[caption caption="skripsi digital"][/caption]Belakangan ini, media sosial di Tanah Air tengah ramai dengan kemunculan sebuah foto yang unik. Sebuah foto yang menangkap momen saat beberapa orang tengah mengangkut banyak jilid dokumen dari perpustakaan kampus ke mobil bak terbuka. Sebenarnya fenomena "meloak" lembar kertas yang tak terpakai sudah sangat lumrah. Namun, apa jadinya jika yang diloak adalah skripsi? Hal inilah yang membuat foto tersebut unik dan menarik banyak perhatian.Â
Berbagai respons pun muncul, terutama dari mereka yang pernah mengalami proses panjang penulisan skripsi demi lulus kuliah. Mayoritas respons bernada miring dan menyayangkan kejadian dalam foto tersebut. Skripsi sebagai "mahakarya" mahasiswa yang menyita banyak waktu, tenaga, pikiran, bahkan materi hanya teronggok menjadi lembar penuh debu dan bahkan barang bekas yang diperjualbelikan.
[caption caption="Ilustrasi: Liputan6com"]
Kekurangan kedua, tidak ramah lingkungan. Untuk 6 rangkap skripsi, kertas yang dihabiskan bisa mencapai hampir dua rim lembar atau 1.000 lembar kertas. Menurut Marshall Brain (2003), satu pohon bisa menghasilkan rata-rata 80.500 lembar kertas. Berarti setiap delapan puluh mahasiwa yang lulus dengan skripsi akan menghabiskan sekitar 1 pohon. Kekurangan terakhir, menghabiskan tempat. Tiap tahun jumlah skripsi terus bertambah seiring meningkatnya jumlah mahasiswa yang lulus. Namun, hal ini tidak diimbangi dengan perluasan kapasitas perpustakaan yang memadai. Belum lagi jumlah koleksi bacaan yang juga kian bertambah. Keterbatasan tempat inilah yang selalu menjadi alasan bagi banyak perpustakaan kampus yang akhirnya harus menyingkirkan sebagian koleksi skripsinya.
Sejatinya dunia pendidikan itu dinamis, terus berkembang, tidak jalan di tempat alias stagnan. Apalagi di perguruan tinggi di mana seharusnya banyak inovasi dilahirkan, termasuk inovasi dalam kebijakan skirpsi. Karena dirasa skripsi versi cetak itu tak lagi efisien dan bahkan berefek negatif, kenapa tidak diganti dengan "skripsi digital"? Jadi, mahasiswa cukup memberikan soft file skripsinya kepada para penguji, kampus, pembimbing, dan pihak lainnya yang memerlukan.Â
Dengan teknologi yang terus berkembang pesat dan terlebih banyak perpustakaan kampus yang memiliki layanan e-library, seharusnya sangat mungkin kebijakan skripsi digital ini diterapkan. Para dosen juga sudah memiliki literasi teknologi informasi yang cukup. Paling tidak mereka sudah terbiasa menggunakan komputer dan internet dalam proses pembelajaran. Selain itu, perilaku mahasiswa atau pengguna layanan perpustakaan menunjukkan bahwa banyak yang mulai beralih memilih bacaan digital seperti ebook, ejournal, dan ethesis ketimbang versi cetak. Jadi, skripsi digital bisa menjadi solusi yang relevan pada era ini. Hal ini sudah banyak diterapkan terutama di negara-negara maju, seperti Amerika dan Inggris. Bahkan, untuk proses bimbingan dan sidang pun sudah sangat biasa dengan menggunakan teknologi informasi.
Dengan skripsi digital, ada banyak keuntungan yang bisa didapat. Apalagi di Indonesia, ada 300.000 sarjana baru tiap tahunnya (BPS, 2014). Pertama, lebih ekonomis. Seperti telah disebutkan di atas, jika setiap mahasiswa menghabiskan Rp 450.000,00 untuk mencetak skripsi, dengan skripsi digital dalam skala nasional setiap tahun dapat menghemat Rp135 miliar.Â
Kedua, ramah lingkungan. Dengan estimasi 8 mahasiswa menghabiskan 1 pohon, melalui skripsi digital ada sekitar 3.750 pohon yang dapat terselamatkan tiap tahunnya.Â
Ketiga, perpustakaan dapat menyimpan koleksi bacaan lain atau menyediakan ruang belajar lebih banyak.Â
Keempat, skripsi digital akan memudahkan dan memperluas jangkauan agar lebih banyak masyarakat yang dapat mengakses skripsi mahasiswa.Â
Kelima, dosen sebagai pembimbing atau penguji tidak perlu lagi membawa berjilid-jilid skripsi. Cukup dengan komputer atau laptop, proses revisi atau sidang dapat dilakukan. Terlebih untuk memeriksa plagiarisme pun lebih mudah, apalagi sudah mulai banyak kampus Indonesia yang menggunakan plagiarism checker semisal Turnitin.