Mohon tunggu...
Mulyadi Djaya
Mulyadi Djaya Mohon Tunggu... Dosen Univ. Papua -

Memotret Papua bagai oase yang tidak pernah kering. Terus berkarya untuk Indonesia yang berkemajuan (#dosen.unipa.manokwari).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Penyebab Punahnya Suku-suku di Papua

26 Desember 2017   20:41 Diperbarui: 27 Desember 2017   07:31 3404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penduduk Papua. Kompas.com

Ancaman genocida akan menjadi kenyataan di Papua. Dari 276 suku bangsa diketahui 14 di antaranya telah menghilang, baik fisik maupun bahasanya. Para antropolog sudah kesulitan menemukan lagi orang-orang Dani asli; Korowai, Kombai, Yali, Goroka, Kalam, Asaro, dan suku Huli yang pernah berjaya di zamannya. Mereka hanya ditemukan ketika ada pertunjukan atau festival seni budaya.  

Para ahli bahasa pun demikian, telah mendeteksi tujuh bahasa yang tidak lagi dipakai oleh penutur aslinya. Bahasa Saponi di Waropen, Dusner dan  Tandia di Teluk Wondama, Fatjin Lha di Kaimana, Nambla di Senggi, dan bahasa Mansin dan Mapia tak lagi terdengar. Masih banyak bahasa dan suku di Papua yang belum diteliti keberadaannya. Hilangnya bahasa sudah dapat dipastikan lenyapnya pengguna/suku bahasa tersebut.

Gejala Kehilangan Identitas

Suku Dani adalah suku utama yang mendiami lembah Baliem, wilayah Pegunungan Tengah di Kabupaten Jayawijaya dan Puncakjaya. Terkenal sebagai petani tulen sejak 9.000 tahun silam. Dibuktikan dengan peralatan pertanian kuno seperti kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang binatang, bambu dan juga tombak yang terbuat dari kayu galian yang terkenal sangat kuat dan berat.

Pakaian tradisional berupa koteka untuk pria dan wah (rok) rumbai terbuat dari serat kayu atau rumput di daerah terpencil masih digunakan. Tiap klen/marga tinggal di rumah honai. Namun generasi yang terdidik sudah memilih tinggal di kota. Upacara adat sudah jarang dilakukan, kecuali  beberapa acara keagamaan. Demikian juga perang suku sekali-sekali terjadi.

Masih di sekitar lembah Baliem, di tengah-tengah pegunungan tinggi Jayawijaya terdapat suku Yali. Mereka sering disebut orang pigmiyang memiliki postur pendek, tinggi laki-laki hanya 150 cm. Kehidupan keluarga dijalankan dengan berpoligami. Pakaian tradisionil menggunakan koteka, penutup penis terbuat dari buah labu. Kini koteka pada orang Yali sudah mulai ditinggalkannya. Hanya   digunakan oleh generasi tua (Hari Suroto, Peneliti Balai Arkeologi Jayapura dalam kompas.com, 2013).

Perkembangan zaman dan pengaruh dari luar yang masif merubah perilaku kehidupan primitif kedua suku tersebut. Perluasan wilayah tambang emas Ersberg dan Grasberg membuat mereka mencari daerah baru. Pemekaran wilayah memunculkan generasi politik praktis yang sering menimbulkan konflik horisontal. Populasi orang Dani dan Yali mulai tergerus menjadi 20 ribuan orang. Yang masih bertahan di kampung-kampung adalah orang-orang tua sebagai obyek kunjungan wisata. Melihat kondisi tersebut pada masa mendatang yang tinggal di lembah Baliem tersebut akan kehilangan keasliannya dan bisa diduga akan punah.  

Berbeda dengan suku Korowai dan Kombai adalah suku-suku yang baru ditemukan karena keisolasiannya. Orang Korowai beranggapan bahwa mereka adalah satu-satunya manusia yang hidup di bumi. Tinggal di lembah bagian selatan pegunungan Jayawijaya. Laki-laki tidak berkoteka dan wanita menggunakan rok penutup dari daun sagu. 

Sagu adalah makanan pokok dan hasil buruan disimpan di rumah yang dibuat di atas pohon yang tinggi. Membangun rumah di atas pohon sebagai pertahanan guna menghindari serangan binatang buas, musuh atau orang asing. Dari ketinggian memudahkan untuk mengintai orang asing yang datang dan menangkapnya. Suku ini masih memberlakukan hukum kanibal (memangsa manusia) bagi musuh yang tertangkap dan pengikutnya yang melanggar aturan adat.

Sedangkan suku Kombai hidup terasing di hutan rimba Pegunungan Tengah. Jauh dari dunia luar, sehingga kehidupan mereka seperti pada zaman batu. Mereka sangat curiga kepada orang yang baru bertemu, misionaris sekalipun. Konon tahun 1980-an hanya satu orang yang masuk agama Kristen. Kaum laki menggunakan koteka yang terbuat dari paruh burung raksasa. Populasi mereka sekitar 3000-an orang terdiri dari 250 sub suku dengan bahasa yang berbeda.

Sedangkan empat suku terkenal di wilayah Papua New Guinea (PNG) seperti Goroka, Kalam, Asaro, dan suku Huli menurut penelitian antropolog populasi dan bahasa mereka pun sudah sulit ditemukan.

Sebab Kepunahan

Diketahui ada tiga penyebab punahnya suatu suku dan bahasa di Papua. Pertama akibat perubahan jumlah penduduk seperti angka kelahiran, kematian, dan migrasi. Penduduk Papua dan Papua Barat saat ini dikategorikan masih rendah 4,6 juta dengan kepadatan 11 jiwa permeter persegi. Tapi laju pertumbuhan tinggi 5,55% pertahun melebihi nasional hanya 1,49%. Pertumbuhan tinggi didorong oleh angka migrasi yang tinggi pula. Kematian kebanyakan disebabkan oleh penyakit indemik malaria, HIV/Aids, dan perang suku. Kini kematian bayi dan ibu melahirkan sangat tinggi di Papua.

Sebab yang kedua adalah semakin sedikitnya wilayah hutan tempat habitat asli mereka. Sejak zaman kolonial hingga kini banyak wilayah dijadikan daerah operasi perusahaan tambang emas, migas, logging dan pengolahan hutan, perkebunan kelapa sawit, serta dijadikan hutan lindung untuk pariwisata. Mereka tidak mempunyai ruang untuk mengekspresikan kehidupannya. Untuk bisa eksis, terpaksa harus lari meninggalkan tanah kelahirannya. Tercerai berai. Ada yang pergi merantau meninggalkan kampung halamannya, dan tak kunjung kembali.

Ketiga, dikarenakan oleh perkawinan dalam keluarga, satu suku, semarga,   atau sedarah. Di Papua ikatan keluarga atau kekerabatan sangat kuat dipertahankan. Sulit sekali terjadi perkawinan di luar suku mereka. Dilarang menikah di luar kalangannya agar semua harta yang dimiliki tidak keluar dari keluarga besarnya. Bertujuan menjaga kemurnian keturunan suku-suku tersebut. Ditambah lagi untuk menghindari konflik dan denda adat dengan suku lain.

Padahal ahli biologi genetika menyebutkan perkawinan inbreeding (cosanguineus), apalagi perkawinan inses (sedarah) akan menghasilkan keturunan yang tidak sehat, cacat, waktu hidup yang pendek, bahkan kematian! Kondisi genetik yang lebih umum terjadi pada pernikahan kerabat adalah gangguan resesif langka yang bisa menyebabkan berbagai macam masalah bawaan: buta warna, hemofilia (kekurangan faktor pembekuan darah), thallassaemia (kelainan darah), alergi, albino, asma, diabetes melitus dan penyakit-penyakit lainnya yang dibawa oleh kromosom.

Dijumpai di Museum

Hilangnya suku-suku dan bahasa Papua dikategorikan punahnya peradaban Melanesia tersebut. Suatu yang sangat mengkhawatirkan karena berproses pelan tapi pasti. Ancaman semakin berkurang populasi orang Papua. Sebaliknya ledakan penduduk (population bomb) tidak tercapai. Ada anggapan bahwa program KB (Keluarga Berencana) tidak diperlukan seperti di belahan bumi yang lain. Tanah Papua masih luas dan kaya sumberdaya alam sehingga tidak masalah dengan jumlah penduduk. Benarkah demikian?

Seiring dengan perkembangan zaman dan sedikitnya jumlah penduduk, maka masa mendatang hanya tersisa puluhan suku atau bahasa saja di Papua. Suku-suku yang terkenal peradabannya seperti Dani, Komoro, Asmat, Mee, Korowai, Kombai, Amungme dan Yali kita hanya bisa jumpai di museum.

Masih beruntung 2000 tahun mendatang ada yang menyelamatkan serpihan artefak tersebut dijadikan bukti untuk disaksikan oleh generasi yang akan datang. Gejala kepunahan sudah nampak dimana budaya tradisional sudah menjadi obyek wisata dalam festival, seni pertunjukan, maupun bentuk peninggalan sejarah seperti kuburan tua, patung, dan gua-gua yang berisi mumi.

Pertumbuhan yang Menurunkan

Melihat kondisi tersebut ada upaya untuk meningkatkan jumlah penduduk Indonesia paling timur tersebut. Tidak tanggung-tanggung Gubernur Papua Lukas Enembe pada tahun 2014 mengeluarkan kebijakan 'Pembangunan SDM' yang menggiurkan. Yaitu, pemberian insentif uang sebesar Rp.100 juta rupiah bagi ibu yang melahirkan dan membesarkan minimal 10 anak. Diikuti juga oleh Bupati Lanny Jaya memberikan dukungan biaya Rp. 5 juta kepada setiap ibu yang mengandung. Harapannya uang insentif tersebut untuk mempercepat peningkatan jumlah penduduk Papua dan memenuhi gizi bagi janin dan kandungan sang bunda (detik.com, 2014).

Berhasilkah program tersebut? Jauh panggang dari api. Justru sebaliknya,  kematian bayi dan ibu di sembilan kabupaten di daerah pegunungan dan kepulauan seperti Pegunungan Bintang, Puncakjaya, Nduga, Yahukimo, Maberamo Tengah, Deiyai, Dogiyai, dan Waropen pada tahun 2016 masih bertahan di papan atas, alias tinggi.  Yakni, 20 kematian per 1.000 kelahiran bayi, dan diikuti oleh kematian 200 ibu per 1.000 yang melahirkan. Oleh sebabnya BkkbN Papua akan menerapkan program 4T kepada ibu-ibu yaitu jangan (T)erlalu dekat, (T)erlalu muda, (T)erlalu tua, dan (T)erlalu banyak untuk melahirkan. Alih-alih program tersebut menaikkan, tetapi justru menurunkan jumlah penduduk Papua!  

Apa yang dilakukan agar kepunahan suku dan bahasa di Papua tidak semakin bertambah? Pertama adalah kemampuan beradaptasi suku-suku tersebut terhadap  perubahan zaman yang begitu cepat terjadi tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya yang mereka miliki. Kedua, meningkatkan kualitas hidup melalui kesehatan, pendidikan dan ketersediaan lapangan kerja. 

Budaya hidup sehat dan mengurangi perkawinan sedarah sekurangnya sesama saudara sepupu. Pendidikan berorientasi mutu dengan tetap melestarikan bahasa daerah. Memanfaatkan waktu luang dengan kegiatan ekonomi yang produktif. Kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja yang baik akan menghasilkan generasi yang cerdas intelektual, emosional, dan kesejahteraan. Terakhir, menjaga kelestarian alam sebagai habitat asli orang Papua. Semoga.

...................

Penulis adalah Kepala P2KSDM (Pusat Penelitian Kependudukan dan Sumberdaya Manusia) Universitas Papua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun