada Allah yang telah menciptakan lubang di bagian pembuangan tubuh kita,” imbuh Kyai Dahlan dan murid pun nampaknya terhanyut dalam penjelasan Kyai ini.

Dia melanjutkan, ”bayangkan, kalau kita tidak punya saluran pembuangan mau dikemanakan setiap hari kita makan. Bayangkan setiap hari diisi, suuut… suuuut,” Kyai Dahlan memeragakan memompa perut.

”Dan tanpa adanya lubang, maka perut yang tadi disi setiap hari kemudian akan meletus, doooooo-ooooor….,” lantang suara Kyai Dahlan sontak menga-getkan murid-murid. Mereka semakin terhanyut dalam penjelasan sang Kyai. ”Tapi..., tapi Tuhan sayang pada kita. Tuhan ciptakan saluran pembuangan. Supaya kita bisa makan dengan enak, minum yang banyak dan kemudian bisa dibuang lewat saluran pembuangan itu. Maka untuk membalas kasih sayang Tuhan itu, kita sepatutnya mengucapkan…?” pancing Kyai. Murid menjawab, ”alhamdulillah,” ucap mereka. Lalu Kyai Dahlan menyempurnakan lafal anak-anak dengan berkata, “Alhamdulillahirrobbil ‘alamin.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun