Mohon tunggu...
Henry Multatuli
Henry Multatuli Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Saya adalah seorang yang sedang mencari makna yanga ada di dalam bab-bab buku kehidupanku. lembarannya unik dan harus kuakui sedang kuselami sebuah arti di setiap paragrafnya. Walaupun akhirnya kutemukan diriku hanyalah pujangga yang tak bermakna. Aku bukanlah Sartre yang bermain dalam absurditas ataupun Nietzsche sang penggila metafora dan aforisme. Mungkin aku berada dalam tahap estetikanya Kierkegaard...atau mungkin sedang menikmati asyiknya bersuara lantang dalam tahapan eksistensi... sekarang sedang mengambil peruntungan di Damaskus, Suriah. Belajar bahasa Arab.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budi, si Murid yang Terasing

12 Februari 2010   21:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:57 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pukul 6 pagi Budi terbangun dari mimpinya. Budi lalu mandi, menyiapkan segala peralatannya, sarapan secukupnya kemudian bergegas ke Sekolah. Tibalah ia di Sekolah dan iapun teringat jika ia belum mengerjakan PR tadi malam. Namun, kerisauannya terobati tatkala ia mengetahui bahwa sang Guru tidak bisa hadir di hari itu. Dari pukul 7 hingga jam 1, Budi belajar di Sekolah. Biasanya ia banyak bercanda di kelas, namun terkadang pula ia fokus dengan pelajaran. Lonceng akhirnya berdentang pukul 1 yang menandakan Sekolah telah usai. Budi tampak begitu bahagia. Namun kebahagiannya begitu kentara luapannya saat ia mengetahui bahwa besok hari libur. Hari itu adalah hari kamis, artinya dia akan libur selama 3 hari berturut-turut karena hari sabtu dan Minggu adalah hari libur tetap tiap akhir minggu. Menurut hitung-hitungan si Budi, selama tiga hari berturut-turut, ia bisa tidur dengan nyaman dan tidak lagi terusik oleh weker yang setia membangunkannya di pukul 6 pagi. Ia juga bebas dari sang Guru yang terus mencecarnya dengan ribuan PR tiap harinya dan bisa menikmati waktunya bersama teman-temannya. Ini adalah contoh fenomena lazim seorang murid yang mudah kita temui di sekitar kita. Si Budi, bagi beberapa orang bisa dikatakan seorang yang berada di luar kategori orang yang biasa kita sebut sebagai orang-orang 'rajin', 'cerdas' atau 'ulet'. Dia hanyalah seorang murid yang bersekolah di sekolah biasa-biasa saja dan prestasinya pun tidaklah menonjol. Kesehariannya dipenuhi main-main tanpa mengindahkan nasihat-nasihat 'orang bijak' di sekitarnya. Kita memang dengan mudah menyalahkan si Budi karena kebiasaannya, akan tetapi kita terkadang tidak berusaha mencari penyebab eksternal (kausalitas) yang membuat Budi berbuat seperti ini. Oleh karena itu sesuai dengan judul artikel saya ini, saya menyimpulkan bahwa Budi adalah murid terasing dari tabiat kodratinya sebagai penuntut ilmu. Terasing (Alienation) adalah terjauhnya atau terpisahnya sesuatu baik terhadap sesuatu yang merupakan bagian darinya ataupun sesuatu yang koheren dengannya. kata ini sempat menjadi tersohor di abad 19 karena dipopulerkan oleh Karl Marx dimana dia menjelaskan bahwa manusia pada hakikatnya adalah bekerja, dan dari pekerjaannya, dia bisa menciptakan sesuatu secara estetis yang jika kita tarik ke ranah masyarakat, akan menjadi suatu karsa atau kebudayaan. Contoh sederhananya adalah seorang pengrajin batu. Ia mengolah dengan sumber daya di sekitarnya (bebatuan) menjadi Obeliks, menhir, tugu batu yang indah, dan lain-lainnya. para Pengrajin batu di masa lampau menciptakan semua itu karena itu adalah bagian dari dirinya, yaitu bekerja secara fitrah untuk mengolah sesuatu menjadi sesuatu yang baru lagi. Tentu saja ia menikmati pekerjaannya itu sebagai bagian dari pengejawantahan sifat lahiriahnya. Tanpa itu, maka semuanya tidak akan bisa kita nikmati sebagai suatu yang sifatnya estetis. Akan tetapi bagi Marx, industri yang sedang tumbuh-tumbuhnya di bawah pengaruh borjuisasi Prancis pasca revolusi telah membuat orang-orang yang bekerja menjadi terasing dari hakikat aslinya. Mereka yang sejatinya mencapai kebahagiaan dalam bekerja malah termotivasi agar meraih sesuap nasi, bukan oleh panggilan kodratnya. Dari situ Marx melihat gejala kenapa buruh menjadi mengeluh ketika bekerja, bukannya bahagia. Marx terinspirasi oleh Feuerbach yang dalam salah-satu bukunya (The Essence of Christianity) ia menyatakan bahwa sumber ide Tuhan adalah buah terasingnya manusia dari kodrat aslinya sebagai manusia sejati. Bagi Feuerbach, serba kemahaan sang 'Tuhan' adalah wujud cita-cita manusia sebagai seorang yang mengidamkan keparipurnaan. Karena tidak terealisasi secara nyata, maka ide-ide itu terpahat menjadi patung dewa-dewi sang pengatur dan penjaga alam semesta yang ironisnya adalah hasil kreasi mereka sendiri. Saya tidaklah bermaksud untuk memaparkan semua ajaran Marxisme dan komunisme karena memang saya bukanlah dari keduanya. Akan tetapi dari teori ini kita bisa melihat kenapa Budi bisa 'terasing' oleh sifatnya yang lahiriah yakni sifat manusia sebagai sang penuntut ilmu. Sejarah ilmu pengetahuan telah menapaki perjalanan panjang dan sungguh luar biasa (dan terkadang lelah) berkat panggilan fitrah manusia yang selalu ingin mencari hakikat tersembunyi dan realitas objektif sepanjang pengalamannya. Dalam konteks Psikologi, manusia dibekali dengan rasa penasaran (curiousity) untuk mengetahui sesuatu di balik sesuatu. dari situ, manusia dituntut untuk mencari kebenaran dan berusaha mencari sesuatu hingga tak terbatas. semua itu bisa terfleksi dari perenungan ontologis kita tentang mengapa kita hadir disini dan usaha pencarian eksistensi kita selama ini. Institusi pendidikan adalah sarana yang dibangun untuk merealisasikan cita-cita manusia yang kodrati tersebut. kita ambil contoh bagaimana akademi Plato berdiri, salah satu institusi tertua di Yunani yang didirikan untuk memanggil orang-orang yang penasaran akan ilmu pengetahuan. Disitu pelajaran geometri, filsafat, dan semua cabang ilmu lainnya diajarkan dan numplek untuk dikembangkan. Produk terbesarnya adalah Aristoteles, pakar ilmu pengetahuan dan logika terbesar sepanjang sejarah. Semakin lama keberadaan institusi pendidikan kita semakin menjauh dari cita-cita awal. Fungsinya yang seharusnya sebagai obat penawar rasa penasaran kini menjadi kendaraan yang penuh kepentingan. Belum lagi sumringah si Budi tatkala bel pulang berdering telah menjadi bukti bahwa anak-anak murid kita telah terasing dari hakikatnya. Dunia Pendidikan kita seharusnya merestorasi kembali cita-cita luhur yang dibawa Plato, bukannya sebagai mesin pengeruk harta dan alat 'cuci otak' atau propaganda suatu ideologi. Dengan begitu, Si Budi bisa menyapa ufuk timur dengan penuh semangat atau antusiasme seperti layaknya seorang pencari ilmu yang gigih karena dia telah kembali pada posisinya semula sebagai manusia yang kodrati. bukan keluhan si Budi lagi ketika masa sekolah dimulai dengan berkata, "Yah, sekolah lagi...sekolah lagi."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun