Cinta orangtua pada anak kadang memang melebihi luasnya langit dan bumi, dalamnya pun tak terhingga. Sehingga semua diserahkan kepada anak. Minta uang, HP/gadget baru diberi, makan ini itu diberi, main ini itu di-yahyoh, bergaul dengan siapapun silahkan. Bukan itu. Tapi sayang orangtua pada anak bijaknya adalah soal sejauh mana kita orangtua menjadi pendidik pertama dan utama pada permata hati kita.
Orangtua bijak adalah mereka yang meluangkan ruang dan waktu yang cukup dalam mendidik anak, orangtua yang senantiasa sepenuh hati memperhatikan pola pengasuhan terbaik untuk anak. Bukan semuanya dibolehkan, tapi difilter. Ini boleh itu tidak, ini iya itu jangan, dan sebagainya. Begitu pula pada masalah mutakhir: anak -kecanduan- bermain game. Terutama game PS, game online, dan game lain yang berakibat fatal pada tumbuh kembang mental anak.
Koordinator Bimbingan Konseling SD Muhammadiyah 4 Surabaya Dian Setia P., M.Psi Psikolog menghimbau, agar orangtua sejak dini jangan mengenalkan game online pada anak. Tapi kenalkan game edukasi yang ada di sekeliling kita yang dapat memicu motorik anak tumbuh dengan baik. Tia, begitu dia disapa, mengatakan anti virus yang paling dasar bagi anak adalah jangan kenalakan game di gadget atau game online. Tetapi, ibu dua anak ini menyarankan orangtua dapat megenalkan permainan edukatif seperti kertas yang bisa dibentuk beraneka ragam, plastisin, lego, mobil-mobilan, boneka, dll. "Ini dapat melatih motorik halus pada anak," tegas Tia.
Namun bila anak sudah terlanjur mengenal bahkan kecanduan game online. Maka tindakan orangtua adalah menyempitkan peluang anak untuk bermain game online atau kalau dibolehkan bermain dengan pengawasan orangtua. Penyempitan peluang main game dapat dengan cara pengalihan kegiatan. Misalnya berolahraga, bersepeda di lingkungan rumah, berwisata ke taman edukasi, ke perpus, bersilaturahmi ke rumah saudara, dan aktivitas positif lainnya.
Orangtua harus tergas dalam mendidik anak. Penelitian psikolog sudah banyak mengungkap, anak kecanduan game online banyak keburukannya, mental tidak stabil, dan sisi humanismenya lemah, dan yang lebih jauh lagi, anak akan cenderung mempraktikkan game yang dimainan: menendang, memukul, mendorong, bahkan melakukan free sex. Naudzubillah.
Ust. Tia mengatakan untuk membendung kecanduan anak pada game online, orangtua dan anak perlu kesepakatan. "Boleh mainan game saat liburan sekolah atau saat Sabtu dan Minggu. Tapi di waktu yang lain harus belajar," tukasnya. Jangan sekedar atau asal membolehkan bermain game, orangtua perlu menyuguhkan menu game edukatif pada anak.
Untuk diketahui, Kemendikbud RI telah merilis 15 game berbahaya yang dapat memicu kekerasan atau merusak mental anak. Pemerintah merujuk pada hasil penelitian Iowa State University Amerika Serikat. Dijelaskan, game-game itu ketika dimainkan selama 20 menit saja dapat "mematikan rasa" anak. Adapun 15 game berbahaya tersebut yaitu: 1. World of Warcraft; 2. Call of Duty; 3. Point Blank; 4. Cross Fire; 5. War Rock; 6. Counter Strike; 7. Mortal Kombat; 8. Future Cop; 9. Carmageddon; 10. Shelshock; 11. Raising Force; 12. Atlantica; 13. Conflict Vietnam; 14. Grand Theft Auto; dan 15. Bully. (Republika, 18 April 2016).
Orangtua pun Harus Belajar jadi Orangtua
Orangtua sebisa mungkin harus mencipta rumah laksana surga. Rumah yang bukan hanya luas atau mewah semata, tetapi nyaman dan menyenangkan seluruh penghuni. Ayah Ibu harus mencari cara supaya rumah benar-benar menyejukkan keluarga, agar seisi rumah terutama anak dapat hidup bahagia. Sehingga anak tidak terhambat dalam menapaki kehidupan dan meraih cita-citanya kelak.
Syarat agar rumah menjadi surga kecil keluarga cukup sederhana. Jalannya tidak terjal, ongkosnya pun tidak mahal. Ayah dan ibu hanya perlu bersinergi dan saling nasehat menasehati dalam kebaikan dan kesabaran. Ayah ibu harus menjadi figur panutan atau suri tauladan dalam keluarga. Dalam hal ibadahnya, kejujurannya, ketertibannya, tepat waktunya, kebersihannya, tanggungjawabnya, empatinya, bersosialnya, santun, ramah, dan lain sebagainya.
Ayah ibu harus selalu sehat badan dan hati dalam keseharian. Jangan pernah berseteru di hadapan anak apalagi menjadikan anak objek kekerasan. Anak harus melihat kedua orangtuanya sumringah setiap saat. Karena hal itu yang memacu semangat anak untuk berkarya dan berprestasi gemilang. Anak cenderung merasa aman berada di lingkungan keluarga harmanis. Sementara perseteruan/kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya dapat merusak fisik tetapi jiwa. Selain si korban, yang meyaksikan kekerasan acap kali mentalnya tidak nyaman.