Mohon tunggu...
eddy mulyadi
eddy mulyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen dan peneliti

Lahir di Tanjungbalai (Asahan) dan aktif mengikuti seminar dan konferensi tentang bahasa. Selain itu, rajin menulis artikel, terutama berkolaborasi dengan mahasiswa, untuk dipublikasikan di berbagai jurnal nasional dan jurnal internasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kejutan Kecil Buat Bu Guru

25 April 2014   06:35 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:13 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tak lama setelah tamat SMA, saya berangkat ke Medan untuk mendaftar sebagai peserta bimbingan tes. Dengan bekal ilmu yang saya peroleh di sekolah saya kurang yakin untuk bertarung dalam seleksi masuk PTN. Hingga saya diterima sebagai mahasiswa USU, lulus, dan bekerja sebagai dosen, saya tidak pernah lagi bertemu dengan guru-guru di SMA, khususnya dengan Ibu Rugayah, guru bahasa Indonesia. Meskipun saya sering pulang kampung pada saat liburan, entah mengapa saya tak berniat untuk mampir ke sekolah. Dalam pikiran saya, bangunan sekolah dan para gurunya adalah bagian dari masa lalu yang tak perlu diusik dengan kehadiran saya. Lagi pula, tidak banyak kenangan khusus yang membekas di dalam hati saya. Akibatnya, komunikasi saya dengan guru-guru SMA benar-benar putus.

Di antara sedikit kenangan di masa SMA, saya senang dengan cara pengajaran Ibu Rugayah. Kecintaan saya terhadap pelajaran bahasa Indonesia tumbuh ketika beliau mengajar di kelas kami, III IPA 2. Bibit kecintaan itu sesungguhnya sudah ditanamkan oleh Ibu Rabiah, guru muda yang sangat cantik, waktu saya di kelas 1 SMA. Ketika itu, Ibu Rabiah baru lulus sarjana sehingga belum mempunyai jam terbang mengajar. Di mata kami, ia tampak masih "lugu" dalam mengajar sehingga terkadang "dikerjai" teman-teman. Sebaliknya, Ibu Rugayah adalah seorang guru senior di SMA dan ia mengajar dengan tegas dan penuh wibawa. Namun begitu, Bu Rugayah tidak menciptakan jarak dengan murid-muridnya. Pada saat belajar bahasa Indonesia,kami terlibat aktif di kelas. Ia, misalnya, membentuk beberapa kelompok diskusi dan saya kebagian sebagai salah satu ketua kelompok. Dalam berdiskusi itu, ia membiarkan kami berdebat untuk mempertahankan argumentasi masing-masing. Suasana kelas biasanya menjadi riuh oleh suara kami.

Rupanya selalu ada jalan untuk membangun silaturahmi yang terputus. Pada akhir tahun 1995, saya diminta dekan untuk menjadi ketua panitia Seminar Nasional Bahasa Indonesia. Sebagai dosen muda, saya tentu saja mematuhi perintah tersebut. Saya pun kemudian menyusun rencana kegiatan dengan melibatkan beberapa kolega dan sejumlah mahasiswa. Agar informasi tentang kegiatan seminar tersebar luas dan dapat diikuti oleh masyarakat, saya membuat press release ke surat kabar. Rencana seminar dimuat di surat kabar Waspada dan Analisa, dua surat kabar yang beroplah terbesar di Sumatera Utara. Tanggapan masyarakat luar biasa. Karena kapasitas ruangan yang terbatas, kami beberapa kali menolak peserta yang ingin mendaftar. Kami tidak ingin peserta berdiri mengikuti seminar. Yang menarik dan tak saya sangka, Ibu Rugayah, guru Bahasa Indonesia, mendaftar sebagai peserta seminar. Ia bahkan mendaftar lebih awal. Maka, tanpa diketahuinya, saya pun merancang suatu kejutan untuk beliau.

Pada hari pelaksanaan seminar, yaitu pada tanggal 9 Desember 1995, hadir Rektor USU dan unsur pimpinan lainnnya. Bagi saya, ini adalah suatu kehormatan mengingat Pak Rektor biasanya mempunyai jadwal yang sangat padat sehingga jarang menghadiri kegiatan-kegiatan yang "kurang penting" di fakultas. Sebagaimana lazimnya, sebelum acara seminar dimulai, saya menyampaikan kata sambutan sebagai ketua panitia. Namun, sebelum mengakhiri kata sambutan, saya berbicara seperti ini:

“Bapak Rektor dan para undangan yang saya hormati,
Perlu saya sampaikan bahwa saya kuliah di kampus ini berkat ketertarikan saya terhadap pelajaran bahasa Indonesia di SMA. Tak bisa saya pungkiri, ketertarikan itu muncul karena kepintaran gurunya dalam menyampaikan pelajaran. Karena kebetulan gurunya hadir di ruangan ini, izinkan saya untuk memperkenalkan beliau kepada Pak Rektor dan para undangan.” (Pak Rektor dan para undangan mulai menoleh ke belakang)

Saya lalu melanjutkan, “Kepada Ibu Rugayah, saya mohon untuk berdiri.” Ibu Rugayah yang duduk dua baris dari belakang tampak terkejut atas permintaan saya. Ia pun dengan malu-malu berdiri. Serempak para undangan, termasuk Pak Rektor, bertepuk tangan. Beberapa peserta yang duduk di sebelahnya terlihat menyalami beliau. Sepintas saya lihat ada keharuan dan kebanggaan di wajah Ibu Rugayah.

Peristiwa itu rupanya sangat berkesan di hati beliau. Ia menceritakan peristiwa itu kepada ibu saya saat mereka bertemu. Menurut ibu saya, ada kebanggaan Ibu Rugayah bahwa muridnya menjadi dosen di USU, melebihi apa yang sudah dicapainya.

Terima kasih Ibu Rugayah. Berkat Ibu, saya memilih kuliah di Jurusan Bahasa Indonesia. Berkat Ibu pula, saya sekarang sudah mencapai jenjang pendidikan tertinggi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun