Mohon tunggu...
Taufik Mulyadin
Taufik Mulyadin Mohon Tunggu... Guru - Seorang pembelajar sepanjang hayat

Pendidik di Tatar Sunda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pilkada DKI Jakarta 2017: Menakar Kekuatan Mesin Politik Non-Parpol

16 Maret 2016   13:43 Diperbarui: 16 Maret 2016   17:58 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(sumber: kompasiana)"][/caption]Runtuhnya era otoriter Order Baru di tahun 1998 menandai babak baru Indonesia di atas bahtera bernama era reformasi. Dengan kebebasan yang akhirnya bisa dinikmati setelah lebih dari tiga dekade dikekang oleh The Smiling General, konstalasi politik dan demokrasi pun turut berubah. Yang semula hanya ada tiga partai (PDI, Golkar, dan PPP), setahun saja era reformasi bergulir jumlah partai menjadi berlipat-lipat. Era reformasi menjadi tanah subur untuk menyemai antusias politik dari rakyat yang selama ini dibungkam ditambah demokrasi sebagai pupuk yang membuatnya tumbuh makin cepat. Maka tak ayal di pemilu pertama di era reformasi tahun 1999, ada 48 partai yang turut meramaikan pesta demokrasi. Dalam perjalanannya jumlah ini naik turun tapi tetap terhitung banyak. Sejak masuk era reformasi, politik Indonesia makin berwarna walau tak selalu sedap dipandang mata.

Di era reformasi, kekuasaan politik turut berubah. Di masa sebelumnya kekuasaan bertumpu pada partai dan ‘wakil rakyat’ di mana rakyat sendiri hanya punya peran dalam memilih wakilnya di legislatif yang sebenarnya itu pun sudah disetting oleh partai penguasa. Dalam pemilihan jabatan politik pemimpin di tingkat nasional dan daerah, rakyat tak lagi bermakna. Presiden dipilih oleh legislatif (DPR dan MPR) dan kepala daerah ditunjuk langsung oleh DPRD dan presiden, walaupun pada prakteknya presiden lebih punya kuasa. Lain dulu lain sekarang. Di era ini, rakyat punya kuasa lebih yang tidak hanya hak memilih wakilnya di legislatif (DPR dan DPRD) tapi juga pemimpinnya, presiden dan kepala daerah. Dengan prinsip one person one vote, tiap individu rakyat menjadi bermakna. Maka model Pemilihan Langsung (Pilsung) dipilih karena dianggap paling sesuai dengan nilai demokrasi ‘dari, oleh, dan untuk rakyat’. Dalam perjalanannya Pilsung menyebabkan praktik dan perilaku politik baik dari yang dipilih maupun yang memilih berubah. Jika dulu cakupan kerja politik cukup di kalangan elit partai dan legislatif, saat ini para kontestan politik harus bekerja keras dengan cakupan lebih luas untuk mengambil hati setiap individu rakyat yang memiliki hak pilih.

Konsultan Politik, Sebuah Motor Politik Modern

Kontestasi politik yang semakin sengit dan melelahkan menyebabkan adanya kebutuhan tenaga tambahan selain partai politik. Terlebih citra partai politik yang semakin merosot, kanal informasi yang terus meningkat dari segi jumlah dan variannya, dan fenomena media sosial (medsos), membuat kebutuhan akan motor penggerak politik baru semakin mendesak. Kebutuhan ini terjawab oleh kehadiran berbagai lembaga konsultan politik.

Pada awalnya lembaga konsultan politik banyak berfungsi sebagai penyuplai informasi akurat dan kredibel untuk para kontestan politik sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan strategi pemenangan yang tepat. Namun seiring berjalannya waktu, fungsinya makin meluas dengan menawarkan ‘paket lengkap’ agar kliennya terpilih dalam Pilleg, Pilpres, dan Pilkada. Mulai dari suplai informasi, survei, manajemen isu, pencitraan, marketing, media, sampai quick count mereka dapat sediakan sesuai kehendak kliennya. Sebuat saja, Lembaga Survei Indonesia (LSI), Saeful Mujani Research and Consultant (SMRC), Cyrus Network, dan lembaga konsultan lainnya merupakan contoh yang sudah memiliki nama besar di kancah nasional. Belum lagi lembaga konsultan politik lainnya di tingkat lokal yang terus bermunculan seiring makin banyaknya permintaan. Bisa dibayangkan, selain Pilpres dan Pilleg tingkat nasional, masih ada Pilkada dan Pilleg daerah di 33 Propinsi dan lebih dari 500 kota/ kabupaten di seluruh Indonesia yang menjadi bangsa pasar yang besar lagi menjanjikan bagi para lembaga konsultan politik. Terlebih, banyak dari mereka yang berhasil mengantarkan kliennya menduduki kursi empuk di istana negara, senayan, gedung dewan, dan kepala pemerintahan. Paling tidak Pilgub DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014 menjadi bukti sukses mereka.

Pilgub DKI Jakarta 2017, Sebuah Arena Pembuktian

Kehadiran lembaga konsultan politik semakin tak terpisahkan dari praktik politik partai-partai yang bertarung dalam pemilu. Mereka memiliki apa yang partai politik tidak miliki yaitu keilmuan, keahlian, dan kreativitas yang menjadikan setiap laga pemilu terencana, terkontrol dan terukur. Bahkan dalam beberapa kasus, di ranah akar rumput peran mereka lebih besar ketimbang partai politik sendiri. Namun selama ini, kebanyakan lembaga konsultan politik berperan tidak lebih sebagai motor pendukung dari partai politik. Mereka masih berada di bawah bayang-bayang partai politik. Dengan kata lain, proporsi kerja mereka akan lebih banyak untuk menggaet pemilih di luar pendukung partai pengusung. Bagaimana jadinya jika lembaga konsultan politik menjadi mesin utama dalam sebuah pemilu tanpa campur tangan partai politik? Apakah kisah suksesnya akan berlanjut? Dapatkah mereka menghadapi gempuran mesin politik konvensional bernama partai politik?

Tampaknya Pilgub DKI Jakarta 2017 akan menjawab pertanyaan soal mamou tidaknya lembaga konsultan politik sebagai single fighter dalam pemilu. Jalur independen yang dipilih oleh gubernur petahana untuk maju kembali dalam kontestasi Pilgub DKI Jakarta tahun depan menjadikan lembaga konsultan politik, misal Cyrus Network, sebagai mesin politik utama untuk memenangkannya. Karena ini menjadi arena baru dengan tantangan dan kerja yang lebih berat, mereka sudah memulai kerja dan strategi politiknya jauh jauh hari dan makin gencar seperti yang saat ini kita saksikan. Berbagai kampanye, pencitraan, olah isu dan upaya lainnya untuk memasarkan kliennya agar layak jual (baca: pilih) semakin gencar dilakukan.

Terlihat bahwa kerja lembaga konsultan politik cukup sukses paling tidak membuat mereka dianggap ancaman serius untuk partai politik. Pilgub masih setahun lebih, tapi melihat geliat kekuatan gubernur petahana semakin besar dengan didukung oleh lembaga konsultan politik di belakangnya, partai politik bak kebakaran jenggot segera mengambil berbagai langkah serius demi menjegalnya. Beberapa nama tokoh yang berniat maju dalam Pilgub pun sudah bermuncullan, seperti mantan menteri Yusril Ihza Mahendra dan Adhyaksa Dault, pengusaha Sandiaga Uno, sampai artis Ahmad Dhani. Berbagai partai politik sudah melakukan komunikasi politik dan penjaringan cagub ataupun cawagub yang akan diusung. Bahkan beberapa partai menggunakan kekuatannya di legislatif untuk memperketat aturan pencalonan kepala daerah dari jalur independen. Berbagai upaya tersebut tak mungkin dilakukan tanpa adanya fakta bahwa gubernur petahana dengan lembaga konsultan politik yang handal telah menjadi ancaman yang serius bagi hegemoni partai politik di ibu kota.

Jakarta sebagai tolak ukur politik nasional di era reformasi telah menorehkan sejarah baru mulai dari pemimpin terpilih yang bukan putra daerah, pemimpinnya yang kemudian jadi presiden, dan lainnya. Akankah di Pilkada 2017 nanti Jakarta akan menorehkan sejarah baru di mana lembaga konsultan politik mampu menggantikan bahkan mengalahkan peran partai politik dalam sebuah pemilu? Apa pun hasilnya, Pilgub DKI Jakarta 2017 akan menjadi cerminan bagaimana peranan lembaga konsultan politik di Pilpres 2019 nanti.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun