Mohon tunggu...
mulyanto
mulyanto Mohon Tunggu... Administrasi - belajar sepanjang hayat

Saya anak petani dan saya bangga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pesan Bapak Sebelum Cerai

1 Desember 2020   14:26 Diperbarui: 1 Desember 2020   15:20 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jongben sering tengkar dengan Srinti, istrinya. Sebenarnya hanya selisih paham tapi kadang berujung cekcok kecil lalu tengkar kecil lalu agak besar. Kedua belah pihak saling dongkol lalu musuhan dan esok lusa pasti baikan. Tapi hal ini sering.

Dan, kali ini terulang lagi. Maka dengan perasaan berat akhirnya Jongben mengadu kepada Bapaknya.

"Istriku sering ngambek sama aku, Pak. Kadang yang dingambeki tak masuk akal. Aku harus gimana?" cerita Jongben saat sowan ke rumah Bapaknya, selepas mahgrib.

"Sabar, Ben." Kata si Bapak singkat.

"Sudah biasa kusabari, Pak. Tapi tak mempan."

"Iya sabar aja."

"Aku bingung Pak. Srinti suka sekali ngambek. Masalah sedikit saja ngambek. Masalah remeh saja aku dimusuhi."

"Iya sabar aja dulu Ben."

"Aku kerja dia marah. Aku nggak kerja dia marah. Padahal jelas-jelas mana ada aku main serong sama wanita lain, Pak."

"Iya sabari aja, Ben."

"Masak hanya karena aku rapat RT dia marah. Nggak masuk akal. Aku loh terbuka. Aku demokratis. Dia loh tahu semua tentang aku. HPku dia sudah biasa buka-buka. Aku nggak ada main serong, Pak. Suwerrrr,"

"Kamu harus sabar, Ben."

"Dia maunya sendiri, Pak. Heran aku. Aku sudah sabar dan ngertiin dia. Aku bantu momong anak. Bantu korah-korah. Bantu nyuci baju, nyapu, ngepel, dan masih banyak lagi. La kok dia nggak mikir jauh ke sana ya. Kupikir dia kurang syukurnya, Pak. Kurang ikhlas gitu. Kurang sabar."

"Kamu yang sabar, Ben."

"Aku jemput telat ke kantornya dia marah. Padahal aku telat kan ada alasan penting. Kerjaan kantor, juga kadang macet. Kok dia mandang aku seperti musuh saja. Aku harus gimana, Pak?"

"Iya sabari aja dulu, Ben."

"Dia maunya menang sendiri, Pak. Heran aku. Soal uang belanja sudah bukan masalah. La wong gajiku semua-muanya langsung masuk ke dia. Capek aku, Pak. Kadang aku mikir lebih baik aku pergi aja."

"Sabar, Ben,"

"Bapak punya dua pisau nggak?

"Eh... Sabar, Ben."

"Bapak punya nggak?"

"Kamu mau bunuh istrimu?"

"Tidak. Mau ngajak duel aja sama Bapak."

"Aih. Mulutmu, Ben."

"Abisnya Bapak hanya sabar-sabar aja dari tadi."

"La iya memang wajib sabar Ben. Kamu maunya apa selain sabar, heh?"

"Cerai aja, Pak?"

"Astahgfirullohal adziiim ya Allah. Kamu mau ceraikan istrimu, Ben?"

"Karena dia begitu pak. Nyebelin."

"Kamu sabar, Ben. Kamu harus kuat. Harus kontrol hatimu. Kendalikan lahir batinmu. Jangan main-main dengan kata laknat itu. Sabar. Tak bunuh aja kamu."

Jongben tertunduk dan mengkerut.

"Anakmu dua sedang butuh cinta sayangmu. Istrimu baik. Allah memberimu anugerah luar biasa dalam hidup kalian. Punya rumah mobil dan sandang pangan tak kurang-kurang. Kamu jangan macam-macam dengan karunia Allah ini."

Bapak menghela nafas sejenak. Jongben tertunduk.

"Kamu harus memproduksi kesabaran yang melimpah. Didik dirimu jadi orang sabar. Besarkan hatimu agar nampung sesuatu yang nyaman dan tak nyaman dalam hidupmu. Jangan besarkan kepala yang hanya mau nerima enaknya saja. Keluargamu adalah tanggungjawabmu. 

"Kalau rumah tanggamu oleng kamu yang salah. Kamu nahkoda gagal. Kalau bahteramu tenggelam kamu yang masuk neraka. Kamu harus berjiwa besar. Jangan macam-macam. Jangan sebut-sebut cerai lagi. Pikirkan masa depan anakmu. Dia harus punya masa depan gemilang melebihi kamu. Ingat. Mereka jangan terlantar hanya karena kamu diambeki istrimu. Mereka jangan masuk neraka hanya karena kamu lalai mendidik mereka. Pikir anak-anakmu. Jangan korbankan mereka. 

"Keluargamu harus utuh kecuali Allah memisahkan kalian. Baru 5 tahun berumah tangga saja kok sudah mengeluh kok sudah patah semangat. Bapak yang sudah 30 tahun lebih menikah ini masih dicintai Ibumu tak karu-karuan, Jongben. Kamu harus punya cara yang jitu agar istrimu terus mencintaimu tanpa ngambek. Dulu aja kamu bisa meraih hatinya sampai kamu punya anak kan. 

"Wes yang semangat. Jangan layu. Malu sama semut yang siang malam semangat. Malu sama nyamuk yang tak lelah ngisap darah. Wes. Maaf-memaafkan sama istrimu. Jangan bosan. Jangan cemen. Mohon pertolongan Allah."

Jongben menunduk. Bapak menepuk punggungnya cukup keras. Ben kaget.

"Duh Bapak?"

"Jangan diem. Kamu sanggup nggak?"

"InsyaAllah, Pak."

"Yasudah pulang sana. Besarkan hatimu. Maafkan istrimu. Ceraikan kalau dia selingkuh atau menyembah selain Allah."

---
Semoga bermanfaat.

Griya Amerta, 30/11/2020

Cerpen oleh Mulyanto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun