Assalamua’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Teriring salam, kami berdo’a semoga panjenengan: teman, sahabat, sekaligus guru saya Bapak Tjiptadinata Effendi sekeluarga, selalu dalam keadaan sehat wal ‘afiat tidak kurang satu apapun dan selalu dalam ramhat-Nya. Aamiin yaa Robbal ‘alamin.
Pak Tjip perkenankan saya, Mulyanto, 28 tahun, orang Madura, mengadu nasib di Surabaya beserta istri dan anak kami, menyampaikan surat dan salam takzim kepada Bapak melalui secarik surat ini. Semoga apa yang saya sampaikan dapat membawa kebaikan bagi kita sekalian. Aamiin.
Pak Tjip yang kami takzimi, mohon maaf bila sekiranya saya terlambat mengenal Bapak di ruang silaturrahmi bernama Kompasiana ini. Itu semata keudikan saya sebagai orang dusun. Hanya saja syukur Alhamdulillah, Allah menuntun nurani saya untuk bertandang di ruang sarat manfaat dan belajar menulis di Kompasiana ini.
Pak Tjip yang kami takzimi, mohon jangan salah duga, saya tidak menghendaki hadiah rupa apapun dengan nulis semacam ini. Sejujurnya ingin saya sampaikan curahan batin terdalam sejak lama, hanya saya pikir-pikir ulang kok tidak tepat tempat dan waktu. Maka terima kasih dengan diadakan sayembara tulisan semacam ini.
Saya hanya merasa ada hasrat cukup mengubun-ubun untuk bersua dengan panjenengan, Pak Tjip. Bukan apa-apa, mungkin rasa saya juga sempat atau tengah mendera kompasioner yang lain, bahwa Pak Tjip adalah Bapaknya keluarga besar Kompasioner. Atau induk dari anak-anak "ayam" penggemar kebijaksanaan.
Inggih leres, Bapak! Membaca titah tangan emas Pak Tjip saya teringat seorang guru ngaji di dusun. Ki Misyar namanya –semoga Allah memberkati panjenengan, Ki. Saya mengaji tidak hanya al-Quran, ya, belajar Ibadah, muamalah, tata krama, bermasyarakat, dan semua lingkup kehidupan rasanya. Harusnya kalau saya to’at sebagai santri pasti saya bijak. Tapi saya kadung nakal, ya beginalah jadinya.
Bener, Ki Misyar itu Pak Tjip. Adalah orang baik yang kata-katanya (tulisannya) selalu mengandung ilmu. Kehadirannya (tulisannya) beriringan dengan hikmah yang membuka wawasan baru, menyejukkan juga mencerahkan. Sedangkan ketiadaannya (belum upload tulisan) selalu dirindukan. Begitulah guru ngaji dan atau Pak Tjip kami itu, tidak muluk-muluk, perkataannya renyah, namun kaya makna.
Saya heran kenapa seorang guru ngaji dan atau Pak Tjip tidak menggotong ayat-ayat langit saat mengajari kami. Belakangan baru kami sadar, apa yang disampaikan pada santrinya adalah pesan Al-Quran yang dibumikan dengan bahasa-bahasa ringan terhadap kami. MasyaAllah.
Pak Tjip yang saya takzimi, ngapunten , Pak. Saya heran kenapa panjenengan bersusah-susah menyempatkan nulis di ruang ini? Popularitas? Untuk jabatan tertentu? Apa kampanye untuk pemilu DKI Jakarta yang sudah makin dekat? Tolong jawab. Tapi sudahlah tidak usah dijawab, paling jawabannya sama dengan batin saya.
Pak Tjip yang saya Takzdimi, sebelum saya akhiri surat ini, mohon simak berikut ini.