Baru-baru ini PM Inggris David Cameron datang ke Indonesia sebagaimana para pemimpin dunia berkunjung ke negara-negara tertentu. Kunjungannya disambut baik oleh Presiden. Bahkan sang PM pun diundang oleh rektor Al-Azhar Indonesia untuk memberikan sedikit 'kuliah' tentang demokrasi dan tantangan Indonesia ke depan.
The Empire on the Sun never Set, Itulah panggilan negerinya pak Cameron. Saat dimana kolonialisme Inggris tak terbendung dan menyebar di saentro bumi. walaupun itu awalnya sebutan buat kerajaan Spanyol di abad ke 14. Namun julukan itu akhirnya sempat disematkan di jubah Raja-raja Inggris sejak abat ke-18. Seakan pesona itu juga yang menyilaukan mata kita apalagi David Cameron menginjakkan kakinya ke Indonesia kemarin.
'Indonesia mampu memimpin dunia,' kata Cameron di Universitas Al-Azhar Indonesia. Setidaknya itulah saya dengar dari  berita-berita populer. Beberapa kali Cameron memuji Indonesia dalam kuliahnya. Nampaknya kita memang suka dipuji apalagi pemimpin kita. Nampak unik memang, tatkala kita dipuji, kita pun menyambutnya dengan gegap gempita. Apalagi itu terlontar dari mulut seorang Perdana Mentri dari Inggris. Bagaimana jika kita dipuji oleh Ratu Inggris, atau Presiden Prancis jika saja melawat ke Indonesia.
Pujian itu sayangnya tak mampu kita bendung tatkala pemimpin dunia datang ke negeri kita. Karena itu, kita biasanya menyediakan permadani merah. Kalau perlu kita berfoto-foto dengannya sebagai kenangan selama-lamanya. Masih teringat di kepala saya bagaimana kebon raya Bogor kita pangkas bagiannya untuk menjadi Helipad buat Presiden Bush. Ternyata genetik kita sebagai budak masih kita wariskan dari kakek-nenek kita saat jaman Belanda. Cameron datang, dan memberikan 'kuliah' Â tentang bagaimana 'menjadi yang terdepan' dan apa-apa saja yang harus kita lakukan ke depan seakan-akan lupa kalau dia berbicara di depan rakyat pemimpin negeri lain. Saya mungkin tidak keberatan jika seorang memberikan nasihat atau masukan buat negeri lain. Namun jika julukan 'pemimpin' kita sematkan pada orang sekelas Cameron yang menjadi kaki tangan neo-kolonialisme, nampaknya terlalu gegabah.
Cameron, seharusnya, sebagai seorang stateman, tak perlu 'menguliahkan' rakyat Indonesia tentang pentingnya demokrasi. Bangsa Indonesia merdeka dengan gagah berani. Putra-putri bangsa kami menumpahkan darahnya di negeri ini untuk mengusir orang-orang seperti Westerling dan Mallaby (yang ironisnya orang Inggris), dan perpanjangan imperialisme barat lainnya. Darah mereka rela terkucurkan demi sejengkal tanah air kita. Kami diajarkan bagaimana untuk merdeka oleh bapak-bapak bangsa kita. Mereka pula yang mengajarkan arti dari sebuah perjuangan. Bapak bangsa kita memperkenalkan rakyat jelata kita tentang apa itu Weltanschaung, ideologi, serta Welfare State.
Saya tak mampu melupakan betapa jijiknya melihat foto Cameron di Kompas saat berdiri di depan anak-anak negeri kita. Apakah bangsa seperti ini yang dikehendaki para pahlawan kita terdahulu? Melihat putra-putrinya digurui tentang politik. Omong-Omong tentang demokrasi, sudah berapa mayat yang terkulai karena slogan demokrasi yang berasal dari mulut imperialis. mulai dari Irak, hingga yang terkini seperti Libya. Dan untuk Inggris sendiri, sudah berapa banyak pejuang Irlandia, India dan Skotlandia yang ingin merdeka terbunuh di abad ke-20. Kalau tidak percaya, tanyakan jeruji sunyi tempat Bobby Sands, pejuang Irlandia yang wafat setelah melakukan mogok makan demi rakyat Irlandia
Cameron tidak lebih seperti boneka imperialis yang dipapah oleh kelompok konservatif Inggris. Dan lebih mencengangkan lagi, kita menyantuni imperialis itu tatkala tiba di airport beserta senyum sumringah. Saya teringat Norman Finkelstein yang pernah mengutip pahlawan Spanyol Dolores "La Pasionaria" Ibarruri: "Lebih baik mati di atas kakimu, ketimbang jalan merangkak di atas lututmu." Perkataan itu adalah perkataan pejuang. Perkataan itu hanya mampu dimengerti oleh orang yang berjuang. Yaitu pejuang yang tak sudi dihina oleh imperialis, apalagi dikuliahkan oleh mereka.
Jika Ki Hajar Dewantoro dulu berandai-andai dengan karyanya, Als ik eens Nederlander was. Maka aku sempat berandai-andai sebagai orang Skotlandia di masa William Wallace dengan pergi ke Al-Azhar dan menyapa Cameron sambil berkata: "Aye, fight and you may die. Run, and you'll live... at least a while!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H