Mohon tunggu...
eddy mulyadi
eddy mulyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen dan peneliti

Lahir di Tanjungbalai (Asahan) dan aktif mengikuti seminar dan konferensi tentang bahasa. Selain itu, rajin menulis artikel, terutama berkolaborasi dengan mahasiswa, untuk dipublikasikan di berbagai jurnal nasional dan jurnal internasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mudik Itu Melihat Surga

17 Mei 2020   14:51 Diperbarui: 18 Mei 2020   18:31 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua hari yang lalu, sore-sore, saya ditelpon ibu untuk menanyakan kepastian tentang kepulangan saya ke Tanjung Balai untuk merayakan Idul Fitri. Saya jelaskan dengan hati-hati bahwa kondisinya saat ini belum memungkinkan saya untuk pulang. Apabila saya nekat, saya khawatir pada "titik periksa" tertentu saya akan diminta kembali ke Medan oleh petugas walaupun posisi saya sudah berada di Tebing Tinggi atau (malah) di Asahan. Ini tentu bisa memicu "keributan". Bukan hanya itu. Saya, istri, dan anak-anak juga merasa khawatir bahwa kami dianggap sebagai "pembawa" virus sehingga dapat mengancam kesehatan ibu dan anggota keluarga yang lain.

Ibu tampaknya maklum dengan keadaan saya meskipun nada suaranya terdengar sedih. Tak ada yang dapat menjamin bahwa Lebaran tahun depan kami dapat berkumpul dan memeluk tubuhnya yang makin renta mengingat usianya sudah 75 tahun. Jujur, pada titik ini ada perasaan bersalah dalam hati saya karena tidak bisa memenuhi harapannya. Namun, saya tidak memiliki kekuasaan untuk berbuat lebih. Saya bukan pejabat atau anggota dewan yang mungkin dapat berdalih melaksanakan tugas negara. Saya hanya seorang ASN yang menjadi "sekrup" di sebuah kampus. Saya hanya seorang dosen yang patuh pada peraturan, bekerja selama 31 tahun dan baru sekali mendapat surat peringatan, dan itu pun karena tidak mengikuti upacara bendera.

Sambil membayangkan wajah ibu yang menahan rindu terhadap anak dan cucunya dan juga kegalauan hati saya untuk pulang kampung, di televisi saya menonton para pejabat negara menyanyikan lagu imbauan untuk tidak mudik. Dengan gaya yang kaku, mereka berdendang secara virtual dengan ekspresi gembira, "Jangan mudik jangan mudik dulu, tidak mudik tetap asyik." Tiba-tiba pikiran saya terhubung dengan beberapa tokoh Partai Demokrat yang berteriak lantang tentang slogan antikorupsi beberapa tahun silam di televisi. Kita semua sudah tahu akhir dari kisah hidup mereka. Ini menunjukkan betapa tidak sesuainya antara kata dan perbuatan. 

Saya hanyalah satu di antara jutaan orang di republik ini yang ingin melakukan mudik atau pulang kampung menjelang Idul Fitri tahun ini. Namun,  kondisi bangsa sekarang ini belum memungkinkan terjadinya pergerakan warga secara masif. Data menunjukkan bahwa jumlah pasien akibat virus corona per hari terus bertambah. Setakat ini belum tampak tanda-tanda jumlahnya menurun. Bahkan, titik puncak pandemi ini diprediksi oleh para ahli terjadi pada akhir Juni atau Juli 2020. Ini berarti aktivitas warga (bekerja atau belajar) di rumah akan berlangsung lebih lama. Akibatnya, perayaan Idul Fitri akan terasa sepi sebab pergerakan kita dibatasi oleh Pemerintah, termasuk dalam pelaksanaan salat Idul Fitri.        

Melihat surga

Menghormati orang tua, terutama ibu, merupakan suatu kewajiban bagi seorang anak. Dalam Islam, posisi ibu sangat istimewa. Begitu istimewanya sehingga ada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Adi di dalam kitabnya Al-Kamil fi Ad-Dhu-afa Ar-Rijal yang menyatakan bahwa "Rasulullah bersabda, surga itu di bawah telapak kaki para ibu, siapa yang mereka kehendaki, maka mereka akan memasukkannya, dan siapa yang mereka kehendaki, maka mereka akan mengeluarkannya." Pun juga hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang berkata, "Seseorang datang kepada Rasulullah dan berkata, 'Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?' Nabi Shalallahu alaihi wasallam menjawab, 'Ibumu!' Orang itu kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi menjawab, 'Ibumu!'  Orang itu bertanya lagi, 'Kemudian siapa lagi?' Rasul tetap menjawab, 'Ibumu!' Orang tersebut bertanya lagi, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi shalallahu alaihi wassallam menjawab, 'Ayahmu!' (HR Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).  

Dalam kaitan dengan konteks mudik, adalah keliru jika mudik dianggap sekadar konvoi kendaraan di jalanan dan acara kumpul-kumpul keluarga  sehingga dipandang dari segi keasyikan. Mudik juga bukan soal tradisi tahunan untuk menjalin silaturahmi dan bermaaf-maafan. Mudik atau pulang kampung sejatinya berdimensi luas dan mendalam. Pada tataran yang rendah, mudik ialah sebuah katarsis, yaitu proses membersihkan hati setelah hati selama setahun kemungkinan besar dipenuhi oleh emosi negatif, dan juga akibat beban pekerjaan yang berat di masa pandemi virus corona akhir-akhir ini. Pada tataran yang tinggi, mudik sebangun dengan surga, artinya orang yang mudik sesungguhnya adalah orang yang ingin melihat surganya di dunia sebelum ajal menjemput.

Medan Johor, 17/5/2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun