Mohon tunggu...
Mulyani Hasan Djafari
Mulyani Hasan Djafari Mohon Tunggu... wiraswasta -

Sebatang Pohon yang akan Bermanfaat bagi Dunia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Revolusi Mental, Akankah Menjaga Tenun Kebangsaan?

29 Oktober 2014   16:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:18 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua pasti pernah mendengar kata “tenun”, sebuah karya akal dan budi manusia dalam bentukan anyaman benang dan sulam dalam wujud kain nan elok. Namun, siapa yang dapat menjamin bahwa sebuah tenun yang sobek dan rusak akan bisa dikembalikan keelokannya dengan teknologi dan cara yang canggih?. Jawabannya, tidak ada.

Nampaknya cukup menarik, ketika Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar, dan Menengah, yaitu Anies Baswedan, mengumpamakan Republik ini sebagai sebuah tenun kebangsaan. Apa yang ada di dalamnya? Yaitu benang-benang keagamaan, benang-benang kebudayaan, benang-benang politik, dan benang-benang kemasyarakatan. Ya, tenun kebangsaan. Suatu ketika, jika ada hal yang merusak tenunan itu, maka tidak ada satupun teknologi ataupun cara canggih yang dapat mengembalikan keelokan tenun kebangsaan itu. Misalnya, masalah SARA, terjadi “peperangan” kesukuan yang dinamis, bentrok warga yang apatis terhadap suku tertentu atau bahkan fanatisme golongan tertentu kepada seseorang yang ingin memiliki kekuasaan atas Negara. Itulah salah satu hal yang dapat menyebabkan tenun kebangsaan sobek, dan akibatnya hari ini, yang sering kita lihat adalah gerombolan orang-orang yang fanatik dengan kelompoknya, sukunya, bahkan bahasanya, sehingga tenun kebangsaan tadi bukan hanya bisa rusak, bahkan bisa dihancurkan. Maka dari itu, tenun kebangsaan ini harus dijaga keelokannya, minimal masih ada secerca harapan untuk menjaga tenun itu agar tetap tertata, meski telah compang-camping karena berbagai permasalahan.

Menyikapi hal itu, apa yang perlu ditata? Adalah manusia Indonesia. Itulah kata kunci yang harus kita pegang demi perbaikan Indonesia di masa kini dan nanti. Perlakukan manusia Indonesia selayaknya manusia, makhluk Tuhan yang paling sempurna dari seluruh ciptaan-Nya. Maka dari itu, diperlukan revolusi dalam sistem pendidikan untuk mengembalikan mental masyarakat yang bersatu dan harmonis, terhadap kehidupan bersama di masa depan. Adalah pendidikan, yang dapat membawa perubahan pada pembangunan manusia baik itu karakternya, budinya, akal sehatnya, maupun rohaninya. Namun, ternyata teori dan wejangan tak bisa merubah suatu bangsa memperbaiki karakter dan kepribadiannya. Melainkan contoh dan teladan yang baik, terutama dari para pemimpin dan ulil ‘amri yang dapat mengMaka dari itu, partisipasi publik dalam perbaikan mental kebangsaan-pun dibutuhkan. Bukan haajarkan kebaikan nya sekedar slogan atau tekad, tapi implementasi nyata pembentukan mental dan karakter dalam kehidupan sehari-hari yang paling mendasar untuk didaulatkan.

Penulis merasa terusik dengan istilah revolusi mental dalam rangka menjaga keindahan tenun kebangsaan. Ya, agaknya memang benar, ketika kita turun langsung dalam kehidupan masyarakat marginal maupun masyarakat kalangan elit, banyak hal-hal unik yang muncul dan merusak tenun kebangsaan itu. Mungkin agak subjektif, tapi inilah fakta yang bisa ditemukan di lapangan bahwa:

Masyarakat kini kian hari hanya pandai berkeluh kesah tanpa aksi. Yang dipikirkan hanya perut sendiri, jika sudah kenyang mencari yang lebih, atau hanya sekedar tutup lubang gali lubang.

Masyarakat kini hanya pandai mencari kesalahan orang lain, mengkritik, mengevaluasi, tanpa introspeksi diri apalagi memberi solusi. Khususnya golongan tertentu yang haus kekuasaan, tetapi tak mampu meraih kekuasaan itu, Akhirnya, setiap hari membuat opini mencari kelemahan dan menghujat niat dan amal baik golongan tertentu.

Masyarakat kini, cenderung menghakimi tanpa menelusuri kebaikan dan sisi positi dari orang lain.

Masyarakat kini, egois, hanya memikirkan perut sendiri, kepentingan sendiri, maksimal hanya kepentingan golongan. Mengumbar pernyataan berasaskan Pancasila dan UUD 1945, yang ternyata hanya kedok. Padahal di sebaliknya, hanya sebuah ambisi untuk memperkaya dan menyejahterakan “rakyatnya” sendiri. Yang miskinpun egois dengan nasibnya sendiri, tak mau diajak berusaha untuk menjadi lebih baik, hanya pasrah pada nasib.

Revolusi mental. Kata ini bukan lahir dari niat kabinet kerja JOKOWI-JK, akan tetapi kata ini harusnya lahir dari seluruh anak bangsa, kita pasti sudah lelah dengan stigma-stigma negative tentang bangsa ini, yang notabenenya kita jugalah yang menciptakannya sendiri. Agaknya, terlalu kasar bahwa pada kesimpulan penulis, bangsa Indonesia kini sudah merobek seluruh tenun kebangsaan itu. Namun, lebih baik jujur walaupun pahit, daripada terjerumus dalam kebohongan. Wallahu’alam. Kembalikan niat yang lurus, jagalah tenun kebangsaan itu sebaik-baiknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun