Mohon tunggu...
Ika Mulya
Ika Mulya Mohon Tunggu... Penulis - Melarung Jejak Kisah

Pemintal Aksara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki yang Mencintai Pintu

29 September 2021   05:20 Diperbarui: 29 September 2021   05:30 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki yang Mencintai Pintu
Ika Mulya

Seto tahu, ada laki-laki asing yang sedari tadi terus menerus menatapnya. Namun, dia tidak peduli. Baginya, hal itu sudah sangat biasa. Laki-laki berkemeja hitam dan bercelana blue jeans di seberang jalan sana, bukanlah orang pertama yang berbuat begitu. 

Sudah ratusan pasang mata menatap Seto dengan cara yang sama, terheran-heran. Kemudian, mereka pun berlalu dan menganggapnya gila. Kesimpulan yang lumrah, mengingat tidak ada orang normal memperlakukan pintu rumah sedemikian rupa.

Selama lima tahun terakhir ini, tidak pernah satu hari pun Seto lupa menciumi dan memeluk daun pintu rumahnya. Dengan berdiri di atas dingklik, ia mengecup mesra benda yang terbuat dari kayu jati itu hingga ke sudut-sudut. Dari atas sampai bawah, bagian depan juga belakang.

Puas menciumi pintu, lelaki berusia empat windu itu membelai-belai seluruh permukaannya lalu memeluk erat sambil berucap, "Umayi, aku sayang padamu."

Sebelum ayahnya memesan pintu tersebut, Seto selalu memeluk dan menciumi pohon jati di kebun belakang rumah. Dia mulai dengan memunguti daun-daun rontok yang ada di bawah pohon, menumpuknya di pangkuan, lalu tersenyum seraya mengusap-usap lembut tiap lembar daun kering dengan penuh kasih sayang. Bak seorang ibu yang membelai-belai kepala bayi tercintanya.

"Aku berjanji akan selalu menjagamu, Uma. Lihatlah, aku di sini untukmu." Selalu kalimat itu yang ia ucapkan.

Kemudian, Seto memeluk pohon itu sepanjang pagi atau sore menjelang malam. Kadang dia dekap batang jati sambil berdiri, kerap pula sembari duduk bersimpuh tepat di bawah pohon. Laki-laki gondrong itu melakukannya selama berjam-jam, bahkan di musim hujan. Dia sama sekali tak peduli tubuhnya menggigil hebat. Tak juga menghiraukan kilat yang menyambar-nyambar. 

Termasuk mengabaikan gemuruh yang menggelegar. Seolah-olah pohon jati dalam dekapannya lebih butuh kehangatan dan perlindungan. 

Seto baru akan melepaskan pelukan setelah Pak Kliwon menyeretnya ke dalam rumah. Bentakan bapaknya dan tangis pilu sang ibu tidak membuat dia jera. Disebut gila oleh seluruh warga pun, Seto tak ambil pusing.

"Orang-orang yang bilang aku ini ndak waras, ndak paham apa itu cinta sejati. Taunya cuma kawin sama manak thok*." Begitu Seto selalu berdalih. Secara tidak langsung menyatakan bahwa yang dia lakukan adalah wujud cinta sejatinya pada Umayi.

"Halah, dasar wong edan!" umpat mereka di ujung perdebatan.

Mengurung laki-laki ceking itu dalam kamar, juga bukan jalan keluar. Alih-alih lupa pada si pohon jati, Seto malah sering meracau, mengigau, terus menerus memanggil nama Umayi. 

Dia bakal mendadak demam tinggi dan sesak napas. Ujung-ujungnya Seto pasti jatuh sakit. Namun, begitu dibiarkan bersenang-senang lagi dengan pohon kesayangannya, seketika sehat. Segar bugar, seakan-akan semua kesakitan raib dibawa angin gunung.

Tidak ada jalan lain selain membiarkan Seto berbuat sekehendak hati. Toh, hal tersebut tidak membahayakan dirinya dan orang lain. Demikian pada akhirnya, keluarga Pak Kliwon harus rela menyaksikan kegilaan putra bungsu mereka setiap hari atas nama perikemanusiaan. "Yo wes benlah. Sakkarepe!*"

Mbah Bayan, dukun terkenal dari desa seberang, juga sudah pernah dimintai tolong. "Tebang saja pohon itu. Beres!" perintahnya setelah aneka sesajen dan mantra-mantra gagal mengembalikan kewarasan Seto.

Memang benar. Setelah ditebang, tentu saja Seto tidak menciumi dan memeluk pohon jati itu lagi.

"Mana Umayi-ku? Mana? Ayiii!" jerit panik Seto menanyakan pohon tercintanya. Tidak hanya kepada orang rumah dan tetangga, tetapi juga keliling kampung. Kemudian, ada saja orang yang membocorkan rahasia ke telinganya. Pohon itu sudah dibawa Pak Kliwon ke tukang kayu, untuk dijadikan pintu.

Ternyata Seto bukan tipe orang gila yang suka ngamuk-ngamuk. Pohon jati istimewanya ditebang, tidak membuat laki-laki berwajah tirus itu marah besar. Sungguh di luar dugaan. Selama lima hari Seto kembali normal. Saking gembiranya, Mbok Kliwon bahkan keliling kampung. Apalagi kalau bukan mengabarkan pada orang-orang bahwa putranya sudah waras.

Di hari pintu pesanan Pak Kliwon tiba, Seto tersenyum semringah, bahagia tak terkira. Dia langsung memeluk erat-erat barang baru itu. Persis seperti menyambut kedatangan kekasih yang telah lama dirindu-rindukan.

"Kau malah menjelma jadi penjagaku, Umayi," ucapnya sambil menciumi pintu. "Terima kasih, Sayang."

***
Laki-laki di seberang jalan tadi masih saja terpaku menatap Seto. Sampai-sampai Kang Loso--pemilik warung kopi tempatnya singgah--berusaha menarik perhatian dengan berkata, "Dia ndak waras, Mas. Seperti itu kebiasaannya saban jam segini."

"Namanya Seto kan, Pak?" tanya si orang asing.

"Iya, benar. Kayaknya, Mas bukan warga sini, ya?"

Dia hanya menggeleng pelan dan tidak berkata apa-apa lagi. Setelah menyesap kopi, lelaki bertubuh tegap itu kembali memandangi Seto. Tatapannya sendu seolah-olah turut prihatin. Beberapa kali dia meremas kepalanya, lalu mendengkus.

Kang Loso tak mampu menahan penasaran. "Njenengan dari mana? Kenal sama Seto?"

"Semarang. Ummm, e-enggak. Sa-saya nggak kenal."

Jawaban gugup yang terdengar dingin tersebut membuat Kang Loso memilih tutup mulut. Dia biarkan si tamu memandangi Seto sepuasnya. Pemilik warung itu lalu melanjutkan kegiatannya membuat gorengan. 

Sebenarnya, bukan baru satu kali lelaki tampan itu datang. Sudah tiga kali dia menyambangi desa ini. Kedatangan pertama, ingin memastikan kebenaran sebuah berita. 

Pras--laki-laki yang tadi mengaku dari Semarang--mendengar kabar bahwa Seto jadi gila. Namun, setelah mendapati kenyataan menyedihkan tentang Seto, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa berharap laki-laki itu segera sembuh, tidak lagi memeluk dan menciumi pohon jati.

Tiga tahun lalu, kemunculannya yang kedua untuk menjenguk. Sudah sembuh atau belum, Pras bertekad ingin meminta maaf pada Seto. Akan tetapi, urung dilakukan. Seperti sebelumnya, ia hanya memandangi laki-laki gila itu dari kejauhan, lalu pergi. Membawa rasa sesal yang kian mengganjal. Merutuki diri sendiri sebagai pengecut paling terkutuk.

Ini kali ketiga.

"Kenapa dia bisa jadi begitu, Pak?" Sesungguhnya itu pertanyaaan basa-basi.

Walaupun sudah hafal dengan jalan cerita di balik kegilaan Seto pada pintu, ia masih ingin mendengarnya. Padahal, setiap kata bakal membuat hatinya kian berkecamuk.

Sambil mengangkat pisang goreng, Kang Loso menjawab, "Seto stres berat, Mas. Masih terhitung manten anyar*, eh ditinggal mati istrinya."

Tatapan Pras seketika beralih ke jalan raya di sebelah barat. Pandangannya kosong. Cangkir kopi yang sudah dia angkat, diletakkan kembali, tak jadi disruput. "Kasihan," gumamnya.

"Seto terpukul. Dia merasa bersalah banget, Mas. Menurutnya, Umayi mati gara-gara dia. Gara-gara terlambat menjemput istrinya sore itu."

Hening sesaat.

Tanpa diminta, Kang Loso melanjutkan cerita sambil menata gorengan di nampan plastik. Pras masih di tempat semula, tekun memandangi jalan raya di sebelah barat.

"Seto ngengkel* kepingin istrinya dikubur di belakang rumah saja. Malah saking stresnya, dia nganggep Umayi menjelma jadi pohon jati yang kebetulan tumbuh di sebelah kuburan."

Lagi-lagi Pras bergumam, "Kasihan."

"Ya, kasihan dia. Yang nabrak istrinya malah kabur begitu aja. Blas ndak tanggung jawab. Hidup senang-senang di atas penderitaan Seto."
 
Pras sempat melirik Kang Loso sebelum kembali melamun.

Delapan tahun lalu, di jalan raya yang sejak tadi Pras pandangi, terjadi kecelakaan tunggal. Umayi terserempet sedan yang tengah melaju kencang ke arah Grobogan. Perempuan itu langsung ambruk, kepalanya membentur aspal. Detik berikutnya hanya ada dua kejadian. Darah yang mengalir deras dari kepala Umayi dan laju mobil yang kian cepat.

Ketika itu, penumpang cantik di sebelah si pengemudi berteriak-teriak, "Mumpung sepi, Pras! Ayo, gas aja terus! Ingat loh, dua minggu lagi kita nikah. Bisa kacau, kalo kita berhenti, terus pake nolongin dia segala."

Walau diam saja, sang calon mempelai pria melajukan kendaraan lebih cepat. Sudah cukup menjadi sebuah pertanda bahwa dia mengiyakan alasan yang diteriakkan perempuan di sampingnya. Terdengar sangat masuk akal bagi otak mereka yang bekerja di tengah kepanikan.

Malah, bukan cuma acara pernikahan saja yang batal, penjara juga akan membayangi-bayangi. Siap mengurung pengemudi selama lima tahun. Hidup tidak akan berjalan sesuai rencana. Kacau! Hancur! Pasti! Kalimat-kalimat itulah yang kemudian dilontarkan kekasih Pras. Mereka pun tak lagi menoleh ke belakang, meski sebentar.

Akhirnya, Umayi meregang nyawa bersama janin yang baru berusia sepuluh minggu dalam perjalanan ke rumah sakit.

"Mau pisang goreng, Mas? Atau mau nambah kopi?"

Tawaran Kang Loso membuyarkan lamunan Pras. Bukannya menjawab, ia malah balik bertanya, "Kalo saya bertamu dan ...  ngomong sesuatu, apa Seto bakal ngamuk?"

"Memangnya Mas ini mo ngomong apa sama orang gila kayak Seto?"

"Penasaran aja. Kok bisa, segitu sayangnya sama pintu," jawabnya dusta.

"Saking cintanya, Mas. Kadang cinta itu kan, bisa bikin orang jadi gila."

Pras terdiam. Sementara di seberang sana, lelaki yang mencintai pintu, masuk ke rumah. Perlahan-lahan menutup pintu yang hanya dipernis.

Pada Kang Loso, Pras pun pamit. Ia urung meminta maaf pada Seto. Gagal memberanikan diri dan mengakui kesalahan. Kembali menyembunyikan rahasia dalam-dalam.

Bisa jadi dia akan datang lagi suatu hari nanti. Namun, bukan mustahil Pras tidak akan pernah kembali. Selama delapan tahun terakhir, bayangan Umayi ketika terserempet mobilnya tak pernah hilang dari benak. Sesungguhnya laki-laki itu sangat tersiksa. Hanya saja dia masih beruntung. Hari ini Pras belum segila Seto. Entah esok, entah nanti.

TAMAT
 

*manak thok: punya anak saja
*Yo wes benlah. Sakkarepe: ya sudah biarlah. Semaunya.
*manten anyar: pengantin baru
*ngengkel: bersikeras
 

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun