Ada sebuah kisah semoga menggugah kita. Seorang bapak petinggi lembaga di kota besar, pernah mengucapkan janji pada anaknya yang usia 7 tahun, SD kelas 2. Si bapak mengatakan, jika anaknya hafal al Quran surat 'Abasa --salah satu bagian Juz Amma yang cukup panjang: 42 ayat-- maka bapaknya akan membelikan iPad. Tidak menunggu 3 hari, si bocah SD ini hafal surat 'Abasa itu.
Dan si bapak benar saja, ia lantas membelikannya iPad keluaran terbaru, harganya mahal. Untuk hafalan berikutnya juga sama harus dulu diiming-imingi hadiah barang (materi). Benar saja, makin banyak hafal juga banyak hadiah.
Sementara di pelosok dusun, ada pak tani mendorong anaknya yang juga berusia belia kelas 2 SD untuk menghafalkan surat-surat al Quran di Juz 30 atau Juz Amma. Si pak tani hanya memotivasi buah hatinya itu, bahwa orang yang hafal al Quran akan menjadi manusia beruntung dikemudian hari. Sedang yang abai pasti amat rugi.
Maka perlu sedikit bersabar, menunggu 1 tahun, barulah juz 30 dikuasai si anak. Si pak tani itu lantas mengucap hamdalah, penuh sukur. Didekaplah si anak penghafal juz 30 ini, dicium kening dan kepalanya beberapa kali lalu memanjatkan doa kepada Allah supaya dijaga hafalnnya, dipelihara qolbunya, sehat lahir batin, banyak rejeki, dan berguna serta menjadi orang sukses di masa depan. Anak petanipun semringah, pipinya merona. Ia berniat menghafal lagi, kali ini juz 29, bahkan hingga hafal alQuran. Bismillah.
---
Dua kisah tersebut tentu menyelipkan hikmah. Kasus pak pejabat menggelontorkan hadiah materi pada anaknya hanya akan melatih anak bersifat matrealistis meski realistis --ada karya ada hadiah. Tetapi tetap saja, yang demikian termasuk tercela. Menurut pandangan pakar parenting Neno Warisman bahwa pencapaian kualitas keagamaan (iman, taqwa, dan akhlaq) tidak boleh dicampuradukkan dengan urusan material (harta bendaan). Menghafal lalu dihadiahi smartphone terbaru, iPad, HP dll; berpuasa penuh dikado baju baru, game canggih, dll itu tidak tepat.
Yang tepat, menurut Neno, apabila pencapaian kualitas keagamaan anak dibalas dengan yang juga berhubungan dengan keagamaan, didoakan lebih tepatnya, sebagaimana yang dilakukan pak tani pada cerita tadi. Dia mencontohkan, anak pandai mengaji maka didoakan supaya ngajinya membawa kebaikan bagi si anak. Kalau mau diberi hadiah berilah dengan niat yang lain. Misalnya, saat orangtua mendapat rejeki makanya ayah/ibu berbagi kepada si anak.
Dengan begitu, orangtua juga memberi pendidikan mendasar pada anak. Yaitu menunjukkan sikap dan perilaku orangtua yang pengasih juga pemurah pada anak. Harapannya teladan baik itu kelak supaya dapat dipraktikkan si anak, bahwa memberi adalah ahlaq terpuji. Ingat anak melihat, mendengar, merekan, menyimpan, dan memeraktikkan di kemudian hari.
Senada dengan Neno, Dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP Unesa Dr. Bahtiar S. Bachri, M.Pd. juga menepis asumsi orangtua yang katanya “cinta” kepada anak sehingga anak diberi beragam hadiah atau angka-angka material. Menurutnya anak-anak akan dewasa hanya dengan kematangan hati dan akal. Keduanya bisa dicapai dari kadar keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, tuhan sekalian alam. Kata dia, hadiah tidak bisa mendewasakan anak. Sebaliknya, ia hanya mencetak anak cengeng dan bermental suka meminta-minta. Untuk itu, kematangan anak harus disipkan dengan kadar iman dan ilmu psikologi yang memadai dari orangtua.
Psikolog Akbar Arrasyidin mengatanatan, kalau urusan kualitas keagamaan dihargai angka-anak, maka tanpa sadar kita melatih anak bermental matrealistis dibidang kualitas keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Jangan-jangan shalat supaya dipuji orangtua, berbagi supaya dipuji rekannya, dll. Maka dari itu kasus model orangtua pak pejabat tersebut yang sehari-hari seringkali kita jumpai ini harus dirubah. Sebaliknya, sikap bijak pak tani harus diteladani. Karena, sesungguhnya dari ketidakmudahan menapaki hiduplah sesorang menemukan jalan kedewasaan.
Selain itu, orangtua perlu menyadari penanaman mental memberi/dermawan tidak akan tumbuh dengan cara mengiming-imingi semacam itu. Lagi pula harus dipahami, bahwa hadiah tidak melulu berbentuk barang. Dapat berupa doa, pujian, dan kasih sayang. Senyum saja seharusnya bermakna memberi kebahagiaan. Sampai-sampai seorang filsuf pernah berkata, bila ingin melihat seberapa bergunanya kita, lihat seberapa lebar senyum orang di sekitar kita.