Setiap kelompok masyarakat memiliki keunikan budaya sendiri sesuai dengan konsepsinya tentang dunia. Bahasa yang berbeda mewujudkan konsepsi yang berbeda. Oleh karenanya, tidak ada kelompok masyarakat yang dapat mengklaim bahwa budayanya lebih baik daripada budaya kelompok lain. Jika budaya tertentu dinilai secara negatif, penilaian itu biasanya bersumber dari pendukung budaya lain. Dengan kata lain, mereka menilai budaya orang lain dengan menggunakan "kerangka budayanya sendiri.
Masyarakat Melayu yang umumnya tinggal di pesisir Pulau Sumatera juga memiliki sejumlah konsep budaya tertentu sebagai refleksi dari cara pandang mereka terhadap alam sekitarnya. Cliff Goddard (1996), dalam tulisannya yang berjudul "Culural Values and Cultural Scripts of Malay (Bahasa Melayu)", mengatakan bahwa para peneliti Eropa menggambarkan budaya Melayu dengan nilai-nilai kehalusan budi, ramah-tamah, dan sensitif. Selain itu, orang Melayu digambarkan sebagai orang yang sopan, santai, dan menarik (dan juga sifat yang kurang baik, seperti lamban, pemalas, mudah tersinggung).
Orang Melayu secara tradisional adalah orang desa. Kehidupannya bergantung pada perikanan, perkebunan, dan pertanian. Mereka sudah lama menjadi muslim dan Islam sering diidentikkan dengan Melayu. Seluruh aspek budayanya dipayungi oleh agama Islam sebagaimana tercermin dalam ungkapan "adat bersendikan syarak" dan "syarak bersendikan kitabullah”. Selain itu, budaya Melayu kaya dengan pantun, peribahasa, dan syair. Bahasa berperan penting dalam budaya mereka. Pentingnya bahasa dalam budaya Melayu dibuktikan dengan kenyataan bahwa bahasa mempunyai makna 'rasa hormat' dan ‘tata krama’.
Konsep malu
Malu ialah kata yang mengekspresikan perasaan yang tidak menyenangkan yang dialami seseorang dalam situasi tertentu. Jenis perasaan ini muncul mungkin karena reaksi dari tindakan diri sendiri atau tindakan orang lain yang dianggap tidak pantas atau menyimpang dari norma yang berlaku dalam masyarakat. Jadi, rasa malu terletak dalam pikiran seseorang dan orang yang malu biasanya mengetahui situasi yang menyebabkan timbulnya rasa malu itu.
Bagi orang Melayu, malu merupakan konsep budaya yang berperan penting dalam pergaulan. Konsep ini berbeda dengan konsep yang dimiliki oleh pendukung budaya lain. Bukan hanya dari bentuk leksikalnya, melainkan juga dari maknanya. Sebab itu, pemadanan konsep malu dari bahasa yang satu ke dalam bahasa lain tidak akan menghasilkan makna yang sama meskipun bahasa-bahasa itu bertalian secara geografis, genetis, dan kultural.
Misalnya, konsep malu dalam bahasa Melayu berlainan dengan konsep shame dalam bahasa Inggris, whakamaa dalam bahasa Maori, ha'amaa dalam bahasa Tahiti, atau haji dalam bahasa Jepang. Dalam ruang lingkup yang lebih terbatas, konsep ini juga tidak sama dengan konsep elek dalam bahasa Bali, isin dalam bahasa Jawa, mai dalam bahasa Biak, todus dalam bahasa Madura, atau maila dalam bahasa Angkola. Pendeknya, kata-kata itu berbeda maknanya sesuai dengan keunikan budaya masing-masing.
Dalam pandangan orang Melayu, menghindari rasa malu (diri sendiri ataupun orang lain) merupakan kekuatan utama dalam hubungan sosialnya. Dua konsep sosial lain yang berhubungan ialah maruah, yang bermakna 'martabat pribadi' dan harga diri. Sistem nilai sosial orang Melayu boleh dikatakan didasarkan pada dua konsep ini. Dengan kata lain, perilaku sosialnya diatur sedemikian rupa untuk menjaga martabat pribadi dan tidak menyingung harga diri orang lain.
Demi menjaga martabat pribadi, orang Melayu akan meminjam uang pada keluarga atau tetangga apabila ingin menikahkan anaknya. Demi alasan yang sama pula, orang Melayu yang gagal membawa hasil dari laut kemungkinan akan membeli ikan di pasar untuk dibawa pulang ke rumah. Sementara itu, jika harga dirinya sudah tersinggung, orang Melayu menjadi marah, yang di dalam konsep Melayu disebut amuk. Amuk tidak terbatas pada orang seorang, tetapi juga orang ramai (massa). Konflik sosial yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia bisa menjelaskan bagaimana ekspresi amuk orang Melayu.
Ciri unik konsep malu dalam masyarakat Melayu ialah bahwa konsep ini berhubungan dengan penglihatan. Orang Melayu baru merasa malu apabila perilakunya yang memalukan itu diketahui orang lain. Secara lintas budaya, konsep ini berbeda dengan orang Aborigin di Australia. Seperti dikatakan oleh Harkins (1990) dalam "Linguistic and Cultural Differences in Concepts of Shame", bahwasanya orang Aborigin merasa malu kalau melintasi tempat upacara atau bila melihat foto benda-benda keramat pada buku perpustakaan walaupun tidak ada orang lain di dekatnya.
Betapa pentingnya konsep malu bagi orang Melayu diungkapkan melalui peribahasa berikut: Daripada hidup menanggung malu,elok mati kena palu; Kalau aib sudah menimpa, hidup di dunia ini tiada berguna. Peribahasa ini bermakna bahwa orang Melayu lebih memilih mati daripada menanggung malu. Tegasnya, dalam pandangan orang Melayu, malu merupakan ekspresi emosi yang harus dihindari.
Berbicara sopan
Salah satu norma perilaku berkomunikasi orang Melayu ialah berbicara dengan cara yang sopan. Dalam berkomunikasi sehari-hari, ada kesan bahwa orang Melayu selalu berpikir sebelum berbicara, seperti direfleksikan dalam ungkapan Kalau cakap pikirlah dulu sedikit. Keinginan menghindari lawan bicara merasakan sesuatu yang buruk, dalam hal ini mendapat malu, tampaknya dimotivasi oleh keinginan agar lawan bicara tidak memikirkan sesuatu yang buruk tentang pembicara.
Orang Melayu dituntut berbicara sopan sebab perilaku ini akan menghindarkan orang lain mendapat malu pada berbagai situasi tuturan. Nilai budaya Melayu ditentukan oleh kemampuan berbicara ini. Cara berbicara ini tidak berhubungan dengan kekayaan, keturunan, atau pendidikan. Seorang nelayan yang hanya tamat sekolah dasar bisa saja berbicara lebih sopan daripada seorang pegawai negeri yang tamat dari perguruan tinggi. Orang yang tidak berbicara sopan akan dikatakan anak yang kurang ajar dan tidak tahu aturan. Sebaliknya, cara yang sopan akan mendapat kebanggaan.
Perilaku sopan juga berlaku pada ranah perilaku nonverbal; misalnya, melepas sepatu sebelum masuk ke rumah, memakan sedikit makanan yang ditawarkan, bersikap khusus ketika melewati orang yang sedang duduk, menggunakan tangan kanan ketika makan atau memberikan sesuatu, menghindari sentuhan fisik dengan anggota keluarga yang berbeda jenis kelamin, menunjuk dan memberi isyarat dengan cara tertentu.
Di sisi lain, rasa malu sendiri merupakan suatu "benteng" dalam mencegah perilaku sosial yang dianggap "menyimpang" dalam masyarakat. Orang yang menyadari bahwa perilakunya dapat menyebabkannya malu akan berusaha menghindari situasi yang tidak menyenangkan ini. Dalam pengertian ini, malu dapat dipahami sebagai mekanisme pengendalian sosial bagi perilaku orang Melayu.
Selanjutnya, ekspresi malu berkaitan dengan relasi sosial, seperti akrab dan tidak akrab. Relasi ini bahkan mempunyai implikasi yang sangat luas. Contohnya, dipuji atau diejek oleh teman akrab di hadapan orang lain yang tidak akrab dapat menyebabkan rasa malu. Orang Melayu juga malu kalau bagian tubuhnya terlihat oleh orang lain yang tidak akrab dan berbeda jenis kelaminnya, tetapi tidak malu jika bagian tubuhnya terlihat oleh keluarganya sendiri yang sama jenis kelaminnya. Rasa malu bisa pula muncul manakala seseorang, dan ini biasanya wanita, diperkenalkan dengan calon mertuanya atau diperkenalkan dengan calon suaminya jika hubungannya terjalin melalui sistem perjodohan, bukan melalui jenjang berpacaran.
Penutup
Konsep malu merupakan konsep budaya yang mendasar dalam masyarakat Melayu. Konsep ini berhubungan dengan konsep sosial "muruah" dan "harga diri" dan mengandung nilai kesopanan sejalan dengan norma perilaku berkomunikasi orang Melayu, yaitu berbicara dengan cara yang sopan. Di samping itu, ekspresi malu mengandung berbagai aspek sosial budaya, terutama relasi sosial akrab dan tidak akrab di antara penutur dan petutur.
Dalam bahasa Melayu sekarang ini ekspresi malu telah mengalami perubahan sesuai dengan perubahan dan perkembangan masyarakat penuturnya. Ada beberapa bukti tentang perubahan penggunaan kata itu pada generasi muda yang berkaitan dengan perilaku sosialnya akibat penetrasi dari budaya lain (budaya asing). Perubahan itu mengacu pada situasi di mana orang Melayu, terutama yang tinggal di perkotaan, tidak lagi menggunakan kata malu dalam kaitannya dengan perilaku berpacaran, seperti berpegangan tangan atau berpelukan, di tempat-tempat umum meskipun bagi sebagian orang Melayu sikap seperti ini dianggap "tak tahu malu".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H