Mohon tunggu...
Mulyadi
Mulyadi Mohon Tunggu... -

Domisili pengabdian di Halmahera Utara #SM-3T Suka Solo Backpacking kemanapun Sangat ingin backpacking keluar negeri gratis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Broken Home

20 Maret 2017   08:24 Diperbarui: 20 Maret 2017   08:50 2404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kacau!!! Si malaikat kecil telah mengetahui rangkaian kata-kata kotor dari makhluk bertubuh dewasa itu. Malaikat kecil yang seharusnya lucu akan wajahnya yang polos, kini mengeluarkan air mata yang sangat pedih. Pedih bukan karena sakit fisik, tetapi hatinya yang kacau akibat teriakan-teriakan makhluk liar di tengah malam.

Kejamnya dunia terlalu cepat menghampiri. Hatiku penat. Seakan tak ada lagi rumor-rumor ceria yang bersenandung ramai, disertai senyuman yang senantiasa menganga tanpa kenal tanggung. SEMUANYA KACAU!!! Kataku keras di sudut yang paling gelap.

Mereka salah kalau mereka kira aku polos, bodoh, dan idiot. Memang kata-kata kritis belum mampu kurangkai seperti para politis yang harus mengumandangkan suara lantang demi menutupi belangnya sebagai anjing got tak ada guna. Apa mereka pernah berpikir kalau aku punya hati yang sangat peka terhadap segala situasi. Atau mereka memang bodoh dalam memikirkan hal tersebut. Atau mereka sudah lupa tentang keberadaanku yang lahir akibat pergaulan mereka yang dikata dilakukan penuh rasa cinta itu. Tak tahulah.

Aku tetap terdiam menanti di rumah. Menanti kejuaraan paling hina dan bodoh itu di meja hijau. Tak sabar aku menanti sang juara dari LIGA SUPER TOLOL itu menghampiriku dengan senyuman manis. Kuizinkan senyuman licikku mengambang di udara menjelang matahari yang akan segera mengakhiri sinarnya menerangi dunia.

Pelukan itu pun menghampiriku dengan hangat dari sang Ibu yang selalu menempati ruang VVIP di hatiku. Sepertinya kejuaraan itu telah selesai. Pemenangnya telah kuketahui meskipun ia merayakannya dengan tangisan haru. Aku sama sekali tak dihadapkan pada pemandangan wajah sang kalah.

Tak ada daya yang bisa dilakukan oleh tubuh kecilku yang mungil. Semuanya telah terjadi. Sejarah telah terukir pada catatan kehidupan yang baru. Kehidupan yang akan penuh dengan cemooh, tatapan sinis dari orang-orang munafik yang merasa kehidupannya paling sempurna.

Entah sampai kapan moment terburuk sepanjang masa ini akan terlupa dalam memori. Aku hanya terus menangis dalam kesendirian bagai pengecut bodoh tak berotak. Otakku blank dalam menyikapi segala hal. Himpunan harapan hanya bisa kupasrahkan pada Dzat Maha Pemberi.

Taken from my old blog "coretan-mulyadi.blogspot.com"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun