Mohon tunggu...
Henry Multatuli
Henry Multatuli Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Saya adalah seorang yang sedang mencari makna yanga ada di dalam bab-bab buku kehidupanku. lembarannya unik dan harus kuakui sedang kuselami sebuah arti di setiap paragrafnya. Walaupun akhirnya kutemukan diriku hanyalah pujangga yang tak bermakna. Aku bukanlah Sartre yang bermain dalam absurditas ataupun Nietzsche sang penggila metafora dan aforisme. Mungkin aku berada dalam tahap estetikanya Kierkegaard...atau mungkin sedang menikmati asyiknya bersuara lantang dalam tahapan eksistensi... sekarang sedang mengambil peruntungan di Damaskus, Suriah. Belajar bahasa Arab.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Republik "Genjer Genjer"

6 Februari 2014   02:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:07 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nyoto, seorang seniman terkenal Lekra, pernah singgah di Banyuwangi. Kemudian ia disuguhi oleh lagu Genjer Genjer yang terkenal di sana oleh seniman di sana. Nyoto pun sontak terkesima. Maka semenjak tahun 1962, lagu itu menjadi terkenal di Indonesia hingga datangnya Orde Baru. Lagu ini diciptakan oleh seorang seniman Banyuwangi M. Arief yang merefleksikan penderitaan rakyat Banyuwangi yang rela memakan daun genjer (limnocharis flava) di masa pendudukan Jepang. Mungkin bisa disejajarkan dengan musik-musik Blues di Amerika Serikat akhir abad 19 gubahan yang merepresentasikan rintihan parau kehidupan masyarakat kulit hitam di kala itu. Namun dengan genre berbeda, lirik parau bercampur arasemen merdu ini menjadi ikon nasional yang secara garis besar mewakili kondisi rakyat Indonesia masa itu. Tidak heran jika lagu Genjer Genjer dianggap sebagai lagu PKI. sematan "PKI" ini pula yang menyebabkan Genjer Genjer diharamkan untuk diputar semenjak Orde Baru selama kurang lebih 40 tahun.

Di tengah prahara perpolitikan Indonesia dewasa ini, masyarakat kita sedang menonton. Sebuah teater politik di peragakan para politisi yang sedang dimabuk kekuasaan. Adalah rakyat yang kembali harus dicocor dengan harapan-harapan abal-abal beratasnamakan RealPolitik. Semenjak pakto (Paket Oktober) 1988, Indonesia sudah tersandera. Liberalisasi sektor ekonomi yang tidak kepalang memuncak hingga krisis moneter tahun 1998. Bank-bank pun berguguran. Negara Indonesia kini menghadapi dua pilihan; Bangkrut, atau meminjam suntikan dana IMF. Dan sudah ditebak apa yang dilakukan presiden Soeharto masa itu. Indonesia berhutang pada IMF sebesar $60 Miliar. Hingga kini, tugas pemerintah adalah melakukan percepatan ekonomi demi menutup angka merah yang berasal dari pinjaman ini. Belum lagi diperkeruh dengan Bantuan Likuiditas yang diterbitkan oleh BI, dikenal dengan BLBI kepada 48 bank di Indonesia yang sarat kontroversi. Angkanya tidaklah sedikit, yakni sekitar 147 triliun. Ditambah lagi dengan kasus Century yang menjadi perbincangan hangat di masa kini.

Lalu bagaimana dengan rakyat Indonesia dari Sabang hingga Merauke? Itulah dia, penonton. Kita menjadi korban permainan kekuasaan. Disaat para elit bergelimang harta, para selebriti memamerkan kemewahannya, dan para korporat bertangan gurita, masyarakat kita tetap setia menjadi para penonton bisu. Indonesia bukanlah panggung Broadway yang pernah menayangkan drama-drama yang memesona dan penuh gegap gempita seperti Irene atau Ligthnin'. Namun panggung pentas sendu yang terwakilkan oleh daun-daun Genjer, menyaingi simponi Requiem-nya Mozart yang dingin dan suram. layaknya Daun Genjer, Masyarakat Indonesia selama ini hidup di tengah kekayaan sumber daya namun hidup dalam kemiskinan. Daun genjer, bersama nasi aking adalah perlambangan nestapa nasional yang telah tersisipkan di dalam arsip kebudayaan kita. Sebuah semboyan arkhaik yang tetap bergulir sepanjang waktu dan semakin lama dirasakan semakin perih walau sebatas sejarah.

Tibalah masa generasi bangsa di abad 21 ini untuk sadar akan nasib bumi pertiwi demi mengembalikan api revolusi yang kala itu berkobar-kobar menyinari dunia melalui KAA dan KTT Non-Blok. Api yang menginspirasi berbagai bangsa demi menemukan arti semangat kebangsaan dan berdikari. Diharapkan generasi bangsa Indonesia sekarang menjadi pelakon aktif yang dipersenjatai dengan ruh nasionalisme sehingga tidak lagi berakhir sebagai penonton pagelaran "Republik Genjer Genjer". Dan bagi generasi tua, saya hanya bisa berkata, "Selamat menonton Republik Genjer Genjer."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun