Ancaman genocida akan menjadi kenyataan di Papua. Dari 276 suku bangsa diketahui 14 di antaranya telah menghilang, baik fisik maupun bahasanya. Para antropolog sudah kesulitan menemukan lagi orang-orang Dani asli; Korowai, Kombai, Yali, Goroka, Kalam, Asaro, dan suku Huli yang pernah berjaya di zamannya. Mereka hanya ditemukan ketika ada pertunjukan atau festival seni budaya. Â
Para ahli bahasa pun demikian, telah mendeteksi tujuh bahasa yang tidak lagi dipakai oleh penutur aslinya. Bahasa Saponi di Waropen, Dusner dan  Tandia di Teluk Wondama, Fatjin Lha di Kaimana, Nambla di Senggi, dan bahasa Mansin dan Mapia tak lagi terdengar. Masih banyak bahasa dan suku di Papua yang belum diteliti keberadaannya. Hilangnya bahasa sudah dapat dipastikan lenyapnya pengguna/suku bahasa tersebut.
Gejala Kehilangan Identitas
Suku Dani adalah suku utama yang mendiami lembah Baliem, wilayah Pegunungan Tengah di Kabupaten Jayawijaya dan Puncakjaya. Terkenal sebagai petani tulen sejak 9.000 tahun silam. Dibuktikan dengan peralatan pertanian kuno seperti kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang binatang, bambu dan juga tombak yang terbuat dari kayu galian yang terkenal sangat kuat dan berat.
Pakaian tradisional berupa koteka untuk pria dan wah (rok) rumbai terbuat dari serat kayu atau rumput di daerah terpencil masih digunakan. Tiap klen/marga tinggal di rumah honai. Namun generasi yang terdidik sudah memilih tinggal di kota. Upacara adat sudah jarang dilakukan, kecuali  beberapa acara keagamaan. Demikian juga perang suku sekali-sekali terjadi.
Masih di sekitar lembah Baliem, di tengah-tengah pegunungan tinggi Jayawijaya terdapat suku Yali. Mereka sering disebut orang pigmiyang memiliki postur pendek, tinggi laki-laki hanya 150 cm. Kehidupan keluarga dijalankan dengan berpoligami. Pakaian tradisionil menggunakan koteka, penutup penis terbuat dari buah labu. Kini koteka pada orang Yali sudah mulai ditinggalkannya. Hanya  digunakan oleh generasi tua (Hari Suroto, Peneliti Balai Arkeologi Jayapura dalam kompas.com, 2013).
Perkembangan zaman dan pengaruh dari luar yang masif merubah perilaku kehidupan primitif kedua suku tersebut. Perluasan wilayah tambang emas Ersberg dan Grasberg membuat mereka mencari daerah baru. Pemekaran wilayah memunculkan generasi politik praktis yang sering menimbulkan konflik horisontal. Populasi orang Dani dan Yali mulai tergerus menjadi 20 ribuan orang. Yang masih bertahan di kampung-kampung adalah orang-orang tua sebagai obyek kunjungan wisata. Melihat kondisi tersebut pada masa mendatang yang tinggal di lembah Baliem tersebut akan kehilangan keasliannya dan bisa diduga akan punah. Â
Berbeda dengan suku Korowai dan Kombai adalah suku-suku yang baru ditemukan karena keisolasiannya. Orang Korowai beranggapan bahwa mereka adalah satu-satunya manusia yang hidup di bumi. Tinggal di lembah bagian selatan pegunungan Jayawijaya. Laki-laki tidak berkoteka dan wanita menggunakan rok penutup dari daun sagu.Â
Sagu adalah makanan pokok dan hasil buruan disimpan di rumah yang dibuat di atas pohon yang tinggi. Membangun rumah di atas pohon sebagai pertahanan guna menghindari serangan binatang buas, musuh atau orang asing. Dari ketinggian memudahkan untuk mengintai orang asing yang datang dan menangkapnya. Suku ini masih memberlakukan hukum kanibal (memangsa manusia) bagi musuh yang tertangkap dan pengikutnya yang melanggar aturan adat.
Sedangkan suku Kombai hidup terasing di hutan rimba Pegunungan Tengah. Jauh dari dunia luar, sehingga kehidupan mereka seperti pada zaman batu. Mereka sangat curiga kepada orang yang baru bertemu, misionaris sekalipun. Konon tahun 1980-an hanya satu orang yang masuk agama Kristen. Kaum laki menggunakan koteka yang terbuat dari paruh burung raksasa. Populasi mereka sekitar 3000-an orang terdiri dari 250 sub suku dengan bahasa yang berbeda.
Sedangkan empat suku terkenal di wilayah Papua New Guinea (PNG) seperti Goroka, Kalam, Asaro, dan suku Huli menurut penelitian antropolog populasi dan bahasa mereka pun sudah sulit ditemukan.